Sosok Bung Joy, Jurnalis Olahraga yang Sebut Erick Thohir Maju Ketum PSSI atas Perintah Jokowi
December 31, 2025 05:03 PM

BANGKAPOS.COM--Di tengah riuhnya euforia prestasi tim nasional dan naiknya peringkat FIFA Indonesia, suara kritis masih terdengar dari kalangan jurnalis senior.

Salah satu yang paling konsisten adalah Anton Sanjaya, jurnalis olahraga yang lebih dikenal publik dengan sapaan Bung Joy.

Selama puluhan tahun, Bung Joy dikenal bukan hanya sebagai peliput sepak bola, tetapi juga sebagai pengamat yang berani membongkar irisan antara olahraga, kekuasaan, dan kepentingan politik.

Dalam berbagai diskusi publik, podcast, hingga forum terbatas, Bung Joy kerap menempatkan sepak bola Indonesia bukan sekadar permainan di atas lapangan, melainkan arena strategis yang sarat kepentingan.

Pandangan ini kembali mengemuka saat ia mengulas langkah Erick Thohir maju sebagai Ketua Umum PSSI pada Februari 2023.

Erick Thohir dan Kehendak Politik

Menurut Bung Joy, masuknya Erick Thohir ke PSSI sejak awal tidak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional.

Ia menyebut Erick ditugaskan langsung oleh Presiden Joko Widodo untuk mengambil alih kepemimpinan PSSI dari Mochamad Iriawan atau Iwan Bule, pada periode krusial menjelang Pemilu 2024.

“Indikasinya sangat jelas. Erick Thohir diperintah Jokowi untuk mengambil alih PSSI. Itu sah secara mekanisme, tapi kita tahu persis ini kehendak politik,” ujar Bung Joy dalam podcast Ruang Publik yang tayang akhir Desember 2025.

Dalam pandangannya, agenda tersebut berkaitan erat dengan kebutuhan negara mengendalikan PSSI demi kepentingan strategis, salah satunya menjaga posisi Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang saat itu tengah dipersiapkan.

Paket kepemimpinan Erick Thohir dan Zainuddin Amali pun dinilai sebagai representasi langsung kehendak Istana, meskipun secara formal tetap melalui kongres yang sah.

Antara Reformasi dan Ambisi

Bung Joy menilai, narasi besar tentang reformasi sepak bola nasional yang digaungkan sejak Erick Thohir terpilih memang memiliki sisi positif.

Namun, di balik itu terdapat agenda jangka panjang yang tidak sepenuhnya berkaitan dengan pembinaan sepak bola.

Dalam pertemuan pribadinya dengan Erick Thohir beberapa pekan setelah terpilih sebagai Ketua Umum PSSI, Bung Joy secara terbuka menyampaikan keraguannya.

Ia menilai PSSI berpotensi dijadikan kendaraan politik menuju Pilpres 2024 dan bahkan Pemilu berikutnya.

Keraguan tersebut semakin menguat saat pertemuan kedua pada Februari 2025.

Bung Joy mengaku sempat menyinggung isu pencalonan wakil presiden. Jawaban Erick, menurutnya, justru mempertegas irisan antara sepak bola dan ambisi politik.

“Jawaban dia sederhana: Masih ada 2029, Joy,” kata Bung Joy menirukan percakapan tersebut.

Bagi Bung Joy, pernyataan itu adalah pengakuan jujur bahwa kiprah Erick di PSSI tidak bisa dilepaskan dari ambisi politik jangka panjang.

Namun ia menegaskan, ambisi politik pada dasarnya bukan persoalan utama.

“Ambisi politik itu wajar. Siapa yang tidak ingin jadi wapres atau presiden? Itu cita-cita mulia,” ujarnya.

Persoalan muncul ketika sepak bola dijadikan wahana, bukan tujuan.

Kritik Terhadap Naturalisasi

Salah satu kritik paling keras Bung Joy tertuju pada kebijakan naturalisasi pemain.

Ia menilai naturalisasi besar-besaran telah menjadi jalan pintas menuju prestasi instan, sekaligus alat pencitraan politik.

Menurut Bung Joy, pemanggilan hingga 22 pemain diaspora dalam satu periode adalah angka yang tidak adil bagi pemain lokal yang lahir dari sistem pembinaan nasional.

Ia khawatir, peluang pemain muda Indonesia untuk mengenakan seragam Garuda semakin tertutup.

“Anak-anak usia 14 tahun yang saya bina itu cita-citanya cuma satu: bermain untuk tim nasional. Itu mahkota seorang pemain. Kalau sekarang posisi itu diambil dari luar, mereka mau berharap apa?” tegasnya.

Ia tidak menolak naturalisasi sepenuhnya, tetapi menekankan bahwa kebijakan tersebut harus seimbang dengan pembangunan fondasi pembinaan usia muda, kompetisi yang sehat, dan sistem data pemain nasional yang solid.

“Kalau naturalisasi dijadikan jalan pintas demi prestasi instan dan elektabilitas, sepak bola kita akan melenceng. Kita naik peringkat FIFA, tapi fondasi kita rapuh,” ujarnya.

Prestasi Instan dan Ilusi Kemajuan

Bung Joy menilai keberhasilan tim nasional saat ini tidak sepenuhnya mencerminkan kemajuan sistem sepak bola Indonesia.

Ia menyebut banyak pemain kunci merupakan hasil pembinaan federasi asing, terutama Belanda, bukan produk sistem nasional.

“Kalau kita lolos Piala Dunia dengan mayoritas pemain binaan Belanda, apa yang kita banggakan?” katanya.

Tanpa pembinaan usia muda yang serius, kompetisi akar rumput yang sehat, dan sistem data yang terintegrasi, menurutnya sepak bola Indonesia berisiko mengalami ilusi kemajuan. Peringkat naik, hasil membaik, tetapi fondasi rapuh.

Pembinaan Usia Muda: Peran Swasta Lebih Dominan

Dalam pengamatannya, Bung Joy menemukan ironi lain. Hampir seluruh pembinaan usia muda di Indonesia justru digerakkan oleh pihak swasta, bukan PSSI sebagai federasi resmi.

“Kompetisi usia muda di Jakarta, Bekasi, sampai Papua itu semua bikinan swasta. PSSI tidak hadir,” ungkapnya.

Ia menyebut Surabaya sebagai salah satu pengecualian, sementara di banyak daerah tidak ada program berkelanjutan dari federasi.

Bahkan, penyelenggara kompetisi usia muda kerap dipersulit dalam urusan perwasitan dan birokrasi.

“Penugasan wasit sering jadi masalah. Ada biaya tambahan, ada fee penugas. Kalau tidak diikuti, wasit tidak dikirim. Ini sudah berlangsung belasan tahun,” kata Bung Joy.

Masalah Integritas di Tubuh PSSI

Menurut Bung Joy, persoalan utama PSSI bukan terletak pada kurangnya pengetahuan atau sumber daya.

Bantuan FIFA ada, regulasi ada, sumber daya manusia pun tersedia. Yang menjadi masalah adalah integritas.

“Ilmu mereka ada. Bantuan FIFA juga ada. Yang kurang itu orang-orang yang jujur,” ujarnya lugas.

Ia menilai pembinaan usia muda sering dihindari karena dianggap tidak menghasilkan keuntungan finansial maupun elektoral.

Kompetisi usia dini dinilai “tidak ada cuannya”, sehingga kurang diminati untuk digarap serius.

Erick Thohir, Figur Paling Realistis

Meski kritis, Bung Joy tidak menafikan bahwa Erick Thohir saat ini adalah figur paling realistis untuk memimpin PSSI.

Ia menilai Erick memiliki modal finansial, akses politik, dan kemampuan manajerial untuk mengendalikan elite Exco PSSI yang sarat kepentingan.

“Dengan segala kontroversinya, sekarang ini cuma Erick yang paling mungkin. Ketua umum PSSI harus direstui Istana. Tanpa itu, selesai,” ujarnya.

Ia juga menilai rangkap jabatan Erick sebagai menteri dan Ketua Umum PSSI bukan persoalan hukum, karena tidak dilarang FIFA maupun regulasi nasional.

Tantangannya justru terletak pada pembagian perhatian dan rasa keadilan antar cabang olahraga.

Kritik sebagai Bentuk Kepedulian

Bagi Bung Joy, kritik terhadap PSSI bukan bentuk kebencian, melainkan ekspresi kepedulian terhadap masa depan sepak bola Indonesia.

Ia menegaskan bahwa kegagalan, termasuk tidak lolos ke Piala Dunia, seharusnya menjadi cambuk untuk kembali membumi.

“Ini semesta mengingatkan kita, belum layak. Kita harus kembali melihat sumber daya kita sendiri, dan bekerja berdarah-darah, jauh dari sorotan,” katanya.

Ia berharap kritik terhadap PSSI tidak berhenti, baik saat federasi dipuja maupun saat dihujat.

“Sepak bola tidak dibangun dengan halusinasi. Ia dibangun dengan kerja senyap, kerja kotor, dan keberanian mengorbankan diri,” pungkas Bung Joy.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.