TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas (UNAND), Feri Amsari menyebut, Indonesia sudah berada di ambang otoritarianisme yang mirip rezim Orde Baru pimpinan Presiden RI ke-2 Soeharto.
Hal tersebut semakin kentara dengan adanya upaya pengrusakan konsep reformasi, termasuk pengabaian terhadap nilai-nilai konstitusi.
Menurut pria yang juga aktivis demokrasi ini, enam tuntutan reformasi sudah hancur semuanya.
Adapun enam tuntutan reformasi ini muncul pada Mei 1998 saat para mahasiswa melakukan unjuk rasa menuntut Soeharto turun dari jabatan presiden.
Keenam tuntutan atau agenda reformasi 1998 itu lahir dari kondisi politik dan ekonomi Orde Baru yang dinilai sarat korupsi dan ketidakadilan, untuk mewujudkan Indonesia yang madani, adil, dan makmur.
Keenam tuntutan tersebut meliputi:
1. Adili Soeharto dan Kroni-kroninya
2. Laksanakan Amandemen UUD 1945
3. Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
4. Laksanakan Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya
5. Tegakkan Supremasi Hukum
6. Ciptakan Pemerintah yang Bersih dari KKN
Feri Amsari menilai, setelah enam tuntutan reformasi 1998 kini rusak, yang tersisa dari upaya untuk mempertahankan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia adalah penghormatan terhadap konstitusi.
Namun, menurutnya, saat ini sudah ada indikasi pengabaian konstitusi.
Jika konstitusi rusak akibat pengabaian ini, kata Feri, maka Indonesia resmi masuk ke era otoritarianisme; sebuah sistem pemerintahan atau ideologi politik yang memusatkan kekuasaan pada penguasa tunggal atau sekelompok kecil elit, menuntut kepatuhan mutlak dari rakyat, dan secara signifikan membatasi kebebasan sipil, perbedaan pendapat, serta partisipasi publik dalam pembuatan keputusan.
Hal ini ia sampaikan dalam podcast atau siniar yang diunggah di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up, Selasa (30/12/2025).
Baca juga: Prabowo Baru Kunjungi Wilayah Terdampak Bencana Sumatra, Aktivis Virdian Aurellio: Itu Bare Minimum
Feri menyebut, pengabaian konstitusi sudah terlihat dari polemik majunya anak sulung Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden RI (cawapres) mendamping Prabowo Subianto di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024.
"Sesuai yang pernah kami sampaikan di film Dirty Vote, ada upaya merusak seluruh konsep reformasi yang ada. Kan ada enam tuntutan reformasi, semua sudah hancur, tinggal merusak konstitusi doang," tutur Feri.
"Kalau rusak UUD kita, maka seluruhnya, sudah totally Orde Baru. Jadi ini fase terakhir [upaya merusak seluruh konsep reformasi]."
"Karena ini konstitusi, penghormatan kepada konstitusi ini jadi sangat penting."
"Nah, tapi kita rasakan belakangan penghormatan terhadap konstusi itu juga diabaikan. Mulai dari kasus Gibran, Kaesang, dan pengabaian pasal-pasal konstitusi dan putusan MK oleh elite politik."
Diketahui, Gibran bisa melenggang maju sebagai cawapres setelah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang memberlakukan Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023.
Putusan MK tersebut dinilai sarat dengan konflik kepentingan karena Anwar Usman merupakan adik ipar Jokowi sekaligus paman Gibran.
Buntut dari Putusan MK ini, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Ashhiddiqie menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK karena dinilai terbukti melakukan pelanggaran etik berat pada Selasa (7/11/2023).
Usulan Prabowo agar Kepala Daerah Dipilih DPRD dan Perpol Nomor 10 Tahun 2025: Indikasi Terbaru Pengabaian Nilai MK
Feri Amsari juga menyinggung, pengabaian terhadap konstitusi terlihat dari usulan Presiden RI Prabowo Subianto tentang kepala daerah dipilih tidak melalui mekanisme Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), melainkan lewat DPRD.
Menurut Feri, usulan tersebut nantinya mengarah ke sistem pemilu di mana Presiden dipilih oleh MPR RI, seperti saat Orde Baru.
"Yang saya baca, satu, soal pemilu daerah dan nasional itu mau diabaikan karena keinginan Pak Prabowo adalah pemilu perwakilan untuk kepala daerah, enggak [secara] langsung [dipilih] lagi, DPRD yang pilih," tutur Feri.
"Ujungnya, nanti Presiden dipilih MPR itu pasti ke sana arahnya. Jadi, kembali [ke Orde Baru]. Jadi, ini selamat Natal dan Orde Baru."
Sebelumnya, di HUT ke-60 Partai Golkar, di Sentul Bogor, Kamis (12/12/2024) lalu, Prabowo mengkritik sistem pemilu di Indonesia yang dinilai terlalu mahal, sehingga menurutnya harus diperbaiki.
Prabowo pun melempar wacana bahwa kepala daerah seperti gubernur hingga bupati dan wali kota hendaknya kembali dipilih oleh DPRD, seperti pemilu di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan India yang menurutnya lebih efisien karena kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Selain usulan Prabowo agar kepala daerah dipilih oleh DPRD, Feri menyebut, konstitusi tidak lagi dihormati karena adanya Peraturan Kepolisian RI (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang diteken oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ditetapkan pada 9 Desember 2025, dan diundangkan pada 10 Desember 2025.
Menurutnya, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tersebut merupakan pengabaian terhadap putusan MK untuk perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi Pasal 28 ayat (3) beserta penjelasannya dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Putusan MK ini sejatinya telah melarang Kapolri menugaskan anggota polisi aktif untuk menduduki jabatan non-kepolisian.
Feri menilai, jika konstitusi semakin diabaikan, maka hal itu bisa dimanfaatkan oleh elite politik untuk membawa kembali kekuasaan otoriter.
"Yang terakhir juga adalah pengabaian Putusan MK Nomor 114/2025 tentang jabatan kepolisian di ranah sipil," ujar Feri.
"Itu semua pengabaian terhadap nilai-nilai konstitusional yang menurut saya berbahaya bagi konstitusi kita."
"Padahal, [konstitusi] ini satu-satunya alat atau kepentingan rezim reformasi untuk dipertahankan."
"Kalau [konstitusi] ini hancur, penghormatan terhadap konstitusi rusak dan dikembalikan Undang-Undang Dasar ke naskah awal, naskah kemerdekaan, maka tuntas sudah ini akan dimanfaatkan untuk kerusakan berikutnya, yaitu otoritarianisme."
(Tribunnews.com/Rizki A.)