TIMESINDONESIA, PONTIANAK – Sebagai bagian dari disiplin ilmu, sejarah berperan penting dalam menyajikan fakta-fakta seputar masa lalu dengan pendekatan objektif serta berorientasi pada kebenaran melalui metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam posisinya sebagai disiplin ilmu pula, maka tujuan dari belajar sejarah adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang pengalaman manusia, sehingga memungkinkan siapapun untuk belajar dari peristiwa masa lalu dan membuat keputusan yang tepat untuk masa depan.
Sejarah juga merupakan instrumen penting yang mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis. Selain itu, dalam konteks hidup bernegara, sejarah berperan penting sebagai sarana memunculkan memori kolektif atau ingatan bersama bagi semua unsur masyarakat. Memori kolektif ini memungkinkan individu atau masyarakat untuk terhubung dengan warisan para pendahulu dan memahami kompleksitas perjalanan bangsa.
Namun, di tengah peran penting tersebut, sejarah juga berpotensi menjadi alat indoktrinisasi politik oleh kelompok berkepentingan. Hal tersebut dapat dilihat dari perjalanan berbagai negara dengan rezim otoriter, di mana sejarah digunakan untuk membenarkan kebijakan dan tindakan politik yang bernuansa pragmatis.
Misalnya saja rezim seperti Uni Soviet di bawah Joseph Stalin yang menjadikan sejarah sebagai alat propaganda untuk memperkuat kontrol politik. Atau seperti Adolf Hitler dan rezimnya di Jerman yang menggunakan sejarah sebagai instrumen propaganda untuk membenarkan ideologi rasisnya.
Pada saat itu, pemerintahan Adolf Hitler merekonstruksi masa lalu Jerman dengan narasi supremasi Arya dan menghapuskan kontribusi kelompok lain dalam ingatan bangsa, terutama Yahudi dari sejarah Jerman. Hal ini berujung pada kebencian massal dan genosida yang mengerikan.
Kita bisa belajar dari dua tokoh di atas yang dengan sengaja memanipulasi fakta sejarah, menyusun narasi yang sesuai dengan agenda politik mereka, dan mengabaikan atau menutupi peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan bagi citra mereka. Apa yang mereka perbuat telah merusak akar identitas masing-masing negara bangsanya.
Sejarah sebagai ilmu seharusnya terbebas dari kepentingan politik semacam itu. Sejarah tidak boleh dipolitisasi untuk mengontrol opini publik atau memanipulasi ingatan kolektif masyarakat.
Sebaliknya, sejarah harus menjadi alat pembelajaran yang kritis, di mana fakta-fakta diperiksa dengan teliti dan perspektif-perspektif yang berbeda didiskusikan secara terbuka. Sejarah yang baik tidak hanya menekankan satu versi narasi, tetapi membuka ruang bagi banyak interpretasi yang berlandaskan pada bukti yang kredibel.
Merdeka Mendalami Sejarah
Dalam masyarakat yang demokratis seperti negara kita, salah satu nilai penting adalah kebebasan berpikir dan berekspresi. Di dalamnya, juga termasuk hak untuk mempelajari sejarah secara kritis dan independen. Oleh karena itu, ketika sejarah dimonopoli oleh kekuasaan, masyarakat dengan sendirinya akan kehilangan akses terhadap pengetahuan yang sebenarnya.
Hal itu dikarenakan sejarah yang dijadikan alat propaganda acapkali menyajikan satu versi kebenaran, yaitu yang sesuai dengan kepentingan penguasa. Perspektif alternatif, terutama yang mungkin mengungkap kelemahan, kesalahan, atau kejahatan yang dilakukan oleh penguasa kemudian diabaikan atau bahkan dibredel oleh aparat. Sehingga masyarakat dipaksa menerima asumsi berbasis kebenaran tunggal yang disajikan oleh penguasa.
Apa bahayanya? Masyarakat yang tidak memiliki pemahaman sejarah yang kritis akan lebih mudah dikendalikan oleh elit, karena mereka tidak memiliki dasar pengetahuan yang cukup untuk mempertanyakan kebijakan atau tindakan politik yang tidak adil. Dengan demikian, salah satu cara untuk melindungi demokrasi adalah dengan menjaga agar sejarah tetap bebas dari manipulasi politik.
Pendidikan sejarah harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendorong seluruh elemen masyarakat untuk memahami bahwa sejarah selalu terbuka terhadap interpretasi baru berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Sejarah yang dipelajari tanpa tendensi kepentingan politik memberi pemahaman tentang kompleksitas manusia, budaya, dan peristiwa tanpa batasan ideologi tertentu, sehingga sejarah sendiri bertumbuh benar-benar sebagai ilmu pengetahuan.
***
*) Oleh : Kristoforus Bagas Romualdi, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Tanjungpura.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.