Ada yang bertanya, kapan seseorang disebut ahli kapan disebut praktisi? Sebelum menjawab itu, mungkin terminologi ahli dan praktisi harus dipahami pada cakupan area dunia kerja atau pada bidang industri tertentu seperti industri jasa keuangan, industri manufaktur, industri dana pensiun, dan sebagainya.
Nah, untuk bisa membedakan ahli dan praktis patut dicermati ciri-cirinya. Seseorang disebut ahli manakala orang tersebut memiliki level pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam suatu bidang tertentu. Memiliki kompetensi yang mumpuni, maka ahli sering disebut sebagai pakar atau spesialis. Indikatornya sederhana, seorang ahli pasti bisa menjawab pertanyaan dengan baik, bisa memberikan solusi atas masalah yang dihadapi bidang tertentu.
Beberapa ciri seorang ahli adalah: 1) memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap suatu bidang tertentu, 2) mampu mengaplikasikan pengetahuan secara efektif dalam dunia kerja, 3) memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan dalam bidang kerjanya, 4) berperan penting dalam mendefinisikan suatu masalah, 5) orientasinya pada solusi suatu masalah bukan sekadar membicarakan masalah. Keahlian biasanya diperoleh melalui pendidikan formal, pelatihan intensif, dan pengalaman praktis. Karena itu, seorang ahli membutuhkan komitmen, konsistensi, dedikasi, ketekunan, dan pembelajaran yang berkelanjutan. Seperti di dunia militer, prajurit yang ahli pasti menempati peringkat tertinggi dalam menembak jitu. Bila ada prajurit yang tidak bisa menembak jitu, berarti bukan ahli.
Pada umumnya, seorang ahli biasanya dapat dibuktikan melalui karya atau hasil kerja, seperti buku, tulisan, atau inovasi yang dilakukan pada bidang kerjanya. Atas kepiawaian aspek kognitif, afektif, dan psikomotor maka disebut ahli. Seperti ahli agama, ahli bahasa, ahli dana pensiun, ahli bedah, ahli filsafat, ahli fisika, dan sebagainya.
Berbeda halnya dengan praktisi. Praktisi adalah orang yang menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya dalam bidang pekerjaannya. Jadi, praktisi pasti bekerja di bidang industri tertentu untuk mengelola dan memberikan pelayanan kepada masyarakat/konsumen. Praktisi sering disebut “pelaku”, yang tugasnya adalah 1) mengelola bidang pekerjaannya, 2) memberikan pelayanan, 3) melaksanakan kegiatan dalam bidang tertentu, dan 4) memberikan saran dan evaluasi terhadap pekerjaannya. Ciri terpenting dari praktisi adalah terikat pada pekerjaan dan ber-afiliasi pada perusahaan atau lembaga tempatnya bekerja. Maka orientasi praktisi adalah kinerja atau hasil kerja. Misalnya praktisi pendidikan, pasti bekerja di lembaga pendidikan atau kampus sebagai pengajar. Praktisi bisnis, berarti pelaku atau pelaksana dalam bidang bisnis tertentu.
Ada pula istilah akademisi, yaitu merujuk kepada seseorang yang memiliki pendidikan tinggi, berprofesi sebagai pengajar atau guru besar di perguruan tinggi dan dianggap ahli di bidang tertentu. Akademisi bertugas untuk mengembangkan, menyebarluaskan, dan mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui aktivitas pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Bolehlah akademisi bertugas untuk memikirkan pengembangan secara teoretis, plus langkah praktis implementasinya.
Jadi hipotesisnya, seorang ahli bisa saja lahir dari praktisi dan akademisi. Tapi seorang praktisi belum tentu ahli, bukan pula akademisi. Namun ahli bisa lahir dari latar belakang praktisi atau akademi akibat “jam terbang” atau pengalaman dan kemampuan kognisi yang mumpuni di bidang tertentu.
Siapa pula edukator? Sejatinya, Edukator adalah orang yang kerjanya mendidik atau mengajar. Mentransfer ilmu pengetahuan kepada praktisi atau masyarakat. Misalnya edukator museum, yang menyampaikan pesan yang terkandung dalam benda koleksi museum. Edukator kesehatan, yang melakukan edukasi kesehatan kepada masyarakat. Edukator dana pensiun, yang menyampaikan ilmu pengetahuan di bidang dana pensiun. Edukator tentu berasal dari ahli atau akademisi. Bila praktisi yang mengajar, sebutannya bukan Edukator tapi fasilitator atau orang yang berbagi pengalaman – pengetahuan terkait aktivitasnya sebagai praktisi atau pelaku.
Bagaimana dengan profesional? Profesional berkaitan dengan “level kompetensi” yang dimiliki seseorang dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya. Profesional terkait kapasitas dalam menjalankan profesinya, yang mampu menunjukkan kualitas tinggi dalam pekerjaannya. Karena itu, profesional lebih dekat pada sikap dan perilaku, bukan pengetahuan. Seorang manajer dapat dikatakan profesional bila dia punya kinerja bagus, mampu menjalankan tugasnya dengan baik, kualitasnya mumpuni, dan menjunjung tinggi kode etik profesi. Profesional bisa saja seorang ahli, praktisi atau akademi. Asal syarat kinerja dan kualitas terpenuhi.
Seseorang disebut profesional bila memenuhi ciri-ciri seperti: 1) punya kompetensi dan keahlian khusus di bidangnya, 2) terikat pada kode etik profesi, 3) mampu bekerja secara mandiri, 4) mampu menyelesaikan tugasnya tepat waktu dan efektif, 5) memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, 6) mampu mengakui kesalahan dan mengambil tindakan korektif, 7) memiliki integritas tinggi, 8) mampu bekerja sama dalam tim, 9) punya dampak dan sesuai ekspektasi, 10) bersikap objektif, dan 11) mampu berkembang. Bila ciri-ciri tersebut tidak ada maka tingkat profesionalnya semakin rendah.
Terlepas dari istilah-istilah di atas, seseorang dapat disebut ahli bila memiliki pengetahuan (knowledge), kemampuan (skill), dan sikap (attitude) yang mumpuni. Keahlian harusnya dapat diukur melalui keahlian teknik (technical skill), keahlian kemanusiaan (human skill), dan keahlian konsep (conceptual skill).
Dan tidak kalah penting adalah kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan atau keahlian yang dimiliki seseorang untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu. Karena kompeten, seseorang dapat memutuskan atau menentukan sesuatu. Kompetensi merupakan komponen penting yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Di bidang apapun, kompetensi bisa menjadi acuan dan dapat diukur melalui: pengetahuan, keterampilan, sikap kerja, perilaku kunci, dan kinerja. Hingga berujung pada sebutan “kompeten”.
Nah, patut dicermati. Di industri apapun, bidang pekerjaan apapun. Siapapun dapat mengukur seseorang berada pada level kompeten atau tidak kompeten? Tentu, ukurannya harus objektif, valid, dan reliabel. Salam literasi