Nelayan asal Kabupaten Serang, Banten, Heri Amri Fasa, menilai pemerintah tidak pernah hadir menindaklanjuti pembebasan lahan yang dialami warga pesisir utara perairan Banten oleh proyek Pantai Indah Kapuk (PIK).
Heri mengungkapkan, kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, bukan hal pertama terkait PIK yang dihadapi warga pesisir utara Banten.
Ia menegaskan permasalahan sedemikian rupa sudah dialaminya bersama warga yang lain, sejak lama.
Bahkan, meski pembangunan PIK 1 telah selesai, Heri mengaku dampak akibat pengerukan pasir laut, masih terasa hingga saat ini.
"Bukan kali ini saja (kasus pagar laut, red) kita berhadapan dengan PIK ini, sudah berpuluhpuluh tahun."
"Mulai dari PIK 1 dan pembuatan pulaupulau palsu. Karena bahan materialnya itu diambil dari wilayah kami, di pesisir utara, itu dikeruk. Dampaknya sampai hari ini masih terasa," ungkap Heri dalam siniar Abraham Samad SPEAK UP, dikutip Tribunnews.com pada Kamis (23/1/2025).
Menurutnya, negara tidak pernah ada untuk membantu penyelesaian pembebasan lahan warga pesisir utara Banten terkait PIK.
Heri mengatakan wargawarga yang lahannya dibebaskan untuk PIK, takut melapor.
Bahkan, meski ada warga yang menjadi korban dan sang adik menjabat jaksa, juga takut melapor karena mendapat intimidasi.
"Dan negara itu tidak pernah hadir di situ. Semua takut lho mau melapor, mau ke mana? Ke aparat yg berwajib tidak pernah ada solusi," kata Heri.
"Sampai ada yang adiknya itu menjabat jaksa, takut juga. Ancamannya apa? Dimutasi," tegas dia.
Strategi PIK Bebaskan Lahan WargaHeri lantas membongkar strategi PIK dalam mendapatkan lahan warga di pesisir utara Banten.
Ia menuturkan, di tempat tinggalnya di pesisir utara Kabupaten Serang, tibatiba muncul calo tanah yang menyebarkan daftar.
Daftar itu berisi blokblok yang akan dibebaskan. Isunya, blokblok itu dibebaskan untuk pengembangan proyek PIK.
"Awalnya, kita tahu dari calocalo tanah yang berkeliaran di daerah Serang. Dia menyebarkan rilis, blokblok mana yang akan dibebaskan."
"Dari mulai pesisir, sampai ke persawahan. Isunya ini PIK 8, PIK 9, PIK 10, untuk daerah Serang," jelas Heri.
Mengetahui hal itu, Heri dan rekanrekannya lantas mencari informasi, untuk apa sebenarnya rencana itu.
Terlebih, saat Heri mencari informasi, dirinya mendapati sudah ada pagar laut di Kabupaten Tangerang.
Saat datang ke Kabupaten Tangerang dan bertanya mengenai pagar laut itu, para pekerja mengaku proyek itu dibuat untuk Agung Sedayu Group selaku pengembang PIK.
"Akhirnya kita mencoba mencari informasi, karena yang sudah terjadi itu di Kabupaten Tangerang, kalau saya kan di Kabupaten Serang, kami menemukan ada pagarpagar."
"Kita tanya ke nelayannelayan, ini pagar apa, siapa yang pasang? Ini kata pekerjanya untuk Agung Sedayu," jelas Heri.
Lebih lanjut, Heri mengatakan, selama pembangunan pagar laut itu, proses pembebasan lahan milik warga juga bermasalah.
Ia menyebut pihak pengembang tibatiba mengurug sungai yang menjadi jalur sirkulasi petani tambak.
Selain itu, tanah bengkok milik Desa Kronjo di Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, juga turut diurug.
"Tidak hanya berhenti sampai di situ, ternyata ada masalah juga di pembebasan lahannya."
"Ternyata di situ ada sungaisungai yang diurug, padahal ini sungai akses publik. Itu diurug untuk jalan."
"Kemudian ada tanah bengkok milik Desa Kronjo, itu juga diurug. Tidak tahu apakah itu dijual, kami tidak tahu," beber Heri.
Buntut pengurugan sungai itu, ikanikan milik petani tambak mati. Petanipetani di sawah mengalami kekeringan sebab irigasi tersumbat tanah air.
Bahkan, menurut Heri, yang paling parah adalah persawahan milik petani yang padinya sudah mulai tumbuh, diurug tanpa seizin pemiliknya.
"Tapi, yang jelas, ketika sungai diurug, dia tidak bisa mengairi tambak, karena itu sirkulasi air tambak. Sampai ada yang sudah dikasih bibit, mati karena salisitasnya tinggi, tidak ada sirkulasinya," jelas Heri.
"Terus kemudian pertanian tidak bisa diairi karena irigasinya mampet. Mereka teriak, ke lurah nggak ada solusi, jadi tidak berdaya. Itu kondisinya."
"Belum lagi, sepanjang pembuatan jalan ini (untuk pembangunan pagar laut), padi mulai tumbuh, itu diurug, Pak."
"Itu tidak pernah ada konfirmasi ke pemiliknya. Jadi biar, kalau teriak, berarti itu pemiliknya," imbuhnya.
Pemilik Lahan Terpaksa MenerimaBuntut pengurugan secara tibatiba tanpa izin, warga yang menjadi korban kemudian melapor ke aparat desa setempat.
Dari situ, kata Heri, warga yang lahannya diurug lantas dibawa ke PIK dan diberi DP sebesar Rp30 juta.
Sayangnya, menurut Heri, proses pembayaran tak kunjung selesai hingga saat ini, meski lahan sudah full diurug.
"(Warga yang menjadi korban) nangis, lapor ke kelurahan, dibawa ke PIK."
"Di PIK dikasih makan, dikasih DP Rp30 juta, yang sampai hari ini itu belum selesai pembayarannya, tapi lahannya sudah diurug," ungkap Heri.
Heri juga mengatakan sempat ada isu beredar yang menyebut pembayaran akan dilakukan pihak pengadilan jika warga tak bersedia menerima DP.
"Ketika ditanya, kenapa mau nerima? Lha mau gimana, orang sudah diurug? Sampai ada bahasa, nanti kalau misalnya nggak mau (dibayar), nanti pihak pengadilan yang bayar," kata Heri.
Buntut kasus pagar laut itu, Heri mengaku ia dan rekanrekannya sempat melapor ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten.
Meski DKP Provinsi Banten menyatakan pagar laut tersebut ilegal, namun mereka tak berani memprosesnya.
DKP beralasan mereka tidak memiliki wewenang yang kemudian membuat kasus pagar laut tak kunjung ditindaklanjuti hingga akhirnya ramai dibicarakan.
"Akhirnya kita audiensi lah sekitar awal November apa Oktober 2024, kita audiensi ke DKP Provinsi (Banten)."
"Ini (pagar laut) untuk apa? DKP Provinsi bilang, itu ilegal. Kenapa nggak ditindak? DKP bilang, kita nggak punya wewenang untuk menindak, cuma wewenang untuk melapor ke atas," pungkas Heri.