Jejak Monroe dalam Diplomasi Amerika
Adrian Aulia Rahman February 04, 2025 01:43 PM
Salah satu era paling brilian dalam sejarah kebijakan luar negeri Amerika Serikat termanifestasi dalam masa kepresidenan James Monroe, Presiden AS ke-5. Monroe demikian tinggi menjulang dalam sejarah Amerika, terutama karena terobosan kebijakan luar negerinya. Namanya tidak hanya melekat dalam jabatan presiden AS semata, tetapi lebih dari itu, nama Monroe telah melebur menjadi sebuah doktrin kebijakan yang bertahan begitu lama dan berpengaruh begitu jauh. Doktrin Monroe atau Monroe Doctrine yang demikian terkenal, membuat presiden ke-5 AS ini akan selamanya dikenang dan ditulis dalam tinta emas sejarah Amerika Serikat.
Terpilih pada tahun 1817, James Monroe menjadi presiden dari negara yang usianya masih sangat muda. Sebagai salah satu dari Founding Fathers Amerika, Monroe tentu paham betul betapa sukarnya perjuangan eksistensi Amerika menjadi sebuah negara merdeka. Inggris, sebagai salah satu kekuatan global yang dominan dan memiliki superioritas kekuatan di lautan, menjadi lawan yang tidak mudah bagi sebuah negara koloni. Namun kegigihan dan perjuangan multidimensional -melibatkan resistensi militeristik dan perjuangan diplomasi- membuat Amerika berhasil mendeklarasikan kemerdekaan pada 4 Juli 1776 dan mengakhiri Perang Revolusi melalui Perjanjian Paris 1783.
Sejak awal berdirinya, diplomasi menjadi sangat berarti bagi Amerika. Monroe menjadi salah satu praktisi diplomasi yang unggul. Ia adalah diplomat yang hebat. Pada masa pemerintahan Presiden Thomas Jefferson dengan masalah pembelian Louisiana yang kompleks, Monroe memainkan peranan yang signifikan. Sebagaimana termaktub dalam buku Robert Zoellick yang berjudul America in the World, pada 1800, Napoleon berhasil merebut Louisiana dari Bourbon Spanyol melalui Perjanjian San Ildefonso. Ini menjadi ancaman geopolitik bagi Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri James Madison sampai menyewa informan untuk mengetahui apa sebenarnya ambisi Napoleon di Louisiana. Namun pada April 1803 Jefferson menyurati Duta Besar AS di Paris, Robert Livingstone, yang menyertakan semacam ‘ancaman’ terhadap Napoleon, bahwa jika Prancis memasuki New Orleans, itu mengindikasi sebuah permusuhan dan Jefferson mengancam akan membentuk aliansi Anglo-Amerika.
Seorang pengusaha Prancis yang bernama Pierre du Pont menawarkan pembelian Louisiana kepada Jefferson dan Napoleon. Krisis tentang Louisiana semakin meruncing setelah Spanyol melarang penyimpanan barang AS di Louisiana. Kemudian pada Januari 1803, Jefferson mengutus James Monroe untuk bernegosiasi dengan Madrid dan Paris. Pada akhirnya Napoleon bersedia melepas Louisiana, dengan harga awal yaitu 100 juta franc atau 20 juta dollar AS. Monroe melakukan negosiasi lebih lanjut, yang akhirnya jual-beli Louisiana disepakati dengan harga 15 juta dollar, dan secara resmi ditandatangani pada 2 Mei 1803. Monroe menjadi salah satu pemeran utama dalam ekspansi teritorial awal Amerika Serikat dengan dibelinya Louisiana.
Belahan Bumi Barat
James Monroe menjadi presiden Amerika saat dunia baru saja istirahat dari konflik yang melelahkan, yakni Perang Napoleon. Kongres Wina telah menghasilkan tatanan politik Eropa yang dibasiskan pada perimbangan kekuatan (balance of power). Klemens von Metternich -yang oleh Henry Kissinger disebut sebagai seorang realis tertinggi- berhasil merestorasi keseimbangan Eropa. Dua aliansi telah terbentuk, Aliansi Suci (Holy Alliance) dan Quadruple Alliance. Aktor dominan aliansi tersebut adalah Austria, Prusia, Rusia, dan Inggris. Namun Inggris tak turut serta dalam Aliansi Suci, karena aliansi ini lebih pada similaritas konservatif yang reaksioner atas segala perubahan.
Setelah perimbangan kekuatan di Eropa kembali terbentuk, persaingan untuk supremasi benua dan kekuasaan global tidak padam. Kendati berhasil mempertahankan perdamaian yang berbasis keseimbangan di Eropa, persaingan kekuatan besar di dunia tidak pernah usai. Salah satu wilayah yang berpeluang menyebabkan konflik kekuatan besar adalah Amerika Latin. Menteri luar negeri Inggris kabinet Lord Liverpool, yakni George Canning -menjabat setelah kematian Lord Castlereagh- memiliki gagasan untuk mencegah intervensi kekuatan Eropa di Amerika Latin dengan meningkatkan kerjasama Anglo-Amerika. Canning menawarkan aliansi kepada Monroe.
Tawaran aliansi yang diajukan Canning kepada Monroe, tidak membuat sang presiden tergesa untuk mengambil keputusan. Monroe melakukan konsultasi dengan mantan pendahulunya, Thomas Jefferson dan James Madison, dan kedua mantan presiden tersebut cenderung menyarankan Monroe untuk menerima tawaran Canning. Menteri perang John Calhoun juga cenderung mendukung untuk menerima tawaran Canning. Namun Menteri Luar Negeri John Quincy Adams memiliki pendapat yang berlainan. Menurut Adams, ketergantungan terhadap pihak manapun, termasuk Inggris, akan membahayakan Amerika Serikat. Penolakan Adams ini disampaikannya pada saat rapat kabinet 7 November 1823, yang dipimpin langsung oleh Presiden Monroe.
Menlu Adams menyarankan kepada Presiden Monroe bahwa Amerika harus memiliki kedaulatan penuh dalam menjamin keamanan wilayahnya serta memastikan belahan bumi Barat (West Hemisphere) bebas dari intervensi Eropa. Maka tercetuslah Doktrin Monroe, sebuah pernyataan sikap yang tegas dan bersejarah yang disampaikan oleh Presiden Monroe dalam pidato kenegaraan pada 2 Desember 1823. Menurut Lamont Colucci dalam bukunya The National Security of the American Presidency, Doktrin Monroe adalah pernyataan sepihak presiden AS tentang pemisahan antara dunia lama (Eropa) dan dunia baru (Amerika).
Doktrin Monroe menjadi semacam penegasan atas supremasi regional AS di Belahan Bumi Barat. Gagasan Menlu Adams yang termanifestasi dalam pidato Presiden Monroe merupakan bentuk keberanian dalam meniti langkah untuk mempertegas kedaulatan dengan menihilkan campur tangan kekuatan asing -dalam hal ini Inggris- serta menghalau keterlibatan kekuatan Eropa lainya di daerah pengaruh (sphere of influence) Amerika Serikat, yakni Belahan Bumi Barat. Ceritanya akan berlainan sama sekali apabila Monroe menyambut tawaran aliansi dari Canning. Aliansi Anglo-Amerika yang terbentuk akan membuat negara Eropa, seperti Prancis dan negara Aliansi Suci, merasa memiliki ancaman di kawasan trans-atlantik, yang tidak menutup kemungkinan akan menjadi konfrontasi baru. Ini bentuk kebijaksanaan Presiden Monroe dengan kecerdikan Menlu Adams, yang berhasil meninggalkan warisan (legacy) berharga dalam sejarah kebijakan luar negeri dan diplomasi Amerika Serikat.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.