CEO platform perdagangan kripto INDODAX, Oscar Darmawan, mengatakan penerapan regulasi pajak kripto di Indonesia masih memiliki cukup banyak tantangan, terutama terkait pajak transaksi luar negeri dan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Ia menjelaskan aset kripto pertama kali dikenakan pajak pada 2017 lalu setelah dinyatakan sebagai komoditas yang sah diperdagangkan berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan. Di mana pada 2017-2022, pajak kripto tersebut bersifat self-reporting, yakni pendapatan dari kripto dilaporkan dalam SPT dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) progresif.
Barulah sejak 2022, pemerintah Indonesia menerapkan pajak final terhadap transaksi aset kripto di-exchange berizin, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,1% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11%. Skema ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif pajak kripto paling rendah di dunia.
Menurutnya kebijakan ini lebih kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan pajak progresif berdasarkan keuntungan. Di Amerika Serikat misalnya, pajak atas keuntungan dari aset kripto bisa mencapai 40%, terutama bagi investor dengan penghasilan tinggi.
Sementara itu di Eropa tarif pajak atas keuntungan dari kripto dapat mencapai 50%. Sebaliknya, di Dubai dan beberapa negaraTimur Tengah tidak ada pajak penghasilan sehingga transaksi kripto sepenuhnya bebas pajak.
"Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan sistem pajak final untuk kripto, serupa dengan mekanisme perpajakan di pasar saham," jelas Oscar dalam keterangan resminya, Minggu (23/2/2025).
"Dengan adanya pajak final, tarif pajak kripto di Indonesia justru lebih ringan dibandingkan negara-negara lain yang mengenakan pajak berbasis keuntungan," terangnya lagi.
Meskipun lebih rendah, menurutnya sistem pajak final ini dinilai kurang ideal karena tetap dikenakan meski trader mengalami kerugian, berbeda dengan skema capital gains tax yang hanya dikenakan saat ada keuntungan.
Karenanya Oscar Darmawan menilai bahwa skema pajak final ini sudah cukup baik, tetapi ada ruang untuk perbaikan, terutama terkait PPN. Menurutnya, karena aset kripto kini berada di bawah regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai aset keuangan, seharusnya kripto tidak lagi dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya.
Jika PPN dihapuskan, biaya transaksi akan menjadi lebih kompetitif, sehingga mendorong lebih banyak investor untuk bertransaksi di dalam negeri daripada menggunakan platform luar negeri dan ujungnya pendapatan negara dari PPH akan mengalami peningkatan lebih besar.
"Seharusnya, sebagai aset keuangan, kripto tidak lagi dikenakan PPN," terang Oscar.
Sedangkan untuk masalah penggunaan layanan jual-beli kripto luar negeri, Oscar menjelaskan transaksi di exchange luar negeri atau yang belum memiliki izin dari OJK.
Sehingga dalam PMK 68 diatur pajak PPh final yang dikenakan untuk transaksi kripto melalui exchange luar negeri adalah 0,2% atau dua kali lipat dari yang berlaku di exchange berizin. Namun kondisi ini justru menciptakan ketidakpastian dalam implementasi aturan ini.
"Seharusnya, exchange luar negeri yang memungut pajak, bukan tradernya. Tapi karena belum ada mekanisme pemungutan oleh exchange luar, akhirnya trader yang harus melaporkan sendiri," terang Oscar.
"Bahkan, di beberapa wilayah, pajak yang dikenakan masih menggunakan skema PPh progresif," sambungnya.
Hal ini menyebabkan perbedaan interpretasi di berbagai kantor pajak. Untuk itu dirinya menyarankan para trader yang melakukan transaksi di exchange luar negeri untuk terus berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di kantor pajak tempat mereka terdaftar.
"Setiap wajib pajak memiliki AR di kantor pajak masing-masing, yang bisa diajak berdiskusi mengenai bagaimana cara pembayaran pajak kripto yang sesuai dengan regulasi," tambahnya.