TRIBUNNEWS.COM - Presiden Yoon Suk Yeol yang dimakzulkan mengajukan pembelaannya dalam sidang terakhir pemakzulannya pada Selasa (25/2/2025) di Mahkamah Konstitusi.
Yoon Suk Yeol menjadi presiden pertama dalam sejarah Korea Selatan yang menghadapi pemakzulan langsung.
Persidangannya dimulai sekitar pukul 21.00 waktu setempat dan dia menyampaikan pernyataan lebih dari satu jam.
Melalui pernyataan tersebut, Yoon membantahpengumuman darurat militer pada 3 Desember 2024 sebagai upaya menekan demokrasi.
Yoon menjelaskan, ia bermaksud memperingatkan publik tentang "krisis nasional" yang diakibatkan oleh Partai Demokrat (DP) yang "sangat berkuasa", lapor Korea JoongAng Daily.
Sidang pemakzulan ini telah berlangsung selama tujuh minggu dan diakhiri dengan argumen lisan kemarin.
Sidang ke-11 ini menjadi momen penting bagi Korea Selatan.
Mahkamah Konstitusi kini harus memutuskan apakah Yoon akan diberhentikan atau kembali menjabat.
Dalam dua minggu setelah sidang terakhir, nasib Yoon akan diputuskan, apakah dia akan tetap menjabat atau diberhentikan sebagai Presiden Korea Selatan.
Untuk mengesahkan pemakzulan Yoon, setidaknya dibutuhkan dukungan enam dari delapan hakim Mahkamah Konstitusi yang setuju presiden dipecat.
Jika Yoon diberhentikan, pemilihan untuk memilih penggantinya harus diadakan dalam waktu 60 hari setelah keputusan.
Dalam pembelaannya, Yoon menjelaskan pengumuman darurat militer tersebut merupakan respons terhadap permasalahan serius dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif, terutama terkait dengan konflik dengan Majelis Nasional yang dikendalikan oleh DP.
Yoon mengklaim deklarasi darurat militer dibuat untuk memperingatkan rakyat tentang ancaman yang dianggapnya berasal dari kekuatan antinegara yang berkolaborasi dengan kekuatan luar.
Ia juga menggambarkan Korea Selatan sebagai negara yang sedang menuju bencana besar, dengan negara yang terancam oleh masalah internal dan eksternal.
Yoon menyatakan darurat militer hanya akan berlangsung sebentar, karena situasi memerlukan perhatian publik untuk mencegah bencana.
Ia mengakui tindakan tersebut telah mengingatkan publik akan masa kelam ketika darurat militer diberlakukan oleh kediktatoran militer di tahun 1970-an dan 1980-an.
Meski demikian, ia berpendapat bahwa DP memanfaatkan trauma tersebut untuk keuntungan politik.
Yoon menegaskan pengumuman darurat militer tersebut tidak dimaksudkan untuk menekan demokrasi.
Ia membantah tuduhan bahwa ia memerintahkan penggunaan tentara untuk memaksa anggota parlemen keluar dari Majelis Nasional guna mencegah pemungutan suara yang dapat membatalkan dekrit darurat.
Yoon menegaskan bahwa keputusannya itu bertujuan untuk menarik perhatian publik dan memperingatkan mereka tentang situasi yang sedang terjadi.
Dalam argumen penutupnya, Anggota DPR dari DP, Jung Chung-rae, menekankan bahwa Yoon harus dicopot dari jabatannya untuk menjaga demokrasi.
Ia berpendapat bahwa jika Yoon hanya berniat untuk memberikan peringatan, ia seharusnya tidak mengerahkan pasukan ke Majelis Nasional pada malam keputusan darurat tersebut.
Jung juga mendesak pengadilan untuk menghukum mereka yang berusaha melaksanakan rencana darurat militer presiden "tanpa kecuali."
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)