Sebastian Salang: Efisiensi Anggaran Kebijakan Setengah Hati dan Pemerintah Lakukan Standar Ganda
Wahyu Aji February 26, 2025 08:35 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Global Strategi Riset Indonesia (GSRI), Sebastian Salang menilai, Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 terkait efisiensi anggaran menilai kebijakan itu setengah hati.

Diketahui pemerintah melakukan efisiensi di tingkat kementerian dan lembaga mencapai Rp256 triliun, sementara pemotongan anggaran untuk daerah sekitar Rp50 triliun.

Sebastian mencontohkan pemotongan anggaran di daerah yang dinilai kurang tepat karena sebagian besar dana yang dipangkas berkaitan dengan infrastruktur dan konektivitas, seperti pembangunan jalan dan jembatan. 

"Padahal, banyak daerah yang saat ini terdampak musim hujan dengan infrastruktur yang rusak," kata Salang saat penandatanganan MoU GSRI dengan XYZ Creatif Media di Jakarta, Rabu (26/2/2025). 

Bastian juga mengungkapkan adanya 17 kementerian dan lembaga tidak mengalami pemotongan anggaran menunjukkan adanya standar ganda dalam kebijakan efisiensi ini.

"Jika dilakukan secara adil, sebenarnya ada potensi efisiensi tambahan hingga Rp150 triliun," kata Bastian.

Ia juga menyinggung masalah tumpang tindih program yang memiliki tujuan serupa tetapi tersebar di berbagai kementerian, menyebabkan duplikasi anggaran. 

"Contohnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang memiliki setidaknya empat program serupa yang berjalan bersamaan," katanya.

Dikatakannya, jika efisiensi ini benar-benar dilakukan dengan serius, anggaran bisa lebih efektif, tidak terjadi pemborosan, dan bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Salang melakukan analisis anggaran ke dalam beberapa klaster berdasarkan besarnya alokasi anggaran. 

Klaster pertama adalah pendidikan, dengan total anggaran mencapai sekitar Rp700 triliun.

Program-program terkait pendidikan tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk bank.

Namun, masalah utama yang dihadapi adalah kevalidan data untuk memastikan siapa yang benar-benar menerima manfaat dari program-program ini.

Berdasarkan data yang ditetapkan oleh Bappenas, untuk membiayai satu mahasiswa kuliah, ditetapkan anggaran Rp7 juta per semester.

"Jika angka ini dikalikan dengan total mahasiswa di Indonesia, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta, maka kebutuhan anggaran diperkirakan Rp163 triliun," katanya.

Artinya, dengan total anggaran pendidikan Rp700 triliun, Indonesia sebenarnya mampu memberikan pendidikan tinggi secara gratis.

"Namun, permasalahannya adalah dana yang begitu besar ini tersebar di berbagai program dan belum digunakan secara optimal," katanya.

Klaster kedua adalah program perlindungan sosial, termasuk bantuan sosial (bansos) dan subsidi.

Anggaran untuk bantuan sosial sekitar Rp560 triliun, sementara subsidi mencapai Rp300 triliun.

Dua program ini memiliki karakteristik yang mirip, sering kali sasarannya sama, dan bahkan ada tumpang tindih dalam implementasinya.

Ditambah lagi dengan program baru yang sedang ramai dibicarakan, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG), yang memiliki anggaran Rp171 triliun.

Bastian mencatat bahwa data penerima manfaat belum dipersiapkan dengan baik.
Padahal, menurut kajian Bappenas, tujuan utama program ini adalah untuk menekan angka kemiskinan.

Saat ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 25,2 juta orang.

Jika anggaran dari tiga program besar ini digabungkan dan benar-benar diarahkan untuk pengentasan kemiskinan, setiap orang miskin bisa menerima bantuan sebesar Rp3,2 juta per bulan.

Jumlah ini lebih besar dari rata-rata Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Indonesia.

"Artinya, jika pemerintah serius dalam mengatasi kemiskinan, dengan anggaran yang ada, masalah ini sebenarnya sudah bisa diselesaikan," kata Salang.

Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah pemerintah memiliki data yang akurat mengenai 25 juta orang miskin tersebut.

"Apakah mereka tahu di mana mereka tinggal? Apakah data tersebut bisa diverifikasi? Saat ini, banyak program pemerintah yang menetapkan targetnya masing-masing tanpa koordinasi yang jelas, sehingga tumpang tindih antar kementerian dan lembaga kerap terjadi," katanya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.