TRIBUN-MEDAN.COM - Permukaan air Danau Toba sudah mulai naik sejak akhir tahun 2024 lalu.
Pada Desember 2024, permukaan air Danau Toba sudah naik sekitar 1,5 meter. Hal itu terlihat di perairan Parapat dan Ajibata. Marga Sirait, yang tinggal di Ajibata, juga mengakui naiknya air Danau Toba tersebut.
Kini, di Februari -Maret 2025, air Danau Toba naik mencapai 2,5 meter. Pantauan Jurnalis Tribun-Medan.com, Maurits Pardosi dari Balige, Kabupaten Toba, pondok-pondok di Pantai Bulbul Balige nyaris tenggelam.
Kenaikan permukaan Danau Toba yang terus menerus ini pun menjadi perbincangan publik.
Keindahan Pasir Putih di Pantai Bulbul Balige pun sudah mulai tertutup. Bahkan pengelola wisata yang memiliki warung dan pondok harus membentengi pinggiran danau dengan karung berisi pasir.
Terlihat sejumlah pondok harus tutup karena air sudah memasuki area. Termasuk juga wahana bermain anak-anak yang berada di pantai terendam air.
Seorang pengelola sekaligus pemrakarsa pembukaan destinasi Pantai Bulbul Balige, Lambok Simangunsong (71) mengisahkan sejarah singkat Pantai Bulbul.
"Pertamakali Pantai Lumban Bulbul Balige ini dibuka sebagai destinasi wisata dimulai pada tahun 2016," ujar Lambok Simangunsong, Kamis (27/2/2025) sore.
Sebagai putera daerah, ia telah menikmati kekayaan alam Danau Toba sebagai mata pencaharian sejak masa kecilnya. Baginya, alam Danau Toba adalah penopang hidup masyarakat sekitar.
Selain sebagai nelayan, masyarakat sekitar juga dikenal sebagai petani. Walau tak memiliki lahan pribadi, masyarakat sekitar mengelola lahan orang lain agar bisa bertani.
"Dasar pembukaan destinasi ini adalah mengubah pemikiran masyarakat sekitar yang dulunya bertani dan nelayan menjadi pengelola wisata,"tuturnya.
"Sejak kecil, kita sudah terbiasa memancing ikan di kawasan ini sebagai bahan makanan sehari-hari sekaligus mata pencaharian bagi masyarakat sekitar,"sambungnya.
Perubahan cara pikirnya soal Danau Toba mulai berubah setelah ia merantau ke Jawa pada tahun 1972.
Lama di rantau orang ternyata bermanfaat baginya untuk belajar mengelola destinasi wisata.
"Pada tahun 1972, saya sudah merantau ke Jawa. Saat itu mata pencaharian masyarakat sekitar masih bertani dengan mengolah sawah orang lain dan bagi hasil serta sebagai nelayan di Danau Toba,"ungkapnya.
Tahun 1983, ia kembali ke kampung halamannya. Kekayaan alam berupa ikan tidak sebanyak dulu lagi diperoleh nelayan dari Danau Toba.
Walau ia tidak tahu secara pasti penyebab berkurangnya tangkapan ikan di Danau Toba, namun ia berupaya mencari strategi bertahan hidup di pinggiran Danau Toba.
"Hasil bertani dan nelayan mampu menyekolahkan anaknya. Lalu, kami kembali ke kampung halaman 1983, kondisi sudah berubah. Ikan di Danau Toba sukar diperoleh. Kita tidak tahu apa alasannya,"ujarnya.
Sektor pariwisata menjadi jawabannya. Ia bersama warga yang lain mulai membahas soal pembukaan area wisata yang ramah terhadap anak-anak.
Hal ini didukung keadaan alam sekitar, pantai pasir putih luas dan cocok sebagai tempat bermain anak-anak.
"Sejak dari situ, kami ingin mengubah mindset soal Danau Toba yang ada di kawasan ini. Ikan yang dulunya hanya sebagai mata pencaharian, kita usahakan sebagai bagian dari pariwisata. Tentu nilainya sudah berubah," tuturnya.
Bupati Toba pertama, Sahal Tampubolon mulai membuka pantai dengan panjang 100 meter. Lalu bupati kedua, Monang Sitorus memperpanjang pantai yang dibuka menjadi 200 meter.
"Ketika Bupati Toba Sahala Tampubolon memimpin, hal ini kita bicarakan. Hasil komunikasi, beliau membuka pantai I ini sepanjang 100 meter," lanjutnya.
"Di masa kepemimpinan Bupati Toba Monang Sitorus, panjang pantai bertambah menjadi 200 meter. Dan, kami dulu buat nama pantai ini Pantai Ancol, menumpang nama pantai yang terkenal," ungkapnya.
Sempat terhenti pada masa Bupati Toba Kasmin Simanjuntak. Namun, di masa bupati selanjutnya, Darwin Siagian, sektor pariwisata mendapatkan perhatian khusus. Beragam pembenahan termasuk membangun ikon di kawasan tersebut dibangun. Hingga kini, ada tiga pantai yang sudah terbentuk: Pantai I, II, dan III.
"Lalu, Toba dipimipin oleh Kasmin Simanjuntak. Tidak ada perubahan. Lalu, ada pergantian kepemimpinan ke Darwin Siagian. Saat itu, pariwisata sudah semakin dilirik sebagai sektor yang dikembangkan di Kabupaten Toba,"jelasnya.
Sejak itulah pariwisata di kawasan tersebut berkembang. Masyarakat sekitar 70 persen menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. "Pada masa inilah dibangun sejumlah ikon di kawasan ini. Termasuk juga dermaga yang ada di Pantai 1 ini," tuturnya.
Saat ini, harapan itu pupus karena permukaan air Danau Toba naik 2,5 meter.
"Dan setelah berkembang, kini permukaan air Danau Toba naik hingga 2,5 meter. Tentu hal ini membuat kami para pengelola destinasi wisata merugi," tuturnya.
Diperkirakan, pendapatannya per hari paling sedikit Rp 200 ribu. Kini, ia hanya bisa berpangku tangan di pinggiran Danau Toba dan menyaksikan pondoknya sepi pengunjung.
Ahli Geologi Jonathan Tarigan mengungkapkan penyebab air permukaan Danau Toba naik adalah adanya pertambahan debit air bawah tanah setelah musim hujan.
Di mana lebih banyak air hujan masuk ke dalam tanah ketimbang yang jatuh di Danau Toba.
“Jadi air hujan masuk ke dalam tanah, kalau hujan yang jatuh ke Danau Toba tidak akan mampu menaikkan permukaan air tanah setinggi itu. Umumnya itu air dari bawah tanah yang bergabung ke danau hingga permukaan air naik,” ungkap Ahli Geologi Jonathan Tarigan.
Adapun sumber air bawah tanah yang menjadi faktor dan juga penyebab naiknya air permukaan Danau Toba datang dari kawasan lainnya, seperti dari Dairi, Karo, Pakpak, Toba yang dimana air hujan yang jatuh di daratan itu dan tidak persis di kawasan danau.
“Saya pikir-pikir 2 meter itu tinggi. Artinya kenaikan permukaan air Danau Toba disebabkan air yang masuk ke Danau Toba itu sumbernya dari air bawah tanah,” ujar Jonatan Tarigan.
Menurutnya, naiknya permukaan air Danau Toba juga disebabkan air bawah tanah itu meresap dari kawasan-kawasan yang jauh, misalnya air hujan di Kabupaten Dairi meresap ke bawah tanah.
Kemudian di dalam tanah muncul aliran air yang masuk ke kawasan Danau Toba.
Ia yakin air hujan yang turun langsung ke Danau Toba tidak akan mampu menaikkan air permukaan.
“Suplai air ke Danau Toba itu banyak dari air bawah tanah (ABT). Banjir yang terjadi di kawasan Danau Toba beberapa waktu lalu tidak dapat menambah air permukaan Danau Toba naik,” ucapnya.
Kejadian banjir yang terjadi kawasan Danau Toba dikatakan Ahli Geologi dan merupakan kondisi tersendiri.
Terkikisnya hutan karena penebangan liar menjadikan faktor utama banjir bandang dan tanah longsor, karena sudah berkurangnya resapan air.
Dari perspektif ekonomi, penebangan liar telah mengurangi pendapatan dan devisa Negara serta diperkirakan kerugian Negara mencapai 30 triliun per tahun pada 2017, menurut Pusatkrisis Kemenkes.
Turunnya sumber daya air dikarenakan pohon sangat berkontribusi dalam menjaga siklus air melalui akar pohon penyerapan air yang kemudian dialirkan ke daun, kemudian menguap dan dilepaskan ke lapisan atmosfer. Namun, karena penebangan liar ini, sehingga tidak ada lagi penyerap dan penyimpan air dalam jumlah yang banyak ketika hujan lebat terjadi.
Ketika pohon ditebang dan daerah tersebut menjadi gersang, maka taka da lagi yang membantu tanah menyerap lebih banyak air, dengan demikian akhirnya menyebabkan banjir bandang dan longsor.
Bukan hanya banjir bandang dan longsor, akibat penebangan liar ini, spesies hewan dengan keanekaragaman hayati dari berbagai daerah hilang dalam skala besar.
Kondisi hutan yang begitu asri dan alami dulunya, kini telah gundul.
Kawasan hutan ini muara airnya ke Danau Toba dan juga ke Aceh.
Lokasinya masih di Kecamatan Parililitan, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Di wilayah ini juga merupakan sejarah bagi keturunan marga Simbolon Tuan Nahoda Raja di Sionom Hudon.
Sejarahnya, Tuan Nahoda Raja, tinggal di wilayah ini, namanya Huta Sirintua.
Huta Sirintua ini merpakan perbatasan Sionom Hudon, Parlilitan dengan Kabupaten Samosir.
Di wilayah ini, keturunan Simbolon Tuan Nahoda Raja telah melestarikan hutan ini dengan menanam pohon kemenyan, durian, petai, bercocok tanam padi darat, dan tanaman tua lainnya.
Pantauan dari Google Earth, wilayah hutan ini telah gundul dan diduga telah dijadikan sebagai perkebunan.
Sudah ratusan tahun, keturunan Partuan Nahoda Raja menguasai wilayah ini.
Kemudian diwariskan untuk selalu dijaga untuk generasi yang akan datang.
Pohon kemenyan (haminjon) sebagai mata pencaharian utama selain bersawah dan berladang.
Ke wilayah hutan ini, mereka bermalam di sana bisa sampai seminggu hingga dua minggu.
Biasanya, masyarakat berangkat pada hari Selasa dan kembali ke kampung pada hari Sabtu.
Terkait pembukaan lahan hingga pembalakan hutan di sana, belum diketahui siapa orangnya.
Memang, di wilayah sana ada Klaim Kawasan Hutan Negara berdasarkan SK.6609/MenLHK/ PKTL/PLH/X/2021 dengan fungsi Hutan Produksi Tetap seluas 1.596 hektar. Di atas klaim tersebut, terdapat Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Tanaman Industri (HTI) PT TPL seluas 736 hektar.
Secara eksisting, lokasi tersebut adalah hutan alam yang berisi berbagai jenis kayu-kayu alam dan pohon-pohon kemenyan serta tempat hidupnya satwa liar seperti harimau, beruang madu, rusa dan lainnya.
Namun hutan tersebut berganti dengan tanaman monokultur.
Sebetulnya, perusahaan yang terafiliasi dengan grup RGE milik ST tersebut telah berkomitmen untuk menghentikan deforestasi pada Juli 2015. Namun, pasca publikasi komitmen, angka deforestasi tak kunjung berhenti. Hutan yang telah di buka pun telah mencapai ratusan hektar hektar ditambah lagi dari keuntungan yang diraup dari penebangan pohon-pohon di kawasan hutan tersebut.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah kawasan di Danau Toba, diterjang banjir bandang.
Seluruh airnya tumpah ke Danau Toba.
Seperti pada Selasa (25/2/2025) pagi, banjir bandang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara (Sumut), yang merusak sejumlah rumah warga, infrastruktur, dan lokasi wisata di tepian Danau Toba.
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, namun pembersihan material banjir masih dilakukan.
Banjir bandang di Kecamatan Silahsabungan ini menerjang tiga desa, yakni Desa Silalahi I, Desa Silalahi II, dan Desa Silalahi III yang berada di tepian Danau Toba.
Material berupa tanah, batu-batuan besar, dan bongkahan kayu, terbawa air dari atas perbukitan dan kemudian menghantam pemukiman warga yang ada di bawahnya.
Akibatnya, sejumlah rumah warga infrastruktur seperti jalan umum dan jembatan serta lokasi wisata di tepian Danau Toba ini rusak.
Dilansir dari akun Youtube Dani Elbona yang dipublikasikan tanggal 14 Januari 2025, ia mengabadikan pintu air Danau Toba yang mengontrol dan mengalirkan air dari danau menuju laut.
Pintu air Danau Toba ini ternyata memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan pengaturan debit air danau yang begitu besar.
Air dari Danau Toba tersebut mengalir keluar melalui Sungai Asahan, yang merupakan satu-satunya sungai yang menghubungkan air danau ini dengan laut.
Di bendungan ini ada pintu air yang berfungsi mengontrol jumlah air yang keluar dari Danau Toba menuju Sungai Asahan dan mengalir menuju Banjung Palai dan akhirnya bermuara di Laut Malaka.
Saat air dari danau ini turun, sistem ini akan memastikan air tersebut mengalir dengan lancar, tanpa menyebabkan kerusakan pada lingkungan sekitar.
Pintu air ini tidak hanya berfungsi sebagai pengatur aliran air, tetapi juga sebagai pengaman yang mencegah terjadinya penyumbatan akibat sampah atau benda lainnya.
Sampah yang terbawa air akan disaring terlebih dahulu di beberapa lapis saringan sebelum diteruskan ke bawah, sehingga aliran air tetap lancar dan terjaga kebersihannya.
Bendungan pintu air keluar Danau Toba ini juga digunakan untuk keperluan PT Inalum (Indonesia Asahan Aluminum), yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas ini.
Pengaturan debit air ini dilakukan dengan menggunakan peralatan khusus yang mampu memantau dan mengendalikan aliran air secara real-time. Kekuatan air yang begitu besar juga menjadi salah satu alasan mengapa pintu air dan bendungan ini harus dijaga dengan sangat hati-hati.
Selain untuk menjaga stabilitas aliran air dan keberadaan pintu air ini juga sangat penting untuk mencegah terjadinya banjir besar di sekitar sungai Asahan yang dapat merusak kehidupan masyarakat dan lingkungan.
Oleh karena itu, pintu air ini merupakan kunci penting untuk menjaga kelangsungan hidup ekosistem dan kehidupan di sekitar Danau Toba. Selain itu, bendungan dan pintu air ini juga berfungsi untuk mengurangi risiko kerusakan akibat banjir. Ketika volume air di Danau Toba terlalu tinggi, pintu air dapat mengurangi tekanan dengan mengalirkan air secara terkendali, sehingga mencegah terjadinya banjir yang merusak.
(*/tribun-medan.com/berbagai sumber)