Bulan Ramadan dan Skandal Korupsi Pertamina: Cermin Buram Moral Bangsa
GH News March 04, 2025 07:07 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Bulan Ramadan bukan hanya sekadar waktu untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi juga momentum untuk meningkatkan kualitas moral, etika, dan integritas dalam kehidupan sehari-hari. Konsep utama dalam Ramadan adalah ketakwaan, yang mencakup kejujuran, disiplin, serta pengendalian diri dari perbuatan yang merugikan orang lain. Namun, ironisnya, di tengah semangat Ramadan yang mengajarkan kejujuran, kasus-kasus korupsi justru masih terus bermunculan, termasuk skandal terbaru yang melibatkan Pertamina.

Kasus dugaan korupsi di tubuh Pertamina menjadi perhatian publik karena mencerminkan bagaimana lemahnya integritas masih menjadi persoalan utama di kalangan pejabat dan pengelola keuangan negara. Dalam beberapa bulan terakhir, laporan terkait dugaan penyalahgunaan dana di perusahaan BUMN ini mengindikasikan adanya praktik korupsi yang terus berulang, meskipun berbagai kebijakan pengawasan telah diperketat. Di tengah bulan Ramadan, ketika umat Muslim di seluruh dunia diajarkan untuk memperbaiki akhlak dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kasus seperti ini seolah menjadi tamparan keras bagi bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Dari perspektif etika, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral yang mendasar. Dalam Islam, tindakan korupsi dikategorikan sebagai bentuk khianat yang merusak keadilan sosial dan mencederai kepercayaan publik. Korupsi bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menimbulkan efek domino berupa ketidakadilan ekonomi, meningkatnya kemiskinan, serta ketimpangan sosial yang semakin tajam. Dalam konteks Ramadan, bulan yang seharusnya menjadi waktu untuk membersihkan hati dan jiwa dari sifat tamak, kasus korupsi yang terungkap justru menunjukkan bagaimana kerakusan masih mengakar kuat dalam birokrasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Fenomena korupsi yang terus terjadi di bulan Ramadan juga menunjukkan bahwa ritual keagamaan tidak serta-merta menjamin perubahan karakter individu. Banyak pejabat atau pengusaha yang secara lahiriah menjalankan ibadah puasa, tetapi di sisi lain tetap terlibat dalam praktik koruptif. Hal ini mengindikasikan bahwa ibadah yang dilakukan hanya bersifat simbolis, tanpa diiringi dengan pemahaman yang mendalam mengenai makna ketakwaan dan integritas yang sesungguhnya. Ramadan seharusnya menjadi refleksi bagi setiap individu, terutama mereka yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab besar terhadap kesejahteraan publik.

Selain itu, korupsi di bulan Ramadan semakin memperjelas adanya kesenjangan antara nilai yang diajarkan agama dengan praktik nyata dalam kehidupan sosial. Masyarakat sering kali menganggap Ramadan sebagai bulan suci yang penuh keberkahan, tetapi kenyataannya, praktik-praktik yang merugikan orang banyak tetap berlangsung. Ini menunjukkan bahwa reformasi moral masih menjadi tantangan besar bagi bangsa ini. Seharusnya, Ramadan bukan hanya dijadikan sebagai waktu untuk meningkatkan ibadah ritual, tetapi juga menjadi ajang untuk melakukan evaluasi moral secara lebih mendalam.

Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa perbaikan moral dan integritas bukan hanya tanggung jawab individu semata, tetapi juga sistem yang ada di dalam pemerintahan dan dunia usaha. Jika sistem yang ada masih memberikan celah bagi praktik korupsi, maka individu yang berkuasa akan tetap memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan wewenangnya. Oleh karena itu, selain membangun kesadaran moral, penguatan sistem yang lebih transparan dan akuntabel juga menjadi kunci dalam memberantas korupsi.

Dalam konteks Ramadan, perusahaan-perusahaan BUMN dan lembaga pemerintah seharusnya menjadikan bulan suci ini sebagai momentum untuk menerapkan kebijakan antikorupsi yang lebih tegas. Transparansi anggaran, pengawasan yang lebih ketat, serta penegakan hukum yang adil harus menjadi prioritas utama dalam memperbaiki tata kelola keuangan negara. Jika tidak, maka Ramadan hanya akan menjadi ajang seremonial tanpa dampak nyata bagi peningkatan kualitas moral di kalangan pejabat dan birokrat.

Kesimpulannya, bulan Ramadan seharusnya menjadi momen refleksi bagi semua pihak untuk menegakkan etika dan integritas dalam kehidupan sehari-hari. Kasus korupsi di Pertamina yang mencuat di tengah bulan suci ini menunjukkan bahwa reformasi moral masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi bangsa ini. Ketakwaan yang diajarkan dalam Ramadan tidak boleh hanya berhenti pada ritual, tetapi harus diterjemahkan dalam bentuk sikap dan tindakan nyata. Jika nilai-nilai integritas benar-benar diterapkan, maka bukan hanya individu yang akan memperoleh keberkahan Ramadan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan yang akan merasakan manfaat dari pemerintahan yang bersih dan transparan. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.