WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA- Pemerintah bersama DPR RI sedang menggodok Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Dalam pembahasan tersebut, sejumlah aturan yang selama ini berlaku pada aturan lama berpotensi diubah
RUU KUHAP masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan oleh Komisi III DPR RI.
RUU tersebut dinilai mendesak untuk segera dibahas karena UU KUHP baru akan berlaku pada 2 Januari 2026. Selain itu, pengesahan RUU KUHAP dinilai penting karena KUHAP merupakan hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materiel.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie mengingatkan agar pemerintah dan DPR melakukan pertimbangan dengan matang dalam menyusun aturan baru dalam KUHAP
Salah satunya perihal pembagian peran beberapa lembaga penegak hukum
Dalam aturan baru tersebut, dia menyarankan, sebaiknya Kejaksaan tetap pada fungsinya melakukan penuntutan
Sedangkan Kepolisian juga tugasnya tetap melakukan penyidikan seperti yang berjalan selama ini.
Sebenarnya, kata Jimly, Kejaksaan itu atas nama negara merupakan pemilik perkara atau pemegang perkara yang dikenal dengan istilah dominus litis seperti di beberapa negara dunia.
Akan tetapi, saat ini ada beberapa yang diatur khusus seperti perkara tindak pidana korupsi itu dibuat tersendiri oleh KPK di Indonesia.
“Jadi dua-duanya bisa, KPK bisa, Kejaksaan bisa. Tapi KPK dibatasi yang di atas 1 miliar, misalnya gitu,” kata Jimly saat dihubungi wartawan pada Rabu, 12 Maret 2025.
Selain itu, Jimly mengatakan jaksa secara umum merupakan penuntut umum sampai melakukan eksekusi.
Sedangkan, penyidikan itu dilakukan oleh Kepolisian dan penyidik lainnya yang disebut sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Saat ini, Jimly menyebut jumlah PPNS sudah banyak sekali sekitar 56 PPNS. Rencananya, akan ditambah 1 lagi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Jadi jaksa secara umum dia penuntut sampai eksekusi. Polisi dan penyidik lainnya, itu jumlahnya 56 instansi yang namanya PPNS banyak sekali. Selama ini enggak efektif karena semua dikoordinasi oleh kepolisian. Jadi enggak efektif, karena disidik ulang. Ya sudah koordinasinya langsung ke kejaksaan aja, kan dia yang memiliki perkara,” jelas dia.
Namun, Jimly mengingatkan agar tidak ada kesan bahwa Kepolisian kewenangannya dikurangi dalam RKUHAP tersebut, maka sistem yang sudah berjalan selama ini sebaiknya dilanjutkan. Hanya saja, Jimly mengaku tidak mengetahui secara detail seperti apa pembahasan RKUHAP terkait kewenangan aparat penegak hukum tersebut.
“Jangan pula polisi jadi enggak ada kerjaan. Jadi misalnya kalau mau, ya sudah kejaksaan enggak usah melakukan penyidikan. Penyidikannya enggak usah kejaksaan. Kejaksaan itu penuntutan saja. Biar polisi yang melakukan penyidikan, penuntutannya itu kejaksaan. Polisi ini kan merasa kok dikurangi pekerjaannya,” ujarnya.
Kecuali, kata Jimly, Kejaksaan bisa langsung melakukan penyidikan untuk perkara tindak pidana khusus atau tindak pidana tertentu seperti korupsi, tindak pidana pencucian uang (TPPU) hingga terorisme.
Meskipun, lanjut dia, KPK juga diberikan kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan hingga penuntutan dalam perkara korupsi.
“Semua urusan penuntutan melalui kejaksaan, kecuali tipikor (tindak pidana korupsi) sudah ada KPK. Kan bisa begitu,” katanya.
Di samping itu, Jimly mengingatkan pembahasan RKUHAP ini harus melibatkan masyarakat untuk menghindari gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), seperti halnya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam Putusan MK, kata dia, syarat pembentukan Undang-Undang yaitu adanya partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation.
“Harus (membuka draf ke publik). Itu sudah diputuskan oleh MK, harus ada syarat namanya partisipasi publik yang bermakna, atau meaningful participation. Kalau tidak ada meaningful participation, itu bisa dibatalin melalui uji formil. Kan sudah ada kasusnya UU Ciptaker itu dibatalkan secara formil, sehingga seluruhnya dinyatakan tidak berlaku karena tidak adanya meaningful participation. Jadi itu syarat pembentukan Undang-Undang harus ada partisipasi publik yang bermakna. Kalau enggak, bisa dibatalin di MK,” pungkasnya.
Di sisi lain, Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Riki Perdana Raya Waruwu menilai pembaruan KUHAP bukan sekadar kebutuhan, tetapi suatu keharusan untuk menjamin keseimbangan keadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Pasalnya, ketentuan yang ada saat ini masih belum sepenuhnya mencerminkan asas kepastian hukum, keseimbangan antara hak tersangka dan korban, serta belum selaras dengan berbagai kebijakan MA dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ketidaksempurnaan dalam KUHAP tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan, baik dalam aspek perlindungan korban maupun fleksibilitas hakim dalam menegakkan keadilan substantif," ujar Riki.