Merawat Kemabruran Puasa 15 : Dari Inabah ke Istijabah
Rendy Nicko Ramandha March 15, 2025 07:31 PM

TRIBUNJATIMTIMUR.COM - Dalam artikel terdahulu dijelaskan bahwa taubat mempunyai berbagai tingkatan. Taubat paling standar ialah orang yang sadar dari lumpur maksiat kemudian meninggalkan seluruh kebiasaan-kebiasan buruk lamanya. Ia berjanji dan bertekat untuk sungguh-sungguh meninggalkan seluruh kebiasaan lamanya yang buruk. Orang yang tidak sekedar meninggalkan dosa dan maksiat tetapi sudah mengganti kelakuannya dengan amal-amal kebajikan. Orang yang tidak saja memperbanyak amalan ibadah dan sosial tetapi sudah masuk ke wilayah hakekat, sebagaimana layaknya kehidupan para arifin lainnya. Orang yang sedetik melupakan Tuhannya sama dengan melakukan dosa besar. Ini yang paling tinggi dan paling sulit dicapai seorang hamba.

Syekh Ibn ‘Athaillah membedakan dua jenis taubat, yaitu taubat inabah dan taubat istijabah. Taubat inabah ialah sikap taubat seseorang hamba yang didorong oleh rasa takut terhadap dosa dan maksiyat yang telah dilakukannya, sehingga terbayang di benaknya kerugian besar di dunia dan siksa dan malapetaka Tuhan yang amat pedih di neraka. Dalam suasan takut seperti itu ia menyerahkan diri, bertaubat, dan memohon pengampunan kepada Allah SWT. Ia selalu membayangkan api neraka yang akan menyiksa dirinya seandainya Allah tidak memaafkannya. Siang dan malam selalu melakukan ketaatan kepada Allah dengan harapan amal kebajikan bisa mengikis habis segala dosa-dosanya, sebagaimana firman Allah: Inna al-hasanat yudzhibna al-sayyi’at (sesungguhnya amal kebajikan menghapuskan segala dosa).

Sedangkan taubat istijabah merupakan bentuk taubat seorang hamba yang malu terhadap kemuliaan Tuhannya. Taubat dalam tahap ini tidak lagi membayangkan Allah SWT sebagai Maha Pembalas terhadap segala dosa dan maksiyat sebagaimana dalam tahap taubat inabah. Taubat istijabah ketika seseorang lebih merasa tersiksa rasa malu terhadap Tuhannya ketimbang panasnya api neraka-Nya. Yang membuat seseorang tersiksa ialah betapa pedihnya jika terbebani rasa malu yang amat dalam terhadap Allah SWT. Mestinya ia bersyukur dan mengabdi kepada Allah SWT dengan berbagai kenikmatan yang diperoleh dari-Nya tetapi malah melakukan dosa dan maksiat. Inilah yang membuatnya tersiksa, kecewa, lalu menyesali dirinya tega melakukan sesuatu yang memalukan terhadap Tuhannya. Ketersiksaannya lebih berat ketimbang ia masuk ke dalam neraka. Seandainya disuruh memilih disiksa secara fisik di neraka atau terbebani rasa malu terhadap Tuhannya maka ia akan memilih disiksa di neraka.

Sudah sepantasnya kita mengevaluasi perjalanan hidup dan diri kita. Tanda-tanda ketuaan apa yang kita sudah miliki? Mungkin uban sudah bercampur di tengah rambut hitam kita, rasa ngilu di tulang persendian sebagai akibat gejala penuaan, pembatasan-pembatasan apa yang diminta dokter pribadi kita, semisal membatasi makanan dan pergerakan fisik. Lihatlah anak-anak kita yang sudah mulai besar dan membutuhkan figure keteladanan orang tua, atu mungkin kita sudah punya cucu yang selalu mengidolakan kita? Tataplah diri kita tanpa topeng kepalsuan. Apakah diri kita pantas diidolakan atau mereka semua terkeco dengan topeng-topeng kepalsuaan yang melekat di wajah kita. Di depan mereka kita maaikat tetapi di luar sana kita iblis. Jangan-jangan kita tak lebih seonggok nafsu?

Evaluasi diri kita masing-masing.  Jenis tobat apa yang kita miliki? Apakah kita sudah melakukan penyesalan terhadap dosa dan maksiyat yang telah kita lakukann? Apakah kita tergolong yang selalu membayangkan panasnya api nerakan setelah melakukan dosa dan maksyat? Apakah sudah terbetik rasa malu kepada Allah SWT setelah kita melakukan dosa? Apakah telah muncul penyesalan mendalam dan bertekad untuk memutuskan segenap dosa-dosa dan maksiat langganan kita, karena takut atau malu kepada Allah SWT? Apakah kita telah mengganti langganan dosa dan maksiyat itu dengan amal kebajikan? Atau kita samasekali belum melakukan perubahan di dalam diri kita, dosa dan maksiyat masih berjalan terus tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun. Masih ada sedikit waktu untuk bertobat, lakukanlah sebelum segalanya terlambat.

Menteri Agama RI

Prof Dr KH Nasaruddin Umar, MA

(TribunJatimTimur.com)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.