TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menolak usulan kenaikan royalti komoditas mineral dan batubara yang diajukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam Konsultasi Publik Usulan Penyesuaian Jenis dan Tarif PNBP SDA Minerba, Sabtu (8/3/2025).
Ketua Umum FINI, Alexander Barus, menegaskan bahwa kenaikan royalti di tengah kondisi ekonomi saat ini dapat berdampak negatif terhadap industri nikel nasional.
"Industri nikel nasional telah mengalami masa sulit dalam dua tahun terakhir, dan kenaikan royalti dapat memperburuk kondisi ini," katanya, Sabtu (15/3/2025).
FINI tetap terbuka untuk berdialog dengan pemerintah demi mendukung hilirisasi yang berkelanjutan dan menjaga stabilitas industri.
Alexander juga mengemukakan beberapa alasan utama dalam penolakan ini, yakni ketidakpastian ekonomi global akibat perang berkepanjangan, ketegangan dagang, dan penurunan permintaan produk nikel akibat substitusi oleh Lithium Ferro-Phosphate, yang telah menekan harga nikel ke level terendah sejak 2020.
"Juga pelemahan permintaan dari China. Industri baja, yang sangat bergantung pada pasar China, mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi dan ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat," katanya.
Selain itu, beban kebijakan pemerintah juga menjadi perhatian. Berbagai kebijakan, seperti kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), penggunaan Biodiesel 40 yang lebih mahal, serta kewajiban retensi Devisa Hasil Ekspor (DHE), turut meningkatkan biaya operasional industri.
Kebijakan ini juga menghapus tax holiday dan berdampak pada arus kas industri, meningkatkan risiko PHK, serta menambah tekanan terhadap industri pertambangan dan pengolahan nikel.
Di sisi lain, PNBP sudah mencapai target. Kontribusi sektor mineral dan batubara terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) terus melampaui target dari tahun 2020 hingga 2024, sehingga FINI menilai kenaikan royalti saat ini belum diperlukan.
Dalam usulan tersebut, pemerintah mengajukan tarif progresif atas bijih nikel yang meningkat dari 10 persen menjadi 14—19 persen, bergantung pada harga mineral acuan (HMA). Kenaikan ini mencapai 40—90 persen dari tarif sebelumnya.
Selain itu, tarif progresif untuk nikel matte sebagai bahan baku baterai juga diusulkan naik dari single tariff 2 persen menjadi 4,5—6,5 persen, dengan penghapusan skema windfall profit.
Sebelumnya, dalam paparan Konsultasi Publik Usulan Penyesuaian Jenis dan Tarif PNBP SDA Minerba yang digelar Sabtu (8/3/2025), Kementerian ESDM mengusulkan kenaikan royalti atas sejumlah komoditas mineral dan batubara.
Salah satunya, pemerintah mengusulkan tarif progresif atas bijih nikel naik mulai 14—19 persen menyesuaikan harga mineral acuan (HMA), yang sebelumnya hanya sebesar 10 persen.
Angka kenaikan ini adalah sebesar 40—90 persen dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.
Selain itu, tarif progresif nikel matte (bahan baku baterai) juga diusulkan naik 4,5—6,5 persen menyesuaikan HMA, sementara windfall profit dihapus. Sebelumnya berlaku single tariff 2 persen dan windfall profit bertambah 1 persen.
Angka kenaikan ini adalah sebesar 150—200 persen dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya. (Eko Sutriyanto)