TRIBUNNEWS.COM, TOKYO – Dalam satu bulan terakhir, revisi Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) menuai pro dan kontra terkait modernisasi militer versus risiko terhadap demokrasi dan supremasi sipil.
"Pemerintah berargumen bahwa revisi ini penting untuk memperkuat pertahanan negara, sementara kelompok masyarakat sipil khawatir akan dampak negatifnya terhadap tata kelola pemerintahan sipil dan HAM," ungkap Ketua PPI Jepang, Prima Gandhi, kepada Tribunnews.com, Sabtu (16/3/2025).
Pada Sabtu (15/3/2025), proses legislasi revisi menimbulkan polemik. KontraS dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendatangi rapat pembahasan RUU TNI yang berlangsung secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat.
Terkait hal ini, PPI Jepang, sebagai organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Jepang—negara demokrasi yang menganut sistem pemerintahan parlementer—menyatakan dukungan terhadap KontraS dan Koalisi Masyarakat dalam mengkritisi proses legislasi revisi UU TNI.
PPI Jepang menuntut agar pemerintah dan DPR menyusun naskah akademis yang menjelaskan urgensi revisi UU TNI. Jika sudah dibuat, naskah tersebut harus dibuka untuk kajian publik guna memastikan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan regulasi.
“Terlepas dari manfaat yang disebutkan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bahwa revisi UU TNI diperlukan untuk menghadapi dinamika geopolitik, kompleksitas ancaman, dan perkembangan teknologi militer global, kami menilai RUU ini berpotensi mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia. Hal ini terlihat dari kemungkinan kembalinya dwifungsi TNI melalui perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif,” ujar Ketua Umum PPI Jepang, Prima Gandhi, di Tokyo.
“Jika demokrasi dan penegakan HAM tidak terjamin di Tanah Air, kami khawatir mahasiswa Indonesia yang sedang melanjutkan studi di luar negeri, khususnya di negara-negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, akan enggan kembali ke Indonesia setelah lulus. Bahkan, ada kemungkinan mereka memilih pindah kewarganegaraan (brain drain), padahal Indonesia sangat membutuhkan mereka untuk membangun bangsa,” tambah pria yang sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Tokyo University of Agriculture ini.
Terkait pelaksanaan rapat revisi UU TNI selama dua hari di Hotel Fairmont, yang berjarak hanya dua kilometer dari Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Gandhi menilai hal tersebut menjadi preseden buruk bagi pemerintah dan DPR di tengah upaya efisiensi anggaran negara.
"Seharusnya seluruh kementerian dan anggota DPR RI mendukung kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan Presiden Prabowo dengan aksi nyata, bukan sekadar kata-kata," paparnya.
Diskusi mengenai pelajar Jepang juga dilakukan oleh kelompok Pencinta Jepang. Bagi yang ingin bergabung, silakan tuliskan nama, alamat, dan nomor WhatsApp, lalu kirimkan ke tkyjepang@gmail.com. (Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang)