Tanggapi Penghapusan SKCK, Menteri Imipas Menilai SKCK Masih Diperlukan: Untuk Tahu Rekam Jejak
Febri Prasetyo March 30, 2025 02:31 AM

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, merespons usulan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) kepada Polri agar menghapus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Dia menilai SKCK masih diperlukan.

Itu karena menurut Agus, SKCK digunakan untuk mengetahui rekam jejak seseorang dalam melakukan tes sesuatu, seperti calon anggota TNI atau Polri.

"(SKCK) itu kan bukan kelakuan baik, tetapi kan setahu saya itu catatan kepolisian," kata Agus saat ditemui seusai acara pemberian remisi bagi narapidana di Lapas Kelas IIA Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (28/3/2025).

"Ya yang mungkin menjadi salah satu syarat kalau orang mau cari kerja atau mau menjadi anggota TNI-Polri dengan maksud ya setahu saya ya mengetahui rekam jejak orang. Itu saya rasa," sambungnya.

Apabila tanpa adanya mekanisme penyaringan seperti SKCK, kata Agus, ada risiko bagi institusi yang menerima individu tanpa mengetahui rekam jejaknya.

"Jangan sampai membeli kucing dalam karung. Kalau catatannya pernah melakukan kejahatan kira-kira bisa masuk TNI enggak?" ucap Agus.

Jadi, menurut Agus, keberadaan SKCK menjadi alat verifikasi penting yang dapat melindungi institusi dari potensi masalah.

"Ya kalau tiba-tiba tidak tahu, ternyata sudah masuk (TNI-Polri), ternyata dia pernah menjadi pelaku kejahatan. Ini kan bisa merugikan secara institusi," tuturnya.

Namun, Agus menegaskan bahwa keputusan mengenai penghapusan SKCK atau tidak bukan kewenangannya sebagai Menteri Imipas.

"Terserah, silakan, bukan kewenangan saya yah. Tetapi pendapat saya begitu," ungkapnya.

Alasan Kementerian HAM Usulkan Penghapusan SKCK

Sebelumnya, alasan Kementerian HAM mengusulkan agar Polri menghapus SKCK karena dinilai berpotensi menghalangi hak asasi warga negara.

Adapun, usulan tersebut disampaikan oleh Menteri HAM, Natalius Pigai, melalui surat kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM, Nicholay Aprilindo, menyatakan usulan ini muncul setelah Kementerian HAM menemui narapidana residivis saat berkunjung ke berbagai Lembaga pemasyarakatan (lapas) di sejumlah daerah.

Para mantan narapidana itu kembali mendekam di penjara karena sulit mencari pekerjaan setelah bebas, sehingga terpaksa mengulangi perbuatan melanggar hukum. 

Menurut Nicholay, mereka terbebani dengan adanya SKCK yang menjadi syarat pada lowongan kerja.

Sebab, SKCK itu memuat keterangan, mereka pernah dipidana, yang membuat perusahaan atau penyedia pekerjaan sulit menerima mantan narapidana. 

"Beberapa narapidana ini juga mengeluhkan betapa dengan dibebankannya SKCK itu, masa depan mereka sudah tertutup," kata Nicholay.

Anggota DPR Dukung Penghapusan SKCK

Sementara itu, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mendukung usulan Kementerian HAM soal penghapusan SKCK.

Pasalnya, menurut dia, SKCK itu tidak memberikan dampak yang berarti terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Oleh karena itu, Habiburokhman mengatakan Kepolisian RI tidak perlu lagi mengurusi masalah SKCK tersebut karena tidak menambah keuangan negara secara signifikan.

"SKCK ini dari PNBP-nya gimana? Enggak signifikan gitu lho, buat apa juga capek-capek polisi ngurusin SKCK," ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/3/2025).

Keberadaan SKCK itu dinilai sudah tidak dibutuhkan lagi sekarang karena masyarakat bisa dengan mudah mengetahui seseorang pernah terlibat tindak pidana atau tidak.

Lagi pula, menurut Habiburokhman, tidak ada jaminan seseorang yang memiliki SKCK itu bukan orang yang bermasalah.

"Enggak ada jaminan orang punya SKCK, enggak bermasalah gitu lho. Ya kan. Kalau orang pernah dihukum, ya kan akan tahu, tinggal dicek di pengadilan," kata politikus Partai Gerindra itu.

"Kalau saya pribadi, saya, kan saya Ketua Komisi III tentu pendapat pribadi saya berpengaruh banget, menurut saya sih sepakat enggak usah ada SKCK," sambungnya.

Selain itu, kata Habiburokhman, pembuatan SKCK juga dianggap memberatkan masyarakat.

Sebab, masyarakat harus mengeluarkan uang untuk pembuatan SKCK tersebut.

"Saya mau cari kerja misalnya, perlu SKCK, itu satu tuh ongkos ke kepolisiannya, ngantrinya, apakah ada biaya? Setahu saya ada ya, tapi enggak tahu ya, dicek, resmi enggak resmi gimana," katanya.

Di sisi lain, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem, Rudianto Lallo, meminta agar usulan penghapusan SKCK itu dikaji secara mendalam.

Rudi mengatakan perlu ada pembahasan Bersama antara Kementerian HAM dan Kepolisian RI untuk menelaah urgensi SKCK.

"Ya itu perlu duduk bersama saya kira ya dengan Kementerian HAM dan kepolisian untuk membahas, menelaah atau mendalami atau diskusi secara komprehensif mengenai apakah masih urgent SKCK atau tidak," kata Rudi kepada Tribunnews.com, Selasa (25/3/2025).

Dalam kebijakan ini, Rudi berpendapat ada dua sisi yang perlu dipertimbangkan.

Di satu sisi, seseorang yang telah menjalani hukuman pidana semestinya dipandang telah kembali menjadi warga negara yang memiliki hak yang sama. 

Namun, di sisi lain, SKCK juga menjadi catatan kepolisian yang menunjukkan riwayat hukum seseorang.

"Kalau saya ya perlu kajian mendalam dulu, duduk bersama kementerian HAM dan kepolisian, sejauh mana manfaat maslahat maupun mudaratnya lah," ujar Rudi.

Rudi mengatakan apabila hasil kajian menunjukkan penghapusan SKCK lebih banyak memberikan manfaat, kebijakan itu dapat diambil. 

Namun, jika keberadaan SKCK itu masih diperlukan untuk mengetahui status hukum warga negara dalam hal tertentu, perlu kajian mendalam lagi.

(Rifqah/Igman Ibrahi/Fersianus Waku/Abdi Ryanda)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.