Pembangunan hotel dan pariwisata di Labuan Bajo dinilai meminggirkan masyarakat adat di Pulau. Anggota DPRD Manggarai Barat, Kanisius Jehabut, menyebut investasi pariwisata yang digadang-gadang sebagai kemajuan, justru membawa luka ekologis dan sosial bagi warga lokal.
"Dari Taman Nasional Komodo hingga perairan pesisir, semua dibangun atas nama investasi. Tapi siapa yang menikmati manfaatnya? Bukan rakyat Labuan Bajo, bukan juga pemerintah kabupaten," kata Kanisius, dilansir detikBali, Kamis (17/4).
Dia menyebut masyarakat lokal dan pemerintah provinsi justru dihantui oleh tumpukan sampah, pencemaran laut, kemacetan, hingga harga tanah yang tak lagi terjangkau.
"Ruang hidup kami menyempit. Kami justru jadi tamu di rumah sendiri," kata dia.
Menurut Kanisius, sejak kewenangan atas kawasan konservasi diambil alih oleh pemerintah pusat melalui UU No. 23/2014, Pemda Manggarai Barat tak lagi punya kuasa mengatur sektor wisata.
"Tidak satu rupiah pun dari tiket masuk Taman Nasional Komodo masuk ke kas daerah. Sementara kami yang menanggung semua risikonya," ujarnya.
Bahkan, untuk mengatur kuota kapal wisata atau menolak pembangunan di atas terumbu karang, pemerintah daerah tak punya wewenang. "Inilah kolonialisme gaya baru," kata politikus Gerindra itu.
DiaIa juga menyoroti regulasi yang dinilainya membuka jalan bagi kerusakan ekologis. Undang-Undang No. 27/2007 memang melarang pembangunan di sepadan pantai, tapi aturan turunan seperti PP No. 21/2021 dan Permen ATR/BPN No. 17/2021 justru memberikan celah bagi investor.
"Nelayan dilarang melaut di wilayah yang mereka jaga turun-temurun, tapi investor boleh membangun resor di atas pantai dan terumbu karang," kata dia.
Kanisius mengatakan kondisi paling ironis terjadi di Pulau Komodo. Tanah adat diklaim sebagai zona investasi dan membuat masyarakat kesulitan mengakses laut yang dulu mereka jaga.
"Komodo bebas berkeliaran ke halaman rumah warga, bahkan menggigit. Tapi yang diprioritaskan justru konservasi satwa, bukan keselamatan warga," kata dia.
Lebih parah lagi, layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan di pulau konservasi nyaris tak tersentuh pembangunan.
"Apa arti pembangunan jika rakyatnya terusir? Apa arti konservasi jika hanya untuk membungkam masyarakat adat?" tanya Kanisius.
"Labuan Bajo dan Pulau Komodo bukan sekadar etalase. Mereka adalah rumah bagi rakyat Manggarai Barat," kat Kanisius.
Sebagai bentuk perlawanan, Kanisius menyampaikan lima tuntutan, yakni: