TRIBUNNEWS.com - Dalam kurun waktu dua pekan, advokat Marcella Santoso dua kali menjadi tersangka dalam dua kasus.
Pertama, Marcella telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan suap terkait penanganan vonis onslag kasus ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Sabtu (12/4/2025).
Ia bersama rekannya sesama advokat, Ariyanto Bakri, memberikan suap Rp60 miliar kepada Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, agar kasus CPO diputus sesuai keinginannya.
Sepuluh hari berselang, Selasa (22/4/2025), Marcella kembali menjadi tersangka. Kali ini terkait perintangan penyidikan atau obstruction of justice atas beberapa kasus yang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), termasuk kasus korupsi PT Timah Tbk 2015-2022.
Tak sendiri, Marcella ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya, rekan sesama advokat bernama Junaedi Saibih dan Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar.
"Tersangka MS (Marcella) dan JS (Junaedi) membiayai demonstrasi-demonstrasi dalam upaya untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara a quo di persidangan," jelas Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, Selasa.
Dikutip dari akun LinkedIn-nya, Marcella Santoso merupakan lulusan Sekolah Menengah Santa Laurensia tahun 2002.
Ia kemudian melanjutkan kuliah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) dan meraih gelar Sarjana pada 2006.
Dua tahun berselang, Marcella kembali ke UI untuk menempuh pendidikan S2 Hukum dan lulus pada 2010.
Dari kampus yang sama, Marcella meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada 2022, dikutip dari laman resmi FH UI.
Kariernya sebagai advokat dimulai pada 2007, di Firma Hukum Ariyanto Arnaldo, sebagai rekan.
Pada 2009, masih di firma hukum yang sama, Marcella berganti status menjadi mitra muda.
Marcella bernaung di bawah Firma Hukum Ariyanto Arnaldo selama 15 tahun, sejak April 2007 hingga Januari 2023.
Selain di Firma Hukum Ariyanto Arnaldo, Marcella juga tergabung di Konsultan Hukum dan Pajak AALF sejak Februari 2015.
Sebagai advokat, ia dikenal berpengalaman dalam aspek transaksional dan komersial perusahaan.
Marcella juga diketahui pernah menjadi advokat untuk beberapa kasus besar.
Di antaranya adalah, menjadi kuasa hukum mantan Wakaden Biro Paminal Divpropam Polri, Arif Rachman Arifin, dan mantan PS Kasubbag Riksa Baggak Etika Rowabprof Divpropam Polri, Baiquni Wibowo, terkait kasus obstruction of justice dalam penyelidikan pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo.
Ia juga membela suami Sandra Dewi, Harvey Moeis, dalam kasus korupsi PT Timah Tbk.
Kemudian, menjadi kuasa hukum bagi tiga terdakwa korporasi kasus CPO, yakni PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group, dan PT Musim Mas Group.
Sebagai informasi, Marcella dan rekan advokatnya bernama Ariyanto Bakri, diketahui menjalin hubungan asmara.
Pada Sabtu (12/4/2025), Marcella Santoso ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penanganan vonis onslag terkait perkara ekspor CPO.
Ia dan Ariyanto Bakri menyuap Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanta, senilai Rp60 miliar agar kasus CPO diputus sesuai keinginannya.
Dalam kasus ini, ada delapan orang, termasuk Marcella, yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Dilansir Kompas.com, mereka adalah:
Selain kasus suap, Marcella bersama rekannya, Juanedi Saibih, dan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, juga menjadi tersangka obstruction of justice.
Kejagung mengatakan Marcella bersama Junaedi membiayai aksi unjuk rasa untuk menggagalkan penyidikan hingga pembuktian kasus yang sedang berjalan di persidangan.
Keduanya juga disebut membiayai kegiatan seminar, siniar, dan talk show mengenai kasus-kasus tersebut di beberapa media online.
Kegiatan-kegiatan itu diduga untuk menarasikan secara negatif dalam pemberitaan guna mempengaruhi pembuktian perkara di persidangan.
"Kemudian diliput oleh tersangka TB dan menyiarkannya melalui JakTV dan akun-akun official JakTV, termasuk di media Tik Tok dan YouTube," ungkap Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, Selasa (22/4/2025).
"Tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya, yaitu MS dan JS. Kemudian membuat metodologi perhitungan kerugian negara dalam penanganan perkara a quo yang dilakukan Kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan," jelas dia.
(Pravitri Retno W/Ibriza Fasti/Ilham Rian, Kompas.com/Shela Octavia)