TRIBUNWOW.COM - Penerapan soal Keluarga Berencana (KB) di Jawa Barat oleh Gubernur Dedi Mulyadi mendapat banyak kritikan.
Saat ini, Dedi Mulyadi menjelaskan, pemerintah provinsi telah melakukan sejumlah langkah konkret untuk meningkatkan kenyamanan hidup anak-anak, terutama dalam aspek rumah, jalan, dan sekolah.
Namun, Dedi Mulyadi mengingatkan tidak semua hal bisa diintervensi oleh negara.
"Ketika bicara nyaman saat di rumah, tentunya itu wilayah privasi keluarga, tapi soal kebijakan, saya sudah lakukan," kata Dedi Mulyadi di akun Instagram miliknya, @dedimulyadi71, Jumat (9/5/2025).
"Yang tak punya listrik kami nyalakan, rumah yang jelek sudah kami perbaiki secara bertahap," lanjutnya.
Namun, ia menyoroti masalah keterbatasan ruang di rumah-tangga dengan banyak anak.
Menurutnya, keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) menjadi kunci agar anak-anak dapat tumbuh dengan lingkungan yang mendukung privasi dan kenyamanan mereka.
"Ketika anaknya banyak, kamarnya cuma satu, anak dewasa jadi tidak nyaman di rumah, maka diperlukan keberhasilan program KB agar jumlah anak tidak terlalu banyak dan bisa dikendalikan," ucapnya.
"Tapi lagi-lagi, muncul tudingan bahwa itu melanggar hak privasi, padahal tidak ada paksaan untuk ikut KB, baik laki-laki maupun perempuan," jelas Dedi Mulyadi.
Di ruang publik, Gubernur Dedi menyoroti kebiasaan anak-anak menggunakan sepeda motor dan knalpot brong yang menurutnya menciptakan kultur jalanan yang liar dan tidak sehat.
"Bagaimana mau nyaman di jalan, anak pakai motor, knalpot brong, bergerombol, dan konektivitas itu melahirkan daya imajinatif yang sering kali melahirkan sifat arogan," kata Dedi Mulyadi.
"Maka saya larang anak di bawah umur pakai motor dan knalpot brong, tapi itu pun kurang mendapat respons positif dari orang-orang yang katanya paham pertumbuhan anak," ujarnya.
Dalam dunia pendidikan, Dedi Mulyadi menilai, sekolah harus menjadi tempat pembentukan karakter, bukan tempat yang memelihara fanatisme berlebihan.
"Sekolah mengajarkan disiplin dan membangun karakter, tapi kenyataannya, siswa terkoneksi kelompok fanatis terhadap sekolahnya, dan siap 'menghantam' siapa pun yang berseberangan," katanya.
"Ini sedang kami benahi pelan-pelan," tegas Dedi Mulyadi.
Dedi juga mengaku heran karena belum pernah melihat ada larangan resmi dari sekolah terkait penggunaan motor dan knalpot brong oleh siswa.
"Selama ini sekolah membiarkan," katanya.
Menanggapi kritik bahwa gubernur harus menciptakan rumah-tangga yang nyaman bagi anak, Dedi Mulyadi menganggap tudingan itu tidak rasional.
"Kalau ibu-bapak bertengkar setiap hari, apa gubernur harus datang ke setiap rumah dan melarang mereka bertengkar di depan anaknya? Rumah-tangga jumlahnya jutaan, itu tidak mungkin," ucapnya.
Sebagai solusi jangka pendek, ia menggandeng TNI dalam program pendidikan disiplin di sekolah.
Ia membantah keras anggapan pelibatan TNI adalah bentuk pelanggaran HAM.
"Paskibraka dilatih TNI, guru di Papua diajari TNI, pramuka ada SAKA yang dilatih TNI, itu semua pendidikan, mari berpikir rasional," tegas Dedi Mulyadi.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan untuk berhenti berdebat tanpa aksi nyata.
"Negeri ini butuh sentuhan, butuh langkah nyata, kalau bicara tawuran, di Jakarta itu tiap hari ada, anak jalanan dieksploitasi, tapi tak ada tindakan," ucap Dedi.
"Giliran ada tindakan, ributnya luar biasa, daripada ribut terus menerus, yuk kita berbagi tugas, mana bagian saya sadarkan siswa, mana bagian lain yang juga menyadarkan siswa," lanjut dia.
"Negeri ini hanya bisa dibangun dengan kesadaran, bukan pertengkaran," kata Dedi Mulyadi. (*)