TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, menegaskan pentingnya penyusunan standar operasional prosedur (SOP) di lingkungan redaksi untuk menjamin perlindungan terhadap jurnalis, terutama perempuan, di tengah maraknya teror dan kekerasan digital terhadap pekerja media. Pernyataan ini disampaikan oleh Komaruddin Hidayat saat ditemui awak media di Kantor Dewan Pers, Jakarta, pada Rabu (13/5/2025).
Menurut Komaruddin, SOP ini menjadi krusial mengingat semakin banyaknya kasus kekerasan digital yang menargetkan jurnalis, terutama perempuan. Ia menekankan bahwa etika sosial yang jelas harus diterapkan, terutama terkait dengan isu-isu seperti SARA, doxing, dan penghinaan individu, yang sering terjadi dalam media sosial.
"Ya, pertama perlu satu etika sosial yang jelas. Di berbagai negara maju, misalnya soal SARA, doxing, penghinaan individu, itu tegas aturannya," ujarnya.
Komaruddin juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab sosial. Ia mendorong agar pemerintah lebih konsisten dalam melindungi ruang publik dari serangan-serangan yang tidak beretika, baik yang datang melalui media sosial maupun media massa.
"Jadi, kebebasan silakan, tapi hendaknya tahu etika, tahu batas. Pemerintah juga harus konsekuen melindungi kepentingan publik," jelasnya.
Komaruddin juga menyoroti fenomena semakin banyaknya konten digital yang tidak memberi nilai edukatif, tetapi justru laris karena mengedepankan sensasi. Ia mengimbau agar insan pers aktif dalam menegakkan etika sosial dan memperkuat literasi publik dalam menghadapi situasi ini.
"Mestinya para insan pers sendiri bisa ikut menegakkan etika sosial," pungkasnya.
Menurut data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang tahun 2024, terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan tujuh di antaranya korban adalah jurnalis perempuan. Pada periode Januari hingga Maret 2025, tercatat 23 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan lima di antaranya menimpa jurnalis perempuan.
Mayoritas pelaku kekerasan pada 2024 adalah polisi (19 kasus), TNI (11 kasus), dan warga (11 kasus), serta sejumlah lainnya berasal dari berbagai sektor, termasuk pejabat pemerintahan dan organisasi masyarakat. Sementara pada 2025, pelaku kekerasan terdiri dari berbagai pihak, termasuk orang tak dikenal (8 kasus), polisi (3 kasus), dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (2 kasus).
Penekanan pada pentingnya SOP dan etika sosial ini menjadi langkah yang tepat untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi para jurnalis, terutama dalam menghadapi tantangan besar seperti kekerasan digital dan ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.(*)