TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk mendidik siswa bermasalah ke barak militer masih menjadi polemik hingga kini.
Terbaru, Dedi Mulyadi menanggapi pernyataan KPAI.
Pria yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi atau KDM ini tak sependapat dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait dugaan intimidasi siswa di barak militer.
Sebelumnya, KPAI menyebut sejumlah pelajar diancam tidak naik kelas jika menolak ikut pelatihan karakter versi militer.
KDM menegaskan, KPAI harusnya ikut turun tangan dalam masalah anak alias tak hanya berkomentar saja.
"Kalau KPAI merasa ada yang salah, mari kita turun bersama. Jangan hanya berkomentar dari jauh, tapi ambil peran dalam mendidik anak-anak," kata KDM, Minggu (18/5/2025), dikutip dari Tribun Jabar.
Komandan Resimen Armed 1 Sthira Yudha, Kolonel Arm Roni Junaidi, menyatakan pihaknya siap terus membantu pemerintah daerah dalam program pembinaan karakter pelajar.
Ia memastikan tidak ada kekerasan dalam proses pelatihan dan berjanji akan meningkatkan kenyamanan fasilitas barak ke depannya.
“Ini murni untuk pembinaan. Fasilitas akan terus kami benahi agar para pelajar merasa nyaman, dan tentu saja kami pastikan tidak ada kekerasan,” kata Roni.
Komisioner KPA), Aris Adi Leksono mengaku masih belum bisa menilai tepat atau tidaknya program yang dicetuskan oleh Dedi Mulyadi dengan mengirim anak-anak nakal ke barak militer untuk dibina.
Aris menyebut, program pembinaan anak bermasalah di barak militer ini baru berjalan, sehingga KPAI masih melakukan pengawasan.
Menurut Aris, anak masuk dalam kelompok rentan, sehingga butuh adanya pendekatan dan perlindungan.
Kemudian dalam perlindungan anak ini, ada pemenuhan hak anak yang harus dilakukan.
"Kami belum bisa pada tepat atau tidak, karena ini juga baru berjalan, kami akan melakukan pengawasan. Tapi pada prinsipnya begini, anak masuk dalam kelompok rentan."
"Karena dia masuk dalam kelompok rentan, maka dia butuh pendekatan-pendekatan khusus, dia butuh perlindungan."
"Dalam ruang lingkup perlindungan anak itu ada tahapan bagaimana pemenuhan hak anak, yang kemudian baru pada tahapan perlindungan khusus anak," kata Aris dalam Program 'Sapa Indonesia Pagi' Kompas TV, Selasa (6/5/2025).
Lebih lanjut Aris menyebut, jika program Dedi Mulyadi ini menyasar anak bermasalah, maka harus dipertanyakan pelabelan anak bermasalah ini apakah benar karena perilaku anak menyimpang atau hanya sekedar stigma belaka.
"Artinya kalau program ini menyasar pada anak-anak yang dalam tanda kutip di stigma anak nakal anak bermasalah ini saya kira ini persoalan tersendiri. Karena ini akan menjadi anak korban stigma," terang Aris.
Pasalnya menurut Aris, anak tidak akan berperilaku menyimpang jika pemenuhan haknya bisa berjalan baik.
Di antaranya memperoleh hak pengasuhan optimal dari orang tuanya.
Orang tua juga bisa memberikan komunikasi terbaik kepada anak sehingga persoalan psikis anak ini tidak muncul.
"Anak dalam situasi stigma atau berperilaku menyimpang, itu dia tidak serta merta berperilaku menyimpang kalau pemenuhan haknya berjalan dengan baik. Misalkan pengasuhannya optimal, betul-betul ada kelekatan dengan orang tuanya, betul-betul orang tuanya hadir memberikan komunikasi yang terbaik."
"Memberikan perhatian, kepercayaan yang terbaik, sehingga persoalan psikis, perilaku menyimpang yang kemudian dialami, dia akan komunikasikan dengan baik kepada orang tua dan orang tua dengan pengasuhan terbaiknya memberikan solusi yang terbaik pula," jelas Aris.
Tak hanya pemenuhan hak anak dari orang tua saja, anak juga perlu pemenuhan hak dari satuan pendidikan.
Karena satuan pendidikan memiliki peran dalam memberikan fasilitas pendidikan, pengenalan budaya, hingga pemanfaatan waktu luang anak.
Agar nantinya anak bisa tumbuh dengan mental yang memiliki ketahanan dan pengendalian diri yang baik.
"Berikutnya ada satuan pendidikan yang punya peran bagaimana kemudian memberikan hak kepada anak-anak terkait pendidikan, pemanfaatan waktu luangnya, pengenalan budayanya, agar kemudian dia mampu tumbuh dengan mental yang memiliki ketahanan atau self kontrol terhadap dirinya."
"Kemudian tidak masuk pada perilaku menyimpang atau pergaulan-pergaulan menyimpang, atau lingkungan negatif. Kalau hak ini dipenuhi maka tidak perlu membutuhkan perlindungan khusus," imbuhnya.
Aris lantas mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memenuhi hak-hak anak ini terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melakukan pembinaan ke anak bermasalah.
Terlebih pembinaan ini dilakukan di barak militer, Aris pun menilai lingkungan militer ini tak sesuai dengan tumbuh kembang anak.
"Maka pertanyaannya adalah bagaimana kemudian Pemerintah daerah memenuhi hak ini dulu. Tidak serta merta ada anak nakal, sementara haknya belum terpenuhi."
"Kemudian anaknya harus menanggung akibat itu, dalam bentuk mengikuti pendidikan khusus di militer, yang tentu itu banyak yang tidak sesuai dengan masa tumbuh kembang anak," tegas Aris.
( Chrysnha, Faryyanida Putwiliani/Gita Irawan)(TribunJabar.id/Deanza Falevi)