TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam era yang serba cepat dan kompetitif seperti sekarang, banyak orang tua yang tanpa sadar menempatkan anak-anak mereka dalam tekanan yang besar untuk meraih prestasi. Mereka mengejar sederet sertifikat, piala, hingga ranking sebagai tolak ukur keberhasilan dalam mengasuh anak.
Padahal, anak bukanlah proyek prestasi yang bisa “ditampilkan” demi memenuhi ambisi dan gengsi orang tua. Anak adalah individu utuh yang punya hak atas hidup dan pilihan mereka sendiri.
Salah satu fenomena yang mengkhawatirkan adalah tekanan berlebih terhadap anak melalui les dan kegiatan belajar tambahan. Di usia yang seharusnya menjadi masa bermain dan eksplorasi, banyak anak justru dijejali berbagai les dari pagi hingga malam.
Mulai dari les matematika, bahasa asing, musik, hingga bimbingan belajar untuk ujian nasional atau masuk sekolah unggulan. Akibatnya, anak-anak menjadi lelah secara fisik dan mental. Bukan hanya kehilangan waktu bermain, tetapi juga semangat belajar yang sejatinya tumbuh dari rasa ingin tahu, bukan paksaan.
Waktu bermain, yang merupakan hak mendasar anak, kini menjadi barang mewah. Di banyak kasus, anak-anak hanya diperbolehkan bermain setelah menyelesaikan semua tugas dan les mereka. Padahal, bermain bukan sekadar kegiatan pengisi waktu luang.
Bermain adalah cara anak belajar tentang dunia, bersosialisasi, mengembangkan kreativitas, serta mengolah emosi dan pengalaman. Ketika waktu bermain dikorbankan demi ambisi akademik orang tua, yang kita khianati bukan hanya masa kecil anak, tapi juga proses tumbuh kembang mereka secara alami.
Lebih jauh lagi, banyak anak tidak diberikan ruang untuk memilih minat dan bakat mereka sendiri. Orang tua yang terlalu dominan kerap memaksakan pilihan-pilihan hidup anak mulai dari sekolah, jurusan, hobi, bahkan teman bergaul. Semua atas nama "yang terbaik" menurut kacamata orang tua.
Sayangnya, yang terbaik versi orang tua belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan potensi anak. Anak akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang ragu, kehilangan jati diri, dan tidak percaya pada kemampuannya sendiri.
Kesalahan yang umum terjadi adalah orang tua lebih fokus memberikan apa yang mereka inginkan, bukan apa yang dibutuhkan anak. Keinginan tersebut seringkali berakar dari pengalaman masa lalu orang tua—mungkin karena dulu mereka tidak mendapat kesempatan berprestasi, tidak mampu menekuni bidang tertentu, atau merasa gagal dalam pencapaian pribadi.
Maka, mereka menumpahkan harapan itu kepada anak-anak, seolah-olah anak adalah perpanjangan tangan dari ambisi yang belum tuntas. Hal ini membuat anak menjadi korban dari masa lalu yang bukan miliknya.
Yang perlu diingat, setiap anak adalah individu yang unik. Mereka punya minat, karakter, dan potensi yang berbeda-beda. Tidak semua anak harus pandai matematika atau menjadi juara kelas. Ada anak yang unggul dalam seni, olahraga, komunikasi, atau hal-hal yang mungkin tidak tampak mentereng di rapor tapi sangat berharga dalam kehidupan nyata.
Ketika orang tua terus memaksakan standar seragam yang tidak mempertimbangkan keunikan anak, maka yang terjadi adalah hilangnya ruang bagi anak untuk tumbuh sesuai fitrahnya.
Peran orang tua semestinya bukan sebagai pemaksa arah, melainkan sebagai pengarah dan pendukung. Tugas utama orang tua adalah mengenali potensi anak, memfasilitasi perkembangannya, dan memberi ruang aman bagi anak untuk mencoba, gagal, lalu belajar bangkit kembali.
Ketimbang sibuk menyusun daftar pencapaian yang harus diraih anak, lebih baik kita hadir sebagai pendamping yang penuh empati, mendengarkan, dan memberi kepercayaan.
Mendidik anak bukan tentang mencetak juara untuk dipamerkan, tetapi membesarkan manusia yang bahagia, mandiri, dan tahu apa yang ia inginkan dalam hidup.
Kita perlu membebaskan anak dari beban yang bukan miliknya, dan membiarkan mereka tumbuh sebagai dirinya sendiri. Menjadi orang tua bukanlah tentang memiliki kendali penuh atas masa depan anak, tetapi tentang menciptakan kondisi terbaik agar anak mampu merancang masa depannya sendiri.
Biarkan anak memilih jalan hidupnya. Tugas kita adalah menjadi pelindung, pembimbing, dan pemberi semangat. Sebab, anak bukan proyek prestasi orang tua. Anak adalah anugerah yang perlu dihargai, didengar, dan dibebaskan untuk berkembang sesuai potensinya. (*)
***
*) Oleh : Sutanti Idris, S.E., CMC., Founder Aoife Social.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.