TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Filipina murka, kecam tindakan agresif Penjaga Pantai China yang telah melakukan serangan hingga mengancam nyawa warga sipil.
Menurut laporan Biro Perikanan dan Sumber Daya Perairan Filipina (BFAR) penjaga pantai China melakukan tindakan agresif dengan menembakkan meriam air dan menabrakkan kapal milik pemerintah Filipina di perairan sengketa Laut China Selatan.
Adapun insiden tersebut terjadi pada Rabu (21/5/2025) pagi ketika kapal penelitian Filipina, BRP Datu Sanday (MMOV 3002), dan satu kapal pendukung sedang melakukan pengambilan sampel pasir di wilayah Sandy Cays.
Lokasi gundukan pasir kecil yang termasuk dalam Kepulauan Spratly dan diklaim oleh beberapa negara.
Namun sekitar pukul 09.13 waktu setempat kapal Penjaga Pantai Tiongkok CCG 21559 menyemprotkan meriam air dan menabrak BRP Datu Sanday dua kali, yang merusak haluan dan cerobong asap kapal.
BFAR mencatat bahwa ini merupakan pertama kalinya meriam air digunakan terhadap kapal Filipina di sekitar Sandy Cays atau wilayah yang disebut Filipina sebagai Pag-Asa Cays.
Meskipun mengalami gangguan, tim ilmiah Filipina dilaporkan tetap berhasil menyelesaikan misi penelitian mereka di tiga area yang ditargetkan.
Tak hanya pemerintah Filipina yang mengecam serangan tersebut, Insiden ini juga memicu reaksi dari beberapa negara.
Termasuk diantaranya dari Amerika Serikat. Duta Besar AS untuk Filipina, MaryKay Carlson mengutuk tindakan China yang dianggap membahayakan nyawa dan mengancam stabilitas regional.
Ia menegaskan bahwa AS mendukung Filipina dan menekankan pentingnya menghormati hukum internasional serta menjaga kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Sementara itu merespon tudingan tersebut, Pemerintah China membantah tuduhan Filipina yang menyebut penjaga pantainya melakukan tindakan agresif terhadap kapal riset Filipina di perairan sengketa Laut Cina Selatan.
Dalam pernyataannya, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyatakan bahwa pihaknya “tidak mengetahui” insiden yang dimaksud oleh Filipina.
Meski tidak mengkonfirmasi kejadian secara langsung, Mao menegaskan bahwa China selalu menjalankan aktivitas maritimnya secara profesional dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ia juga menyerukan agar pihak-pihak terkait tidak menyalah artikan tindakan China atau memprovokasi ketegangan di wilayah yang disengketakan.
"Yang dapat saya sampaikan adalah penjaga pantai China selalu menegakkan hukum sesuai dengan undang-undang dan peraturan" ucap Mao Ning.
Sebelum serangan terjadi, hubungan antara Filipina dan China di Laut Cina Selatan telah lebih dulu menegang dalam beberapa tahun terakhir.
Adapun ketegangan terjadi buntut sengketa Laut Cina Selatan yang merupakan wilayah strategis yang kaya sumber daya alam dan jalur pelayaran penting dunia.
China mengklaim hampir seluruh kawasan ini melalui konsep "sembilan garis putus-putus" (nine-dash line), yang mencakup wilayah yang juga diklaim oleh beberapa negara ASEAN, termasuk Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei.
Namun Filipina menolak klaim sepihak China dan mengacu pada putusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016 yang menyatakan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum.
Buntut Ketegangan ini, dalam beberapa tahun terakhir insiden antara kapal penjaga pantai dan kapal militer kedua negara meningkat.
Di ahun 2023-2025. China kerap menembakkan meriam air, memblokir, hingga menabrak kapal Filipina yang melakukan patroli atau misi logistik ke kawasan seperti Beting Thomas Kedua dan Sandy Cay.
Dengan konflik yang semakin sering terjadi, kemungkinan eskalasi terbuka tetap ada.
Namun, Filipina menegaskan komitmennya pada penyelesaian damai melalui jalur hukum dan diplomatik.
Di sisi lain, China bersikeras mempertahankan klaimnya dan menolak intervensi asing.
Ketegangan ini tidak hanya mengancam hubungan bilateral, tetapi juga berdampak pada stabilitas kawasan Indo-Pasifik secara keseluruhan.
Sebagai bentuk antisipasi, Filipina sejauh ini telah mengambil strategi terbuka dengan mempublikasikan video dan laporan insiden yang melibatkan kapal China.
Langkah ini bertujuan menekan China secara diplomatik dan memancing kecaman dari komunitas global serta menggalang dukungan internasional,
(Tribunnews.com / Namira)