TIMESINDONESIA, MALANG – Diskursus relasi agama dan sains menjadi perdebatan yang menyebar secara global dan menghasilkan konseptualisasi baru di berbagai belahan dunia. Para ilmuwan bersandar pada sains dengan kerangka kerja empirisnya, sementara para agamawan bersandar pada agama dengan kerangka metafisiknya.
Meski tak jarang menimbulkan polemik, wacana tersebut berkembang pesat sejak kemunculannya pada tahun 1960-an dan menjadi salah satu bidang penyelidikan dan refleksi akademis yang paling menarik, menantang, dan diperdebatkan.
Perbincangan tersebut menuai kontroversi respon di kalangan para cendekiawan muslim Beberapa suara utama yang mewarnai perbincangan Islam dan sains antara lain: miraculous scientific content in the Qur’an Bucaille dan Al-Najjar, Islamisasi ilmu Al-Faruqi, dewesternisasi Al-Attas, aliran perennialis dan scientia sacra Nasr, sains ijmali Sardar, sains universal Abdus Salam, sekulerisme Hoodbhoy, hingga harmonisasi ‘generasi baru’.
Beberapa schools of thought (aliran pemikiran) yang dapat diidentifikasi terkait respon umat muslim terhadap sains, antara lain: 1) aliran instrumentalis yang digawangi oleh para ilmuwan konvensional (Rahman, Salam, Hoodbhoy, dkk). 2) Aliran sains Islami dengan beberapa modelnya (Nasr, Al-Faruqi, Sardar, Golshani, dkk). 3) Aliran I’jaz (Bucaille, Al-Najjar, Keith Moore). 4) Aliran kreasionis yang dipimpin Harun Yahya, seorang sarjana Turki yang sempat mendominasi wacana Islam dan sains dalam media internasional.
Jika Nasr dan Al-Attas dengan elegan dan akurat mendiagnosis ‘kelesuan’ umat modern beserta gejala-gejala utamanya, sekaligus memberikan gambaran tentang ‘peradaban yang sehat’, maka Said Nursi mendiagnosis serupa jauh sebelum keduanya.
Hubungan yang kompleks antara tradisi religius dan budaya dengan modernisasi membuat kasus sejarah intelektual Utsmaniyah akhir menjadi menarik, paling tidak karena berbagai reaksi dari para pemikir abad terakhirnya. Masyarakat Utsmaniyah, yang secara tradisional sangat religius dan menyatukan elemen-elemen budaya dari Timur dan Barat, merupakan contoh yang baik untuk mengilustrasikan adanya dan tersedianya berbagai jalur dalam upaya modernisasi. Said Nursi adalah salah satu tokoh yang berusaha menunjukkan cara untuk mengubah masyarakat melalui wacana keagamaan modern.
Rekonsiliasi agama dan sains telah diupayakan Said Nursi di hari-hari sulit sekulerisme, bahkan sebelum transformasi Dinasti Utsmani menjadi Republik Turki, telah mendahului perbincangan dan kontroversi integrasi ilmu pada paruh kedua abad ke-20. Pertanyaannya kemudian, bagaimana integrasi Said Nursi dalam rangka merekonsiliasi agama dan sains di hadapan sekulerisme asertif Ataturk dan implikasinya terhadap Pendidikan Islam yang telah dihapuskan?
Akhirnya, tulisan ini merupakan eksplorasi singkat dari pemikiran Said Nursi dalam dua aspek. Pertama, model integrasi Said Nursi yang diawali dengan pendekatan ma‘na harfi dan dirumuskan melalui paradigma tauhid. Kedua, sebuah upaya rekonsiliasi dan integrasi agama dan sains melalui gagasan reformasi pendidikan dan pendirian Madrasah Al-Zahra.
Said Nursi mengungkapkan, “yang pasti, di akhir zaman, umat manusia akan terjun ke dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia akan memperoleh seluruh kekuatannya dari sains. Kekuasaan akan jatuh ke tangan ilmu pengetahuan”. Namun, ia juga memprediksi bahaya yang muncul dari sains modern dengan menyampaikan, “bahaya terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini adalah kerusakan hati mereka dan keimanan yang dirugikan melalui kesesatan yang muncul dari ilmu pengetahuan dan filsafat”.
Oleh karenanya, diperlukan sebuah langkah alternatif dengan menyatukan keduanya. Menurut pandangannya, “ilmu agama adalah cahaya hati nurani, sedang ilmu modern adalah cahaya akal budi. Penyatuan keduanya akan menyingkap kebenaran. Sedang pemisahan keduanya akan menciptakan fanatisme pada yang satu dan skeptisisme pada yang lain” (Nursi, 2011).
Kritik utama yang diajukan para penggagas integrasi adalah klaim sains ‘tidak bebas nilai’ (not value-free). Wilayah paradigma merupakan wilayah subjektif yang membuat sains tidak netral. Dalam dimensi inilah, sains modern menampakkan ketidaknetralannya dengan masuknya pandangan dunia Barat, yang tentu saja subjektif dan kultural, tidak murni objektif dan universal. Golshani menyebut bahwa sains modern didominasi oleh filsafat positivisme. Artinya filsafat ini telah masuk pada wilayah postulat atau dunia I dan menjadi paradigma.
Said Nursi menawarkan model integrasi metafisik dengan memasukkan paradigma tauhid yang bersumber dari Al-Qur’an pada wilayah metaphysical pre-assumption (pra-anggapan metafisik) sebagai basis keyakinan seorang saintis. Paradigma ini menggunakan pendekatan ma‘na harfi (makna infikatif atau makna signifikan segala sesuatu) untuk membaca realitas dan menentukan status ontologisnya yang dualistik. Pada dimensi epistemologis, sumber pengetahuan berasal dari indera, akal, dan hati yang diproses dalam tujuh tahapan. Adapun titik temu integrasi agama dan sains tampak pada dimensi aksiologis yang mencakup tujuan dan etika.
Model ini meniscayakan pendefinisian ulang sains, yang sebelumnya terbatas dalam arti temuan atau teori, menjadi aktivitas atau proses ilmiah yang dibangun di atas sebuah paradigma tertentu yang dianut seorang saintis sekaligus menetapkan paradigma sebagai bagian integral dari sains. Oleh karena itu, tidak diperlukan perumusan ulang ‘sains khas Islam’ yang sepenuhnya berbeda dengan sains modern. Yang diperlukan adalah mengganti paradigma sekuler dengan paradigma tauhid, di mana agama dapat memberikan orientasi terhadap penerapan sains sekaligus dapat merevitalisasi keimananan.
Freed A.Reed bahkan menyebut Turki sebagai “great laboratory of westernization in the world of Islam and the epic battleground of resistance it”. Sekulerisme Ataturk (1881-1938) tidak hanya melibatkan pemisahan negara dari institusi Islam, tetapi menyangkut kebebasan berfikir dari tradisi dan praktik Islam tradisional. Para pendiri Republik Turki sekuler menggunakan pendidikan nasionalis-sekuler untuk membangun Republik Turki dan menciptakan warga negara sekuler modern yang pro-Barat.
Dalam bidang pendidikan, pengesahanan Tevhidi Tedrisat Kanunu (Undang-Undang Penyatuan Pendidikan), maka seluruh lembaga pendidikan disatukan di bawah Kementrian Pendidikan. UU ini sekaligus menghapus madrasah sebagai lembaga pendidikan dari sistem pendidikan nasional. Undang-Undang dengan klaim penyatuan pendidikan, namun menghapus madrasah dan menghilangkan unsur agama dalam pendidikan, artinya ‘penyatuan’ dicapai bukan dengan integrasi atau sintesis, tetapi dengan menghilangkan salah satu dari dua unsur tersebut.
Model integrasi metafisik Said Nursi secara fundamental membentuk kembali Pendidikan Islam dengan menanamkannya dalam kerangka filosofis yang berpusat pada tauhid. Prinsip dasar ini, berfungsi sebagai karakteristik utama yang membedakan Pendidikan Islam dengan pendidikan secara umum. Pendidikan Islam bergerak lebih dari sekadar transmisi pengetahuan dan pengejaran intelektual, tetapi juga mencakup perjalanan spiritual dan menghantarkan individu yang merealisasikan tugas sebagai abdullah dan khalifatullah.
Upaya Said Nursi bertujuan untuk menumbuhkan individu yang tidak hanya kompeten secara intelektual tetapi juga secara spiritual. Ia membayangkan sebuah sistem pendidikan yang akan memupuk rasa takjub dan kagum terhadap ciptaan Tuhan, mendorong siswa untuk melihat keterkaitan semua pengetahuan. Pendekatan ini menekankan pentingnya memahami alam semesta sebagai manifestasi dari kebijaksanaan dan kekuatan Ilahi, sehingga menumbuhkan apresiasi yang mendalam terhadap alam dan kebenaran iman yang diwahyukan.
Proyek Madrasah Al-Zahra, yang menyatukan medrese (sekolah agama), mektep (sekolah umum), dan tekke atau zawiyah (pondok sufi) beserta tradisi keilmuannya dan dengan fokusnya pada pengintegrasian pembelajaran Islam tradisional dengan pendidikan ilmiah modern, mewakili komitmen Said Nursi untuk menciptakan generasi muslim yang mampu menavigasi kompleksitas dunia modern dengan tetap berakar kuat pada iman mereka. Meski upaya ini belum terealisasikan, namun garis besar tujuan, kurikulum, dan metode Pendidikan Islam Said Nursi masih memiliki relevansi dengan Pendidikan Islam saat ini.
Postnormal times (zaman pascanormal), sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Ziauddin Sardar, menggambarkan era saat ini yang ditandai dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita hidup pada era di mana cara-cara tradisional untuk memahami dan mengatasi tantangan tidak lagi memadai.
Ini adalah masa peralihan di mana ortodoksi lama mulai punah, yang baru belum lahir, dan ketika semua pilihan tampak berbahaya. Espiritu del tiempo, semangat zaman kita, ditandai dengan ketidakpastian, perubahan yang cepat, penataan ulang kekuasaan, pergolakan, dan perilaku yang kacau. Kita hidup dalam periode di antara dua masa di mana ortodoksi lama sedang sekarat, ortodoksi baru belum lahir, dan hanya sedikit hal yang tampak masuk akal. Kita hidup di masa transisi, masa yang penuh dengan kompleksitas (complexity), kekacauan (chaos), dan kontradiksi (contradiction) akan menjadi tema yang dominan, dan ketidakpastian serta ketidaktahuan akan meningkat secara drastis.
Said Nursi memandang bahwa untuk membentuk dunia Islam menjadi sebuah kekuasaan yang besar diperlukan keharmonisan dan kolaborasi mekanisme yang sangat beragam di antara masyarakat, salah satunya dalam bidang pendidikan. Relevansi pemikiran Said Nursi dengan era digital setidaknnya dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
Said Nursi menekankan pentingnya integrasi antara ilmu agama dan sains, karena seluruh ilmu pada dasarnya bersifat religius. Ia merumuskan konsep integrasi agama dan sains pada wilayah metafisik atau ontologi dengan memasukkan paradigma tauhid untuk menggantikan paradigma sekuler. Tujuan utama dari model integrasi ini adalah membawa pada kebenaran Tuhan melalui eksplorasi sains. Jika dilihat dalam konteks era digital saat ini, perkembangan sains telah mencapai titik ‘kering spiritual’, seakan melepaskan dimensi akidah dan akhlak.
Pendidikan Islam sebagai sebuah upaya mengejahwantahkan nilai-nilai Islam tentu berdasarkan pada konsep tauhid sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an. Said Nursi melihat pentingnya integrasi dalam Pendidikan Islam dalam rangka penguatan sikap religius-spiritual. Agama berperan memberikan dasar terhadap keyakinan, sedangkan elaborasi alam semesta dan manusia sebagai ciptaan Tuhan menjadi peran sains. Dengan pemahaman yang utuh tentang realitas dan kesadaran terhadap tujuan penciptaannya, seseorang akan dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah, sekaligus mengubah iman taqlidi menjadi iman tahqiqi.
Gagasan integrasi ilmu maupun reformasi pendidikan Said Nursi melalui petisi pendirian Madrasah Al-Zahra tentu tidak terlepas dari konteks kehidupannya. Jika dilihat dari perspektif integrasi ilmu, tentu terdapat setidaknya tiga model, yaitu integrasi metafisik atau ontologi, integrasi epistemologi, dan integrasi aksiologi.
Tawaran integrasi Said Nursi berada pada wilayah metafisik atau ontologi sebagai respon terhadap saintisme ateistik yang berkembang di Turki secara khusus, dan periode catching up syndrome dunia Islam secara umum. Ditinjau dari perspektif historis, gagasan ini dikemukakan mendahului perbincangan integrasi agama dan sains pada tahun 1960-an.
Di Indonesia, diskursus integrasi juga disambut baik. Beberapa konseptualisasi telah dikemukakan, antara lain oleh Amin Abdullah, Kuntowijoyo, Azyumardi Azra, dan lainnya. Namun, implementasi integrasi Said Nursi di level praktis belum dapat diuraikan karena Madrasah Al-Zahra sebagai pilot project-nya belum berhasil terealisasikan. Meski demikian, pemikiran Said Nursi dapat ditarik dalam kerangka filosofis yang melandasi Pendidikan Islam.
Melihat pemikiran Said Nursi yang mengkritik sains modern pada wilayah paradigmatik atau metafisik berikut klasifikasinya terhadap peradaban Barat sebagai tempat kelahiran sains modern, maka dapat dipahami bahwa penggunaan teknologi digital sebagai salah satu media dalam memudahkan proses Pendidikan Islam tentu tidak bertentangan dengan prinsipnya. Dalam banyak tulisannya, tampak bahwa Said Nursi mengapresiasi perkembangan sains dan teknologi yang memberi banyak kebermanfaatan bagi manusia.
Pendidikan Islam memiliki beberapa komponen, antara lain: yaitu tujuan, kurikulum, pendidik, peserta didik, dan metode. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, ide dasar integrasi dalam Pendidikan Islam menurut Said Nursi dapat ditinjau setidaknya dari tiga aspek, yaitu: tujuan, kurikulum, dan metode.
Tujuan Pendidikan Islam harus mencakup dimensi spiritual, intelektual, dan moral. Salah satu tantangan besar yang dihadapi Pendidikan Islam di era digital adalah membentuk ulama yang intelek. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, tentu meniscayakan pemahaman yang komrehensif terhadap ilmu agama dan sains. Dalam hal ini, sains dapat menguatkan doktrin agama sebagai asas yang melandasi Pendidikan Islam.
Kurikulum Pendidikan Said Nursi yang tampak dalam Risalah al-Nur, jika dilihat dari model integrasi kurikulum Fogarty, setidaknya terdapat empat model yang digunakan, yaitu: sequenced, shared, webbed, dan threaded. Adapun metode yang digunakan Said Nursi beberapa di antaranya: keteladanan, debat & diskusi, mukatabah, pendidikan individu, ceramah, kisah, analogi, dan i’tibar.
Dengan demikian, pemikiran Said Nursi tentang integrasi agama dan sains dalam Pendidikan Islam berbasih tauhid masih memiliki relevansi dengan Pendidikan Islam hari ini. Penekanannya terletak pada keterkaitan antara iman dan akal, serta pengakuannya akan pentingnya pengembangan spiritual, intelektual, dan moral sebagai kerangka kerja Pendidikan Islam. Dengan memupuk perpaduan yang harmonis antara nilai-nilai agama dan pengetahuan ilmiah, kita dapat menumbuhkan individu yang tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi juga berakhlak mulia dan memiliki landasan spiritual. Dengan merangkul filosofi integrasinya, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Pendidikan Islam, baik secara teoretis maupun praktis.
***
*) Oleh: Ana Maulida Sabila, Mahasiswa Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id