Hukum Progresif: Obor Nurani di Tengah Gelapnya Keadilan
GH News June 03, 2025 03:04 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam novel The Winner Stands Alone, Paulo Coelho menulis, "Ketika manusia tidak melakukan sesuatu untuk menghentikan kejahatan, maka manusia berhak melakukan tindakan apapun yang ia anggap benar." 

Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan fiksi, melainkan potret telanjang dari kenyataan: ketika hukum gagal hadir sebagai pelindung, maka yang tersisa hanyalah pembenaran pribadi. 

Di tengah pusaran nafsu dan bisikan buruk yang membisikkan kekerasan, penindasan, dan keserakahan, hukum seharusnya menjadi pagar nurani kolektif, bukan sekadar tumpukan pasal yang membeku dalam buku.

Namun, hukum hari ini tidak selalu berpihak pada keadilan. Di negeri ini, hukum seringkali justru bertransformasi menjadi alat kejahatan itu sendiri. Alih-alih menjadi instrumen untuk melindungi hak dan martabat manusia, hukum kerap dijadikan tameng para elit yang ingin melanggengkan kekuasaan. 

Kitab Undang-Undang acapkali dipermainkan, dimanipulasi agar kejahatan terkesan legal, dan pelaku kejahatan malah tampil bak pahlawan dalam narasi yang dibangun media dan institusi. Maka muncul pertanyaan fundamental: untuk siapa hukum itu ada?

Gustav Radbruch menyatakan bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Namun di tangan aparat penegak hukum yang berpikir secara positivistik yang hanya terpaku pada bunyi pasal tanpa mempertimbangkan konteks tujuan luhur itu tereduksi menjadi formalitas. Inilah sebabnya mengapa hukum sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Ketika Hukum Menjadi Mesin Tanpa Nurani

Kita telah terlalu sering menyaksikan ironi: rakyat kecil dikriminalisasi karena mempertahankan tanah, sementara pengusaha yang merampasnya justru dilindungi. 

Demonstran dibungkam atas nama ketertiban, sementara koruptor mendapat potongan masa tahanan atas nama kemanusiaan. Ini bukan sekadar penyimpangan, melainkan degradasi sistemik yang merobek esensi hukum itu sendiri.

Hukum progresif hadir sebagai respons terhadap keprihatinan tersebut. Ia bukan sekadar teori hukum alternatif, melainkan perlawanan terhadap stagnasi moral dan kebuntuan keadilan.

Gagasan Satjipto Rahardjo bahwa “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” adalah kritik mendasar terhadap paradigma hukum yang mengultuskan aturan tertulis tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan yang hidup di masyarakat.

Membongkar Status Quo, Mengabdi pada Nurani

Hukum progresif tidak tunduk pada kekakuan aturan. Ia menolak menjadi mesin tanpa jiwa. Dalam perspektif ini, hakim bukan lagi corong undang-undang, melainkan penafsir kebenaran yang berani menggunakan hati nurani dan akal sehatnya untuk menegakkan keadilan substantif. 

Ketika aturan tak lagi adil, maka keberanian untuk melakukan terobosan (rule breaking) menjadi niscaya. Inilah titik di mana hukum menemukan kembali makna sejatinya.

Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, bahkan mengakui bahwa hukum progresif sulit didefinisikan karena ia terus bergerak, terus berproses, dan senantiasa bertransformasi sesuai kebutuhan keadilan. 

Dalam wajahnya yang paling murni, hukum progresif adalah hukum yang berpihak pada rakyat, melawan status quo, dan tidak tunduk pada kuasa materi.

Denny Indrayana menegaskan bahwa hukum progresif bukan hanya teks, tetapi juga konteks. Ia memadukan antara keadilan dan kemanfaatan, tanpa mengabaikan kepastian hukum. Namun kepastian yang ia perjuangkan bukanlah kepastian yang memenjarakan akal sehat, melainkan kepastian yang memberi ruang bagi keadilan yang hidup.

Menggeser Paradigma, Menolak Kepalsuan

Hukum yang ideal bukanlah hukum yang sempurna dalam rumusan, tetapi hukum yang terus membangun dirinya menuju tujuan; yakni keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia. 

Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa hukum progresif adalah proses berkelanjutan, bukan institusi beku. Maka, tugas kita bukan semata-mata menghafal pasal, melainkan memperjuangkan keadilan dengan segenap nurani.

Ketika sebagian orang menganggap kejahatan sebagai bentuk kebenaran, maka hukum progresif datang sebagai tamparan keras terhadap logika yang bengkok itu. Ia menjadi senjata moral yang tidak hanya tajam ke bawah, tetapi juga ke atas membelah kemunafikan dan membuka jalan bagi kemanusiaan yang bermartabat.

Hukum yang membahagiakan manusia adalah hukum yang berani menolak kebusukan dalam sistemnya sendiri. Dan di tengah hutan kejahatan yang lebat ini, hukum progresif adalah obor yang harus kita pegang teguh. (*)

***

*) Oleh : Thoriqul choir, Pegiat Hukum. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.