Gelar Diskusi Publik, DEM Indonesia Bedah Dampak Pemindahan Impor Migas
GH News June 09, 2025 07:04 PM

TIMESINDONESIA, SURABAYADewan Energi Mahasiswa (DEM) Indonesia menggelar Diskusi Publik tentang pemindahan impor migas yang belum lama ini menjadi respons pemerintahan RI akan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. 

Diskusi yang digelar Kamis (5/6/2025) di Jakarta ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Dr. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, seorang ahli maritim dan energi, serta Dr. Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute. 

Diskusi yang dihadiri oleh lebih dari 50 peserta pada akhir pekan kemarin tersebut bertujuan untuk memberikan wawasan yang lebih mendalam mengenai dinamika kebijakan energi Indonesia.

Khususnya terkait dengan dampak pemindahan impor migas terhadap perekonomian nasional dan sektor energi.

Dalam sesi pertama, Dr. Komaidi Notonegoro menyampaikan analisis mendalam tentang perubahan signifikan dalam pola impor migas Indonesia yang dipengaruhi oleh kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat. 

Sejak April 2025, Amerika Serikat telah menerapkan tarif lebih 10 persen terhadap negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari kebijakan perang dagang yang lebih agresif, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan domestik dan melindungi industri lokal dari persaingan internasional. 

"Kebijakan ini berpotensi meningkatkan biaya impor dan mengubah arah perdagangan migas global, yang sebelumnya banyak mengandalkan negara-negara Timur Tengah, Singapura, dan Malaysia," ungkap Dr Komaidi.

Namun, lanjutnya, meskipun Amerika Serikat memiliki peran penting dalam pasokan migas dunia, Indonesia justru mengalami peningkatan impor dari negara-negara lain, seperti Taiwan.

Menurut data dari TradeMap (2025), Taiwan tercatat sebagai salah satu negara pengimpor migas terbesar ke Indonesia akibat peningkatan produksi minyak yang dipicu oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah. 

Hal ini menciptakan ketidakpastian dalam pola impor Indonesia yang selama ini lebih bergantung pada negara-negara pengimpor utama seperti Singapura dan Malaysia.

Kebijakan tarif ini juga berpotensi memperburuk situasi ekonomi Indonesia, dengan dampak pada pertumbuhan PDB dan investasi asing. 

Sebagai contoh, setiap penurunan 1 persen PDB Amerika Serikat diperkirakan akan mengurangi PDB Indonesia sebesar 0.37 persen sementara penurunan 1 persen PDB China dapat berimbas pada penurunan PDB Indonesia sebesar 0.39 persen. 

Dia menambahkan, jika penurunan konsumsi global dan penundaan investasi, terutama dalam sektor migas dan energi, dapat memperlambat pemulihan ekonomi Indonesia, yang pada akhirnya mempengaruhi kestabilan sektor energi nasional.

Tantangan Logistik dan Maritim 

Sesi kedua diskusi publik dibawakan oleh Dr. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, yang mengupas tantangan logistik dan maritim terkait pemindahan impor migas Indonesia.

Dalam pemindahan impor migas, faktor jarak tempuh, biaya operasional kapal, kondisi cuaca, dan isu geopolitik menjadi faktor penentu. 

"Menurut analisis yang disampaikan, jalur pengiriman dari Texas ke Indonesia misalnya, memerlukan waktu yang jauh lebih lama dan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalur pengiriman dari negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi," jelasnya.

Jarak yang ditempuh bisa mencapai 10.000 hingga 13.000 mil laut (NM), dengan waktu pengiriman yang berkisar antara 30 hingga 40 hari, tergantung pada jalur yang digunakan.
 
Biaya operasional kapal untuk jalur tersebut sangat signifikan. Untuk pengiriman dari Texas menuju Merak, Indonesia, diperkirakan membutuhkan biaya sekitar USD 2,4 juta hingga USD 3,2 juta per pengiriman, tergantung pada jalur yang digunakan. 

"Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jalur pengiriman dari Arab Saudi yang hanya membutuhkan biaya sekitar USD 880.000 untuk perjalanan yang memakan waktu 11 hari," katanya.

Selain itu, faktor cuaca dan isu geopolitik turut memperburuk tantangan. Pengiriman dari Texas, misalnya, menghadapi cuaca buruk di jalur yang melalui perairan Teluk Meksiko dan Samudra Hindia, yang dapat menambah risiko dan biaya tambahan. 

"Keamanan jalur pengiriman juga menjadi perhatian utama, mengingat beberapa jalur melintasi kawasan yang rawan perompakan atau konflik geopolitik," tandasnya.

Acara ini menyoroti pentingnya kebijakan dan strategi nasional dalam menghadapi dinamika pasar migas global dan tantangan logistik yang semakin kompleks. 

Perpindahan impor migas Indonesia ke negara-negara pengimpor lain, yang dipicu oleh kebijakan tarif internasional, tidak hanya memengaruhi biaya operasional tetapi juga memberikan dampak besar terhadap ketahanan energi nasional. 

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan pasokan energi nasional, serta mitigasi terhadap risiko geopolitik dan cuaca yang semakin tidak menentu.

Kebijakan tarif yang diterapkan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam perdagangan internasional, yang memerlukan penyesuaian cepat dalam sektor migas Indonesia. 

Pemindahan jalur impor migas Indonesia perlu didampingi oleh peningkatan infrastruktur maritim dan logistik, serta kebijakan energi yang adaptif terhadap perubahan kondisi global yang dinamis.

Di samping dari kebijakan impor ini, Dewan Energi Mahasiswa Indonesia memberikan pandangan terkait tata kelola migas di Indonesia yang masih tumpang tindih dan cenderung menggantungkan diri dengan impor. 

Cita-cita besar yang diharapkan pemerintahan RI soal mencapai jumlah lifting minyak bumi hingga mencapai 1 juta barel per-hari rasanya hanya akan menjadi angan kosong ketika tata kelola tidak diperbaiki.

Febrian Satria Hidayat, Ketua Umum Dewan Energi Mahasiswa Indonesia menyampaikan, banyak pekerjaan rumah yang belum rampung sehingga ketergantungan terhadap impor masih tinggi. 

“Tentunya kita sebagai pemuda dan mahasiswa, berharap kapan kita memperkecil ketergantungan terhadap impor," kata Febrian.

Perbaikan tata kelola industri migas dinilai perlu dimulai dengan penyelesaian RUU Migas yang sampai dengan hari ini tidak ada kejelasan. 

"Sehingga kedepan kita berharap amanat UUD 45 Pasal 33 ayat 3 dapat benar-benar dijalankan demi swasembada energi di Indonesia," katanya. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.