Beginilah sejarah bagaimana Freeport masuk Indonesia dan mengeruk gunung di Papua sejak 1967.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Freeport saat ini mengantongi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan perpanjangan masa operasi 2x10 tahun hingga 2041. Ada wacana akan izinnya akan diperpanjang hingga 2061.
Berbicara tentang perusahaan asal Amerika itu, tentu banyak yang penasaran tentang sejarah bagaimana Freeport masuk di Indonesia dan mengeruk gunung di Papua.
Campur tangan Orde Baru
Dua bulan setelah resmi jadi presiden Indonesia, tepatnya pada 7 April 1967, Soeharto memberi izin kepada Freeport Sulphur of Delaware untuk menambang di Papua. Kenapa tidak masuk saat saat Bung Karno, ya karena dia menolak modal asing masuk Indonesia.
Bisa dibilang, Freeport adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) pertama di Tanah Air, ketika Orde Baru masih seumur jagung, ketika ekonomi Indonesia sedang babak belur. Terlebih ketika itu Indonesia sedang dihantam meletuskan Peristiwa G30S dan huru-hara setelahnya.
Ketika itu,inflasi mencapai 600-700 persen yang ditandai dengan meroketnya harga kebutuhan pangan. Otomatis, pembangunan infrastruktur terhenti saat itu. Presiden Soeharto bergerak cepat melakukan stabilisasi ekonomi, termasuk membuka keran investasi bagi Freeport.
Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut dilakukan di Departemen Pertambangan Indonesia. Yang mewakili Indonesia ketika itu adalah Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata, sementara Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan Freeport Sulphur.
Yang menyaksikan penandatanganan itu adalah Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Meskipun sudah sudah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia pada 1967, Freeport baru bisa benar-benar menambang emas dan tembaga di Papua pada tahun 1973.
Penambangan Ertsberg dimulai Freeport pada Maret 1973. Pada Desember 1973 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan Jepang. Ketika itu Presiden Soeharto bahkan terbang langsung ke Papua untuk meresmikan fasilitas produksi di Tembagapura.
Ketika berpidato, Pak Harto terlihat begitu semringah dengan keberhasilan pertambangan di Freeport. Dia bilang, investasi Freeport di Indonesia adalah bukti kepercayaan investor menanamkan uangnya di Indonesia.
Seperti disebut di awal, Freeport adalah perusahaan penanaman modal asing pertama di Indonesia, dan tentu saja menjadi keran bagi masuknya perusahan-perusahaan lainnya. Ketika itu, yang terbesar masuk dari Jepang dan Amerika.
Freeport sendiri ketika itu diberikan izin menambang selama jangka waktu 30 tahun dalam skema Kontrak Karya (KK) yang bisa diperpanjang. Di awal kehadirannya, Freeport juga sempat berkonflik dengan penduduk setempat, terutama Suku Amungme.
Dalam kontrak karya pertama disepakati, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport sebesar 1,5 persen dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari 0.9 dollar AS/pound) sampai 3,5 persen dari harga jual (jika harga 1.1 dollar AS/pound).
Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1 persen dari harga jual. Jelang Kontrak Karya berakhir, Freeport menemukan cadangan Grasberg atau tepatnya pada periode tahun 1980-1989. Lalu pada tahun 1991, pemerintah Indonesia kemudian mengizinkan Freeport terus menambang di Papua untuk jangka waktu 30 tahun ke depan atau hingga tahun 2021 dengan hak perpanjangan sampai dengan 2 kali 10 tahun.
Di Papua, Freeport tak hanya menambang tembaga, namun juga menambang emas dan perak. Grasberg bahkan disebut-sebut sebagai tambang emas terbesar di dunia.
Pemerintah kuasai saham Freeport hingga 51,23 persen
Pada 12 Juli 2018, pemerintah lewat PT Inalum (Persero) menandatangani Head of Agreement dengan Freeport McMoran. Ini adalah perjanjian awal untuk menguasai kendali Freeport di Indonesia. Kesepakatan itu disusul dengan penandatanganan tiga perjanjian sekaligus pada 27 September 2018.
Tiga perjanjian itu bertujuan untuk menuntastan proses akuisisi yang melibatkan PT Inalum, Freeport McMoran, dan Rio Tinto, yang meliputi Divestasi PTFI, Perjanjian Jual Beli Saham PT Rio Tinto Indonesia, dan Perjanjian Pemegang Saham PTFI. Dengan begitu, PT Inalum yang awalnya cuma memegang saham PTFI sebesar 9,36 persen naik menjadi 51,23 persen. Pemda Papua sendiri akan mendapatkan10 persen dari 100 persen saham PTFI.
Begitulah sejarah bagaimana Freeport bisa beroperasi di Indonesia dan mengeruk gunung di Papua.