Perkembangan anak pada saat tumbuh dewasa dipengaruhi oleh pola asuh (parenting) yang dilakukan orang tua sejak kecil. Menurut pakar, beberapa kesalahan dalam mengasuh, bisa membuat kepercayaan dan harga diri anak hancur. Kenapa?
Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang percaya diri mengalami berbagai manfaat dalam perkembangannya. Mulai dari berkurangnya kecemasan, peningkatan prestasi di sekolah hingga peningkatan ketahanan dan hubungan dengan lingkungannya yang lebih sehat.
Psikoterapis di Universitas Northeastern, Amerika Serikat, Amy Morin, mengatakan, cara pengasuhan orang tua agar anak bisa tumbuh dengan baik, justru sering menjadi bumerang.
Akibatnya, anak justru merasa terkekang, didominasi, dan kepercayaan dirinya tidak tumbuh dengan sebagaimana mestinya.
"Orang tua mungkin harus bekerja lebih untuk meningkatkan harga diri anak-anak mereka," katanya, dilansir CNBC.
Menurut Morin, berikut ini beberapa kesalahan besar yang dilakukan orang tua, sehingga dapat menghancurkan kepercayaan diri anak.
Hampir semua orang tua, ingin agar anaknya baik-baik saja, termasuk terhindar dari kesulitan dan kecemasan. Namun, jika orang tua terlalu melindungi anak saat sulit, justru bisa menghambat perkembangan anak.
"Pandanglah diri Anda sebagai pemandu, bukan pelindung. Biarkan anak-anak Anda menikmati hidup, meskipun (ada rasa) takut untuk melepaskannya," ucap Morin.
"Anda akan memberi mereka kesempatan untuk memperoleh kepercayaan diri dalam kemampuan mereka menghadapi apa pun yang terjadi dalam hidup," imbuhnya.
Ada banyak orang tua yang menggantungkan harapannya kepada anak. Sejak kecil, anak dijejali berbagai keterampilan tanpa peduli kemauan pribadi anak.
Morin mengatakan, hal ini akan menimbulkan konsekuensi. Sebab, bila anak-anak menganggap harapan terlalu tinggi, mereka mungkin tidak mau mencoba atau merasa tidak akan pernah mampu memenuhi harapan.
Menurutnya, orang tua perlu memberi gambaran jelas tentang rencana jangka panjang yang akan dilakukan anak. Dalam hal ini, orang tua membimbing anak untuk membuat tujuan jangka panjang tersebut.
Misalnya, saat memilih sekolah menengah, adakah sekolah tujuan yang diinginkan anak. Beri gambaran dan ajak diskusi sebelum menentukan rencana.
Orang tua sering kali membantu tugas anak agar tidak terbebani. Padahal melakukan tugas yang sesuai dengan usia, akan membantu anak-anak merasa menguasai dan berprestasi.
"Jadi, apakah Anda meminta anak Anda membantu mencuci atau membuang sampah, tanggung jawab merupakan kesempatan bagi anak-anak untuk melihat diri mereka sebagai orang yang mampu dan kompeten," ujar Morin.
Orang tua sering kali memberi hukuman kepada anak atas hal tertentu. Padahal, kata Morin, bukan hukum yang harus diberikan kepada anak, melainkan pendisiplinan.
"Ada perbedaan besar antara disiplin dan hukuman. Anak-anak yang didisiplinkan berpikir, 'Saya membuat pilihan yang buruk.', (sedangkan) anak-anak yang dihukum berpikir, 'Saya orang yang jahat.'," ungkapnya.
Membuat anak disiplin akan memberikan keyakinan bahwa mereka dapat membuat pilihan yang lebih cerdas dan lebih sehat di masa depan. Sementara hukuman membuat mereka berpikir bahwa mereka tidak mampu melakukan yang lebih baik.
Orang tua kerap memandang anak harus bertindak dengan sempurna. Jika ada potensi kegagalan, orang tua akan mencegahnya.
Morin menjelaskan, pola asuh yang seperti itu akan berbahaya. Sebab, orang tua terlihat sedang menyelamatkan anak dari perasaan kegagalan, tapi secara nyata anak-anak justru tidak akan memahami arti jatuh dan bangkit.
"Mencegah mereka melakukan kesalahan berarti merampas kesempatan mereka untuk belajar bangkit kembali," kata Morin.
Menurutnya, orang tua harus menjadi pendamping anak, yang memberi pemahaman bahwa kesalahan bisa menjadi guru terbaik dalam hidup.
"Setiap kesalahan adalah kesempatan bagi mereka untuk membangun kekuatan mental yang mereka butuhkan untuk menjadi lebih baik di lain waktu," tuturnya.