Memanasnya konflik di Timur Tengah usai Israel dan Iran saling serang dinilai dapat membuat harga minyak makin meroket. Bila eskalasi terus terjadi, harga minyak diprediksi bisa menembus US$ 100 per barel.
Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkapkan harga minyak bisa terkerek karena di timur tengah banyak sekali negara produsen minyak yang berpotensi terseret ke konflik antara Iran dan Israel.
Di sisi lain, Iran sendiri saja sudah merupakan produsen besar untuk minyak dan gas di dunia. Bila negara itu berperang, otomatis pasokan minyak akan berkurang dan harganya meningkat.
"Nah, kalau asumsinya perang ini meluas gitu ya, melibatkan negara seperti Saudi misalnya, atau juga Yordania gitu ya, atau kemudian Irak bergabung dengan Iran gitu ya, maka ini akan semakin menaikkan harga minyak dunia gitu ya," sebut Fahmy ketika dihubungi detikcom, Selasa (17/6/2025).
"Kalau Perang tadi meluas, eskalasinya luas gitu ya, maka ini akan menaikkan, bahkan bisa di atas US$ 100 dolar per barrel gitu ya. Karena tadi ini melibatkan negara penghasil minyak," sebutnya menambahkan.
Bukan cuma perang yang perlu diwaspadai, bahaya juga mengintai Selat Hormuz di Iran yang menjadi alur logistik utama perdagangan minyak. Bila selat itu terganggu perang, harga minyak juga bisa meroket lagi.
"Nah, kalau kemudian Perang menyebabkan Lautan Selat Hormuz itu terhambat, yang di situ adalah pelayaran untuk pengangkutan minyak, maka akan semakin pasokannya semakin berkurang, dan ini akan menaikkan harga minyak tadi," sebut Fahmy.
Harga minyak Brent sejauh ini terlihat meningkat menjadi US$ 74,40 per barel. Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat ke level US$ 73,11 per barel.
Adapun asumsi harga minyak mentah Indonesia dalam APBN 2025 sendiri ditetapkan sebesar US$ 82 per barel. Otomatis sejauh ini meskipun harga minyak meningkat, namun cenderung di bawah asumsi nasional.
Di sisi lain, Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet juga mengungkapkan prediksi kenaikan harga minyak yang tinggi. Hal itu bisa terjadi apabila suatu negara penghasil minyak berperang atau masuk dalam pusaran konflik geopolitik.
Secara historis, bila dikilas balik saat Rusia sebagai produsen minyak mulai berperang dengan Ukraina, harga minyak juga meroket. Bahkan saat itu membuat pemerintah menaikkan harga BBM subsidi karena kenaikan harga minyak terlalu tinggi dan APBN tak bisa membendungnya.
"Apalagi kalau kita lihat ke belakang kondisi ini relatif mirip ketika Rusia menyerang Ukraina di akhir 2022 yang lalu di mana kondisi tersebut akhirnya mendorong kenaikan harga minyak," sebut Rendy.