Masa Depan Politik Transisi Energi Indonesia
GH News June 21, 2025 03:04 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pasca-penandatanganan Just Energy Transition Partnership (JETP) dan dimulainya masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia memasuki fase baru dalam transisi energi. Tekanan global untuk mengurangi emisi dan tuntutan pembangunan domestik saling berkelindan. 

Di tengah berbagai deklarasi dan komitmen, pertanyaannya kini bukan lagi apakah Indonesia akan melakukan transisi energi, melainkan seberapa dalam, seberapa cepat, dan seberapa adil proses itu akan dijalankan.

JETP yang disepakati pada 2022, menawarkan dukungan pendanaan sekitar 20 miliar dolar AS untuk mempercepat transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Kesepakatan ini menjadi simbol penting bahwa Indonesia tidak berdiri sendiri dalam menghadapi krisis iklim. 

Di dalamnya terkandung target yang ambisius, seperti puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada 2030, serta peningkatan bauran energi terbarukan menjadi 34 persen pada tahun yang sama. Namun, seperti semua kebijakan ambisius, tantangan utama bukan pada niat, tetapi pada pelaksanaan.

Komitmen Pemerintah 

Presiden Prabowo menyatakan komitmennya terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan tuntutan aksi iklim. 

Ia juga menyebut akan membatasi penggunaan energi fosil secara bertahap, bukan secara mendadak, dengan mempertimbangkan dampak sosial ekonomi, terutama bagi masyarakat di sekitar tambang dan pembangkit. 

Ini adalah posisi yang realis sekaligus reflektif terhadap dilema negara berkembang: bagaimana membangun tanpa membebani masa depan?

Namun, transisi energi bukan hanya soal teknologi atau anggaran, tetapi juga pertarungan kepentingan. Di tingkat nasional, kekuatan ekonomi politik energi fosil masih sangat besar. 

Para pemilik konsesi tambang batu bara dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bukan hanya aktor ekonomi, tetapi juga bagian dari jaringan kekuasaan. Mereka memiliki pengaruh yang dalam terhadap kebijakan, termasuk lewat afiliasi dengan elite politik di pusat dan daerah. 

Di banyak wilayah, terutama di Kalimantan dan Sumatera, tambang batu bara masih menjadi sumber utama pendapatan daerah dan pencipta lapangan kerja.

BUMN seperti PLN juga menghadapi dilema struktural. Di satu sisi, mereka ditugaskan untuk mempercepat dekarbonisasi dan transisi ke energi terbarukan. Namun di sisi lain, struktur keuangan dan infrastruktur mereka masih sangat tergantung pada energi fosil. 

Pembangkit berbasis batu bara masih menjadi tulang punggung kelistrikan nasional, dan beban utang jangka panjang membuat ruang fiskal untuk investasi baru menjadi terbatas.

Lebih jauh lagi, fragmentasi kebijakan antara kementerian dan lembaga menambah lapisan kompleksitas. Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Bappenas sering berjalan sendiri-sendiri dengan prioritas masing-masing. 

Ketika satu kementerian berbicara soal percepatan energi terbarukan, yang lain masih menerbitkan izin tambang baru atau proyek PLTU. Ketidaksinambungan ini mencerminkan absennya satu otoritas yang benar-benar memimpin transisi energi sebagai agenda nasional yang terintegrasi.

Tantangan lainnya adalah bagaimana membuat transisi ini tidak hanya cepat, tetapi juga adil. Proses pensiun dini PLTU misalnya, akan berdampak pada ribuan pekerja dan perekonomian lokal. 

Jika tidak disertai dengan skema jaminan transisi seperti pelatihan ulang, diversifikasi ekonomi, atau kompensasi bagi pemerintah daerah, maka resistensi terhadap perubahan akan terus menguat. Lebih dari sekadar masalah teknis, ini adalah soal keadilan sosial dan legitimasi politik dari proyek transisi itu sendiri.

Di sisi lain, peluang untuk memperkuat energi terbarukan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Potensi energi surya dan hidro di Indonesia sangat besar, tetapi adopsinya masih rendah karena berbagai hambatan, mulai dari regulasi yang berbelit, ketidakpastian tarif, hingga minimnya insentif bagi investor. 

Di banyak kasus, proyek energi bersih juga terkendala kesiapan infrastruktur seperti sistem jaringan listrik (grid) yang belum cukup fleksibel untuk menampung pasokan intermiten dari pembangkit energi baru.

Di sinilah letak pentingnya kepemimpinan politik yang kuat dan konsisten. Pemerintah perlu membentuk unit khusus transisi energi yang berada langsung di bawah Presiden, yang bertugas mengkoordinasikan seluruh kebijakan, menyatukan arah antar-kementerian, dan memastikan akuntabilitas. 

Perubahan paradigma tidak akan lahir dari pendekatan sektoral, tetapi dari visi nasional yang berani dan melampaui horizon pemilu lima tahunan.

Pendanaan transisi juga memerlukan pendekatan baru. Skema blended finance, obligasi transisi, dan kerjasama dengan sektor swasta perlu didorong lebih jauh. Namun pendanaan saja tidak cukup. Keberhasilan transisi akan sangat ditentukan oleh bagaimana masyarakat diajak menjadi bagian dari proses. 

Komunitas energi, koperasi, hingga inisiatif energi skala kecil perlu difasilitasi, bukan dihambat. Transisi energi yang hanya top-down akan mudah ditolak; sebaliknya, transisi yang melibatkan warga dan memberi mereka manfaat nyata akan mendapat dukungan luas.

Strategi Diplomasi

Dalam hal diplomasi, Indonesia juga memiliki posisi tawar strategis. Sebagai negara dengan populasi besar dan emisi cukup signifikan, Indonesia bisa memainkan peran penting dalam negosiasi internasional dari COP hingga G20. 

Tapi peran itu hanya akan efektif jika kita menunjukkan komitmen nyata di dalam negeri. Komunitas global menghargai langkah konkret, bukan sekadar pernyataan.

Pemerintahan Prabowo memiliki peluang untuk menjadikan transisi energi sebagai pilar utama pembangunan nasional. Visi kemandirian energi yang diusung dapat selaras dengan tujuan dekarbonisasi.

Jika difokuskan pada pengembangan energi bersih domestik, seperti surya, air, panas bumi, dan bahkan teknologi nuklir kecil. Strategi ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru yang lebih berkelanjutan.

Namun semua itu hanya mungkin terjadi jika politik energi dirombak. Artinya, reformasi bukan hanya di tingkat kebijakan teknis, tetapi juga dalam struktur kepentingan dan alokasi sumber daya. 

Dibutuhkan keberanian untuk menantang status quo, dan komitmen untuk berpihak pada masa depan. Karena pada akhirnya, transisi energi bukan hanya tentang listrik yang lebih bersih, tetapi tentang arah pembangunan nasional yang lebih adil dan berkelanjutan.

Indonesia berada di titik krusial dalam sejarah energinya. Dunia tengah bergerak cepat, dan jika kita tidak ikut serta secara strategis, kita akan tertinggal, baik dari sisi ekonomi, teknologi, maupun moral. 

Ini bukan sekadar soal menyelamatkan lingkungan, tetapi tentang memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dibangun di atas fondasi yang rapuh dan tidak setara. Transisi energi adalah medan baru politik pembangunan. Saatnya pemerintah Indonesia mengeksekusinya dengan visi, keberanian, dan arah yang jelas.(*) 

***

*) Oleh : Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Studi dan Riset di Amerika Serikat, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.