TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negara-negara tetangga Iran di Arab, termasuk Arab Saudi, Bahrain, Qatar, dan Oman, ketar-ketir menanti respons Teheran, setelah Amerika Serikat menyerang negara tersebut, Minggu (22/6/2025).
Keempat negara tersebut menjadi "rumah" bagi Pangkalan Militer AS di kawasan Timur Tengah.
Arab Saudi, Bahrain, Qatar, dan Oman meminta Iran menahan diri dan memperingatkan Teheran tentang implikasi yang menghancurkan bagi wilayah itu.
Arab Saudi cs yang berupaya menjadi penengah antara AS dan Iran, khawatir tentang potensi perang habis-habisan dan dampaknya terhadap ekonomi dan keamanan mereka.
Kawasan Timur Tengah kini dalam keadaan siaga tinggi, dengan orang-orang menimbun persediaan dan maskapai penerbangan menghentikan penerbangan, karena Iran mempertimbangkan pilihannya untuk membalas dendam terhadap AS.
Seperti diberitakan, Amerika Serikat telah mengambil tindakan militer langsung dalam perang Israel dengan Iran.
Pada tanggal 22 Juni, Presiden Donald Trump memerintahkan serangan udara terhadap tiga lokasi nuklir Iran yang dibentengi—Fordow, Natanz, dan Isfahan—menandai serangan pertama terhadap infrastruktur nuklir Iran oleh AS dalam beberapa dekade.
Serangan tersebut menyusul serangan awal Israel ke Iran pada tanggal 13 Juni lalu.
Dalam pidato yang disiarkan di televisi, Trump mengklaim bahwa ia telah "menghancurkan sepenuhnya" program nuklir Iran.
Iran segera menanggapi. "Amerika harus tahu bahwa setiap intervensi militer AS niscaya akan disertai dengan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki," kata Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
"AS yang terlibat dalam masalah ini [perang] 100 persen akan merugikan dirinya sendiri. Kerusakan yang akan dideritanya akan jauh lebih besar daripada kerugian apa pun yang mungkin dialami Iran."
Pembalasan Iran
Teheran kini secara terbuka mengancam akan membalas, dengan menyebut pasukan AS di seluruh Teluk sebagai target. Setidaknya 19 lokasi diyakini berada dalam pandangan Iran.
Ini termasuk pangkalan militer di Bahrain, Irak, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, UEA, Yordania, dan Mesir. Sebagian besar berada dalam jangkauan rudal atau pesawat nirawak pendek.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi berkata, "Mereka melewati batas merah yang sangat besar dengan menyerang fasilitas nuklir... Kami harus menanggapi berdasarkan hak sah kami untuk membela diri."
Ketika ditanya tentang kemungkinan menutup Selat Hormuz, ia menjawab Iran memiliki "berbagai pilihan yang tersedia."
Bahkan Menlu Iran ini menambahkan, "Saya tidak tahu berapa banyak ruang yang tersisa untuk diplomasi."
Armada ke-5 AS jadi sasaran
Satu di antara yang jadi target potensial adalah Armada ke-5 Angkatan Laut AS, yang berkantor pusat di Naval Support Activity Bahrain, di Pelabuhan Mina Salman, Manama.
Pangkalan ini adalah pusat komando untuk operasi angkatan laut AS di Teluk Persia, Laut Arab, Laut Merah, dan sebagian Samudra Hindia. Nilai strategisnya terletak pada pengamanan dua titik rawan pengiriman yang vital: Selat Hormuz dan Bab el-Mandeb.
NSA Bahrain juga menjadi tuan rumah Komando Pusat Angkatan Laut AS (NAVCENT). Komando ini mendukung 15.000 personel di laut dan lebih dari 1.000 staf di darat.
Misi utamanya meliputi patroli antipembajakan, pencegatan penyelundupan, dan kebebasan navigasi di perairan yang kaya minyak.
Pangkalan ini juga menjadi rumah bagi kapal perang besar, kapal logistik, kapal antiranjau, dan detasemen Penjaga Pantai AS.
Awalnya dibangun dan dioperasikan oleh Angkatan Laut Kerajaan Inggris pada tahun 1920-an, situs ini telah menjadi benteng militer AS sejak Perang Dunia II.
Amerika Serikat mengoperasikan jaringan pangkalan yang luas di seluruh Teluk dan Timur Tengah yang lebih luas. Ini termasuk:
Respons Iran mungkin tidak terbatas pada rudal saja. Teheran juga dapat menggunakan sekutu regionalnya untuk menyerang secara tidak langsung.
Dampak ekonomi
Poros Perlawanan Iran mencakup kelompok bersenjata di Yaman, Irak, dan Lebanon.
Sementara Hizbullah telah menderita kerugian besar akibat serangan Israel, Houthi tetap beroperasi dan mengancam akan melanjutkan serangan Laut Merah jika AS memasuki perang.
Pada tahun 2019, pesawat nirawak Houthi—yang dilaporkan didukung Iran—melumpuhkan dua fasilitas minyak utama Saudi.
Serangan singkat itu memangkas separuh produksi minyak Saudi, yang menunjukkan kemampuan Iran untuk mengganggu aliran energi global tanpa konfrontasi langsung.
Iran sekarang dapat menerapkan strategi serupa di seluruh Teluk. Infrastruktur energi penting di Qatar, UEA, dan Arab Saudi tetap rentan.
Dan ada satu pengungkit lainnya: Selat Hormuz.
Titik Vital
Sekitar 20% minyak dunia melewati perairan sempit ini. Pada kondisi tersulitnya, Selat Hormuz hanya selebar 33 kilometer.
Iran telah menyebarkan ribuan ranjau laut dan speedboat di sepanjang pantainya. Rudal dari garis pantainya—atau dari kelompok sekutu seperti Houthi—dapat menghentikan lalu lintas sepenuhnya.
Bahkan penutupan sementara akan membuat harga minyak melonjak dan memicu tekanan internasional terhadap Washington dan Tel Aviv.
Armada ke-5 AS, yang ditempatkan hanya beberapa mil jauhnya di Bahrain, telah berjanji untuk menjaga selat itu tetap terbuka. Namun, insiden apa pun dapat memicu kejatuhan ekonomi global.
Iran memiliki beberapa pilihan. Iran dapat menyerang pangkalan AS secara langsung. Iran dapat melumpuhkan rute minyak dan rantai pasokan global.
Iran juga dapat mengaktifkan proksinya. Atau, Iran dapat menghentikan semua kerja sama dengan Badan Tenaga Atom Internasional dan menarik diri dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir.
Menurut IAEA dan intelijen AS, Iran tidak memiliki program nuklir militer yang terorganisasi sejak 2003. Namun, negara itu masih memperkaya uranium hingga 60%—sebuah langkah teknis yang menjauh dari tingkat senjata.
Dan dengan fasilitas nuklirnya yang rusak, Teheran mungkin merasa tidak ada lagi yang bisa hilang.
Amerika Serikat dan Israel masih memiliki keunggulan militer yang jelas. Namun, sejarah menunjukkan bahwa keunggulan tidak selalu menjamin keamanan.