Oleh: Zahrah Wafiq Azizah
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Pernahkah ibu dan ayah merasa cemas saat anak lain sudah berbicara dengan lancar, sedangkan si kecil tak mengucapkan satu kata pun? Padahal, masa mereka sama.
Banyak orang tua memilih bungkam bukan karena tak peduli, tetapi karena takut dianggap abai orang sekitar.
Padahal, keterlambatan bicara bukan hal yang harus ditutup-tutupi. Itu bagai sinyal bagi Anda bahwa si kecil membutuhkan pendampingan dengan perhatian dan empati.
Sayangnya, masih banyak yang berpikir, "Ya sudah, nanti kan juga bisa ngomong."
Yuk, pahami lebih lanjut mengapa keterlambatan bicara perlu ditangani sejak dini.
Menurut American Speech-Language-Hearing Association (ASHA), speech delay adalah kondisi ketika anak menunjukkan perkembangan severability berbicara yang lebih lambat dari anak seusianya, tanpa disertai oleh adanya gangguan neurologis atau sensorik yang jelas.
Bisa menyebabkan keterlambatan dalam produksi suara, kosakata, atau struktur kalimat.
Dengan ciri yang lebih spesifik seperti berikut:
ASHA juga menekankan, jika seorang anak tampak memahami bahasa, tetapi tidak mampu mengekspresikannya, maka itu bisa menjadi tanda speech delay.
Secara medis, risiko keterlambatan bicara bisa muncul jika anak mengalami kekurangan oksigen saat lahir, yang dapat diakibatkan oleh asfiksia, kejang berulang, atau kelainan pada mulut dan tenggorokan, seperti celah palatina.
Namun, faktor keluarga utamanya juga memegang peranan, seperti pendidikan orang tua yang rendah, riwayat genetik, tumbuh dalam lingkungan multibahasa, dan kurangnya stimulasi dari lingkungan sekitar.
Dr. Bruce Tomblin, seorang pakar bahasa anak mengatakan, speech delay bukan hanya keterlambatan sementara, tapi juga bisa menandakan gangguan komunikasi jangka panjang jika tidak ditangani sejak dini.
Berdasarkan Laporan Kementerian Kesehatan RI tahun 2020, diperkirakan sekitar 16 persen balita di Indonesia mengalami gangguan perkembangan termasuk keterlambatan bicara.
Berdasarkan data yang ditemukan pada sebagian besar kasus RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo 2022 dari Januari hingga Desember 2022, prevalensi gejala speech delay pada anak usia 2–5 tahun berkisar antara 5–10 persen di Indonesia pada umumnya.
Dari sudut pandang global, Studi NCBI 2018–2022 mencatat peningkatan diagnosis pertama speech delay dengan angka diagnosa berubah dari 15.063 pada 2018 hingga 20.080 pada 2022, yang menunjukkan peningkatan sebesar 22 persen selama periode tersebut.
Diagnosis speech disorder pada kelompok usia 0–2 tahun naik +136 persen dan kelompok usia 3-5 tahun naik +107 persen tahun demi tahun pasca-pandemi.
Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa prevalensi speech delay di Indonesia berkisar 5–16 persen, tergantung studi dan kriteria diagnosis yang digunakan, dan seluruh tren global saat ini adalah peningkatan diagnosis speech delay, khususnya setelah pandemi COVID-19.
Salah satu contoh nyata adalah seorang anak yang mengalami keterlambatan bicara dan memiliki riwayat kejang parah yang bisa berlangsung hingga 15 menit, sampai membuat bibirnya membiru.
Ia sempat beberapa kali dirawat inap. Di rumah, anak ini juga terbiasa menonton televisi dalam waktu lama, yang membuatnya minim interaksi verbal.
Setelah dibawa ke terapis wicara, hasil evaluasi menunjukkan bahwa kemampuan bicaranya sebenarnya ada, tetapi ia cenderung enggan berusaha berbicara karena merasa sudah cukup dimengerti.
Terapis menyarankan agar orang tua tidak langsung memberi pujian jika anak hanya mengucapkan satu atau dua kata, agar anak termotivasi untuk berbicara lebih aktif dan lengkap.
Maka, orang tua harus berhati-hati dan waspada jika melihat anaknya berbicara terlambat. Jangan menunggu anak "bisa sendiri".
Penanganan yang terlambat justru bisa berdampak negatif pada perkembangan sosial dan emosional anak.
Terapi wicara bukanlah bentuk kepanikan, melainkan langkah bijak demi tumbuh kembang anak yang optimal.
Masih banyak orang tua yang percaya bahwa anak yang telat bicara akan menyusul dengan sendirinya.
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa intervensi dini sangat krusial.
Anak yang mulai diterapi sejak usia dini punya peluang lebih besar untuk mengejar ketertinggalan dibandingkan anak yang baru mendapat bantuan setelah masuk sekolah.
Lingkungan yang tidak mendukung, seperti terlalu sering menonton TV dan minim percakapan, juga bisa memperburuk kondisi ini.
Setiap anak memang tumbuh dengan kecepatan yang berbeda. Namun, itu bukan alasan untuk berdiam diri.
Keterlambatan bicara bukan hal sepele, apalagi jika sudah terlihat sejak usia dini. Dengan kasih sayang, stimulasi yang tepat, dan bantuan profesional, anak dengan speech delay tetap punya peluang besar untuk berkembang seperti anak-anak lainnya.
Karena setiap kata pertama anak bukan sekadar suara, itu adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih cerah. Jadi, jangan tunggu terlalu lama. Dalam hal tumbuh kembang, waktu adalah segalanya. (*)