Pedagang Tercekik, Gelora Merdeka Kraksaan Dihantui Preman
GH News June 26, 2025 01:03 AM

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Gelora Merdeka Kraksaan, ruang publik yang dibangun dari dana rakyat melalui APBD Kabupaten Probolinggo, kini berubah wajah. Alih-alih menjadi arena rekreasi, olahraga, dan penggerak ekonomi kerakyatan, kawasan ini justru menjadi ladang subur bagi praktik liar yang merugikan rakyat kecil. Pedagang Kaki Lima (PKL) yang seharusnya dilindungi dan diberdayakan, justru ditelantarkan, diperas, bahkan diintimidasi.

Di tengah semangat pemberdayaan ekonomi lokal yang kerap didengungkan, realitas di lapangan jauh panggang dari api. Para PKL di Gelora Merdeka Kraksaan menghadapi kenyataan pahit: pungutan liar dengan dalih retribusi, ancaman dari pihak tak berwenang, dan pembiaran sistemik oleh institusi yang semestinya menjadi pelindung mereka, Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perdagangan, dan Perindustrian (DKUPP) Kabupaten Probolinggo.

Ironisnya, semua ini terjadi di bawah bayang-bayang regulasi resmi: Peraturan Bupati Probolinggo Nomor 48 Tahun 2023 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL. Aturan yang dengan tegas mewajibkan DKUPP untuk membina, menata, dan melindungi PKL secara tertib dan manusiawi justru diabaikan. Regulasi tinggal jargon. Pelaksanaan nihil.

Keluh kesah pedagang tidak main-main. “Kami dimintai uang secara rutin. Katanya dari dinas, katanya dari Karang Taruna. Tapi tidak jelas siapa yang berwenang,” ungkap seorang pedagang yang memilih bungkam identitasnya karena takut dibungkam lebih keras.

Lebih menyakitkan, praktik premanisme ini kerap dibungkus dengan simbol organisasi sosial seperti Karang Taruna desa setempat. Padahal, secara hukum, desa tidak memiliki otoritas mengelola fasilitas publik milik kabupaten. 

Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi. Ini adalah bentuk kolonisasi ruang publik oleh kelompok tak bertanggung jawab atas nama organisasi, tapi bertindak bagai cukong.

Gelora Merdeka adalah milik rakyat Kabupaten Probolinggo, bukan alat kelompok mana pun untuk menghisap keringat pedagang kecil. Fakta bahwa pemerintah tahu, tapi tidak bertindak, mencerminkan pembiaran yang disengaja. Ini lebih dari abai, ini adalah pengkhianatan terhadap amanat pelayanan publik.

Sidak Bupati Probolinggo, Gus Haris, yang sempat dilakukan bersama dinas terkait, sejauh ini tak ubahnya formalitas seremonial. Arahan untuk menata wilayah utara Gelora yang menjadi pusat kegiatan masyarakat saat event berakhir tanpa eksekusi. Seolah-olah ada pembisik yang lebih didengar ketimbang suara rakyat yang berdagang demi sesuap nasi.

Beberapa pedagang bahkan mengaku diancam ketika mencoba menggali asal-muasal pungli. Tak sedikit yang memilih pindah tempat jualan demi menghindari tekanan. Inikah wajah keberpihakan yang dibanggakan pemerintah? Ketika rakyat kecil harus memilih antara bertahan dalam intimidasi atau pergi tanpa kejelasan nasib?

Kami menilai, apa yang terjadi di Gelora Merdeka adalah miniatur dari masalah besar: lemahnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan tumbuhnya feodalisme modern dalam pengelolaan ruang publik. Premanisme dibiarkan tumbuh, berpakaian organisasi sosial, dan memungut seenaknya sementara institusi resmi memilih diam.

Kami Mendesak: Pertama, DKUPP Kabupaten Probolinggo segera bertindak nyata, bukan hanya menggugurkan kewajiban di atas kertas. Jalankan Perbup No. 48 Tahun 2023 secara utuh dan adil.

Kedua, Pemkab Probolinggo melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan Gelora Merdeka, termasuk memverifikasi dan menindak pihak-pihak yang menarik pungutan liar.

Ketiga, Aparat penegak hukum, termasuk Polres dan Kejaksaan, harus menindak tegas segala bentuk pungli dan intimidasi, tak peduli siapa pelakunya dan atas nama apa mereka bertindak.

Keempat, Instansi pendukung seperti Satpol PP, Inspektorat, dan BPKAD harus dilibatkan dalam pembenahan sistem, agar pengelolaan Gelora Merdeka tak lagi menjadi arena liar bagi praktik ilegal.

PKL bukan sampah kota. Mereka adalah denyut nadi ekonomi rakyat, yang seharusnya diberi ruang, diberi perlindungan, bukan dibungkam. 

Jika pemerintah ingin dihormati, maka tunjukkan keberanian menertibkan mereka yang semena-mena meski mengaku bagian dari "organisasi sosial". Keberpihakan tidak bisa hanya dibunyikan dalam pidato, tetapi harus dibuktikan dalam tindakan.

Gelora Merdeka harus dikembalikan pada rakyat, bukan dikuasai oleh para pemangsa berkedok pelindung.

***

*) Oleh : Ilham Mahendra Alfaridzi, Gerakan Pemuda Progresif.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.