Mengenal Festival Njaran di Candi Tegowangi Plemahan, Hidupkan Warisan Budaya Lokal Kediri
Sudarma Adi June 30, 2025 12:30 AM

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Isya Anshori

TRIBUNJATIM.COM, KEDIRI - Ratusan warga tumpah ruah memadati area kawasan Candi Tegowangi yang berada di Kecamatan Plemahan Kabupaten Kediri Minggu (29/6/2025) pagi.

Mereka antusias menyaksikan Festival Njaran atau jaranan yang digelar sebagai bagian dari rangkaian peringatan bulan Muharram 1447 Hijriah atau Suro. 

Acara ini tak hanya menyuguhkan pertunjukan seni khas Kediri, namun juga menjadi upaya dalam pelestarian budaya dan pengembangan pariwisata daerah.

Festival ini terselenggara berkat kolaborasi antara PT Raja Porang Nusantara, Pasukan Jaranan dan Reog (Pasjar) dengan Pemerintah Kabupaten Kediri melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

Camat Plemahan Anto Riandoko yang hadir mewakili Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana, secara resmi membuka kegiatan budaya tersebut. Menurutnya, Mas Dhito sangat mendukung kegiatan pelestarian seni tradisional seperti ini. 

"Sayangnya beliau berhalangan hadir karena ada kegiatan di luar daerah. Saya diminta mewakili beliau menyampaikan pesan agar kita semua terus menjaga dan mencintai budaya lokal," Anto.

Dalam sambutannya, Anto menekankan bahwa kesenian jaranan merupakan warisan budaya tak benda yang hidup dan berkembang sejak lama di tengah masyarakat Kediri.

Seni yang memadukan unsur tari, musik, dan spiritualitas ini, menurutnya masih digemari lintas generasi dan selalu tampil dalam berbagai momen sosial seperti hajatan, sedekah bumi, hingga festival budaya.

Tak hanya itu, Festival Jaranan juga dimaknai sebagai penghormatan terhadap nilai-nilai sejarah. Lokasi acara yang dipusatkan di Candi Tegowangi bukan tanpa alasan. Situs bersejarah ini dipercaya sebagai tempat pendarmaan Bhre Matahun yaitu tokoh penting dalam sejarah Majapahit dan disebut dalam Kitab Pararaton.

"Candi Tegowangi bukan sekadar bangunan kuno, tetapi saksi sejarah dan budaya leluhur. Sangat tepat jika festival budaya diselenggarakan di sini agar generasi muda lebih mengenal warisan sejarahnya," imbuh Anto.

Sementara itu, Ketua panitia acara Ibnu Mufti menjelaskan bahwa festival ini merupakan bagian dari tiga kegiatan utama dalam rangka Satu Suro, yakni santunan anak yatim, festival jaranan, dan sedekah bumi. Dia menargetkan kegiatan ini dapat menyedot sedikitnya 1.500 pengunjung.

"Festival ini mengusung semangat persatuan. Kami melibatkan sekitar 25 grup jaranan dari seluruh Kabupaten Kediri. Mereka hanya diberi waktu 15 menit untuk tampil, namun harus mampu memukau penonton dengan wirasa, wiraga, dan wirama yakni ekspresi, gerak, dan irama," ungkap Ibnu.

Lebih lanjut, Ibnu menyebut bahwa festival ini juga membuka ruang ekspresi bagi masyarakat desa. 

"Jangan salah, seni tidak hanya milik kota. Warga desa juga bisa berkarya, dan jaranan sangat cocok untuk generasi muda. Seni itu harus berkembang dan dikreasikan agar tetap hidup," jelasnya.

Festival ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, terutama pecinta seni tradisi. Selain sebagai hiburan, kegiatan ini menjadi sarana edukasi budaya, memperkuat identitas lokal, serta menghidupkan kembali fungsi candi sebagai ruang interaksi sosial.

"Suka melihat pas menari bersama sambil mendengar trompet dari alunan jaranan ini," kata Dedi salah satu peserta dari Tunglur Badas.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.