TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Subuh itu, Jumat dini hari 13 Juni 2025, suasana Kota Teheran mendadak berubah mencekam. Sekitar pukul 03.00 waktu setempat, militer Israel melancarkan serangan udara ke sejumlah target strategis di ibu kota Iran, termasuk markas Garda Revolusi dan fasilitas komunikasi.
Ledakan menggelegar membangunkan Tia, seorang mahasiswi asal Jawa Timur yang tengah menempuh studi Bahasa Farsi di sana.
“Pagi itu cuma dua kali (suara ledakan), selama pagi-sore kita enggak ada dengar apa-apa lagi. Belum ada kepanikan yang signifikan, tapi saya sudah mulai cek emergency bag dan stok makanan,” ujar Tia, saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Selasa (24/6/2025), usai dievakuasi pemerintah RI.
Serangan Israel itu menjadi awal dari eskalasi konflik bersenjata terbuka antara dua negara musuh bebuyutan, Israel dan Iran.
Dalam 10 hari berikutnya, kedua belah pihak saling membalas dengan peluncuran rudal yang menewaskan ratusan korban jiwa.
Di pihak Iran, sedikitnya 217 orang dilaporkan tewas, sebagian besar adalah warga sipil. Sementara Israel kehilangan 41 tentara, sebagian besar dalam serangan balasan Iran ke Kota Haifa dan wilayah selatan negara tersebut.
Hari-hari setelah serangan pertama menjadi mimpi buruk bagi para warga sipil, termasuk warga negara Indonesia.
Bagi Tia dan rekan-rekannya di asrama, setiap dentuman yang terdengar menjadi sinyal ketakutan baru.
Pada hari keempat, ia memutuskan meninggalkan asrama usai mengetahui sebuah hotel yang hanya berjarak 750 meter dari tempat tinggalnya hancur dibom.
“Saya putuskan pergi ke KBRI karena sore sebelumnya ada satu hotel yang dibom, jaraknya kurang lebih 750 meter dari asrama. Lalu, juga sudah banyak teman-teman saya yang keluar dari asrama,” ungkapnya.
Situasi berubah drastis.
Tangisan pecah di kamar-kamar asrama. Internet mulai dibatasi, komunikasi dengan keluarga hampir mustahil.
“Di Kota Teheran sudah kayak kota mati, jadi kita mau bertahan di sana atau mau ke kota lain sudah riskan,” ujar Tia lirih.
Hari demi hari, Teheran kian sunyi. Pusat kota lengang, toko tutup, SPBU tak beroperasi, dan bank tak melayani publik. Hanya aplikasi lokal Iran yang tersisa untuk komunikasi, membuat WNI merasa benar-benar terisolasi.
“Di sekitar KBRI saja, pertokoan, bank, SPBU dan jalanan mulai sepi di hari kelima dan keenam,” kata Tia.
Komunikasi baru kembali lancar setelah Tia dan puluhan WNI lain tiba di Kota Baku, Azerbaijan.
Namun, perjalanan ke sana penuh tantangan. Proses imigrasi di perbatasan Astara memakan waktu, dan tiket pesawat mahal karena bertepatan musim puncak perjalanan.
“Kami menunggu 3 malam di hotel yang di-booking pemerintah baru bisa mendapat flight ke Jakarta dengan transit di Turki,” katanya.
Ketegangan juga terasa di Kota Masyhad.
Sultan Fatoni, WNI asal Samarinda, Kalimantan Timur, menyaksikan drone-drone Israel melintas rendah meski wilayah itu tidak menjadi target rudal.
“Di Kota Masyhad, katanya bom tidak sampai, cuma drone saja. Tapi, sempat ditembak oleh pertahanan Iran, jadi enggak sempat jatuh,” ujar Sultan yang juga ikut dalam rombongan WNI yang dievakuasi pemerintah RI.
Fatoni membawa keluarganya mengungsi karena dua kota tetangga yang semula aman, kemudian ikut menjadi target.
Meskipun pengamanan Iran terhadap warga asing cukup ketat, ketegangan tetap terasa setiap kali suara mesin terdengar di langit.
Pemerintah Indonesia bertindak cepat. Hingga Sabtu (28/6/2025), sebanyak 79 orang berhasil dievakuasi, terdiri dari 78 WNI dan satu warga negara Iran.
Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan evakuasi dilakukan bertahap.
“Sementara itu, 18 orang evacuee sisanya dari total jumlah 97 orang evacuee yang masih berada di Baku, Azerbaijan akan dipulangkan secara bertahap pada tanggal 28 & 29 Juni 2025,” ucap Judha.
Sebanyak 13 WNI dijadwalkan tiba di Indonesia pada Senin (30/6/2025). “Kemlu berkoordinasi erat dengan Perwakilan RI di negara-negara transit guna memastikan kelancaran dan keselamatan proses evakuasi,” lanjutnya.
Ketika pesawat mendarat di Jakarta, suasana penuh haru menyelimuti bandara. Pelukan, tangis, dan rasa syukur mewarnai wajah para WNI yang berhasil kembali.
Namun trauma tidak mudah hilang. Bagi Tia dan Sultan, suara rudal dan deru drone masih terekam jelas.
“Saya berterima kasih kepada pemerintah Indonesia yang bantu kami dari awal sampai pulang ke Jakarta,” tutup Tia sambil memeluk koper kecil—satu dari sedikit barang yang berhasil ia selamatkan dari Teheran yang kini sunyi.