sosok Maladi sebagai orang yang pendiriannya teguh seperti "tembok batu" dan pekerja keras.

Jakarta (ANTARA) - Hari Olahraga Nasional (Haornas) yang dikumandangkan Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto pada 9 September 1983 saat meresmikan hasil pemugaran Stadion Sriwedari, Solo, dan kemudian ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1985, adalah sebuah prasasti.

Seperti sebuah prasasti yang di tubuhnya terukir pesan-pesan abadi, begitu pula Haornas. Di sana terdapat sejarah, semangat perjuangan bangsa Indonesia melalui olahraga dan, tentu saja, jejak para tokoh di dalamnya.

Salah satu sosok yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Haornas adalah Raden Maladi yang ikut menyumbangkan pikiran dan tenaganya demi kesuksesan Pekan Olahraga Nasional (PON) I di Solo pada 8-12 September 1948. PON inilah yang menjadi sumber inspirasi peringatan Haornas.

PON pertama tersebut berawal dari kongres olahraga pada Januari 1946 di Solo yang sepakat membentuk Pengurus Besar Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI), di mana Maladi ditetapkan sebagai Bendahara II dan Ketua Bagian Sepak Bola.

PORI, yang ketua perdananya adalah Mr Widodo Sastrodiningrat, kemudian mengadakan rapat demi rapat hingga memutuskan untuk mengadakan PON I di Solo, daerah yang kala itu dianggap paling siap menyelenggarakan kompetisi olahraga nasional dalam skala besar.

Menurut Sorip Harahap dalam Pekan Olahraga Nasional I-X, Sejarah Ringkas dan Perkembangannya (1985), pelaksanaan PON 1948 di Solo dilatarbelakangi keinginan untuk mengadakan kembali "Ikatan Sport Indonesia (ISI) Sportweek" (Pekan Olahraga Indonesia) yang sempat digelar tahun 1938.

Kemudian, PORI juga berkaca dari gagalnya Indonesia mengikuti Olimpiade 1948 di London, salah satunya karena Indonesia belum diakui sebagai sebuah negara oleh Pemerintah Inggris, yang semakin membakar semangat untuk mengadakan sebuah pesta olahraga di tanah air.

PON I di Solo yang terpusat di Stadion Sriwedari berlangsung sukses. Pembukaannya pada 8 September 1948 dipimpin langsung Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dan diikuti seluruh atau sekitar 600 atlet yang berpartisipasi di sembilan cabang olahraga yakni atletik, bola basket, bola keranjang, bulu tangkis, sepak bola, tenis, renang (termasuk polo air), panahan dan pencak silat.

Pertandingan olahraga PON I dimulai pada 9 September 1948, yang menjadi asal muasal tanggal Hari Olahraga Nasional (Haornas).

Kiper yang hebat

Keikutsertaan Maladi di kongres olahraga Januari 1946 tidak lepas dari kiprahnya di dunia olahraga.

Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Heri Priyatmoko menyebut, Maladi sudah aktif berolahraga sejak dirinya bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara sekolah menengah pertama, di Solo mulai tahun 1926.

"Nilai 10 dalam pelajaran olahraga diraih Maladi di MULO. Dia giat berolahraga dan menyukai sepak bola, atletik, renang, kasti, tolak peluru dan anggar," sebut Heri dalam artikelnya "Mengerti (Kisah) R. Maladi" yang dimuat di surat kabar Solopos edisi 28-29 Oktober 2023.

Lama kelamaan, bakatnya di dunia olahraga khususnya sepak bola semakin terasah. Menurut Heri, guru olahraga di Algemene Middlebare School (AMS), setingkat sekolah menengah atas, Johannes Christoffel yang mengarahkan Maladi untuk menjadi penjaga gawang dengan memperkenalkannya ke beberapa pustaka soal kiper Eropa.

Maladi giat berlatih bersama bond Indonesia Mataram selama menempuh pendidikan di AMS B (1930-1932). Lulus dari AMS, pria yang lahir pada 31 Agustus 1912 di Karanganyar itu bermain untuk PSIM pada tahun 1930 dan Persis.

Bergabung di Persis pada tahun 1934, Maladi mampu membawa Persis menjuarai Kompetisi Perserikatan PSSI pada tahun 1939-1941.

Kemampuan menonjolnya di bawah mistar gawang membawa Maladi dipanggil untuk memperkuat tim nasional Indonesia pertama pada tahun 1937.

Dalam buku Soeeratin Sosrosoegondo, Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan" (2014), Eddi Elison menyebut Timnas Indonesia yang benar-benar dibentuk PSSI tanpa pengaruh organisasi sepak bola Hindia Belanda (Nederlandsch-Indische Voetbal Unie/NIVU) itu hanya bersiap selama dua hari untuk menghadapi kesebelasan dari Hong Kong atau China selatan, Nan Hwa, pada 7 Agustus 1937.

Persiapan tersebut mendadak lantaran NIVU dan PSSI baru menandatangani kesepakatan "gentlemen agreement" soal kerja sama kedua belah pihak pada 5 Agustus 1937, yang memungkinkan PSSI berlaga dengan skuad sendiri. Itu membuat pemain-pemain yang dipanggil berasal dari klub Kompetisi Perserikatan PSSI yang basisnya tidak jauh dari Semarang yaitu Surakarta, Yogyakarta dan Cirebon.

Eddi Elison menulis, pertandingan yang berlangsung di Semarang tersebut ditonton ribuan orang dan diliput oleh beberapa media termasuk koran Tionghoa-Indonesia Sin Tit Po.

Pertandingan itu mendapatkan perhatian lantaran Nan Hwa ketika itu berstatus sebagai salah satu tim kuat di Asia dan diperkuat penyerang legendaris Lee Wai Tong.

Berdasarkan catatan Rec.Sport.Soccer Statistic Foundation (RSSSF), kedatangan Nan Hwa ke Semarang saat itu merupakan bagian dari tur Hindia Belanda mereka pada 26 Juli-31 Agustus 1937.

Laga itu sendiri berakhir dengan hasil mengejutkan, imbang dengan skor 2-2. Maladi bermain hingga akhir dan performanya mendapatkan pujian dari lawan.

"Penampilan pemain PSSI, terutama Maladi yang berkali-kali menyelamatkan gawangnya dari Wong Tong cs, dipuji oleh pihak Nan Hwa. Lee Wai Tong bahkan memuji secara khusus penampilan para pemain yang tidak mengenal lelah itu," tutur Eddi.

Menteri Olahraga

Nama Maladi semakin harum hingga dirinya diangkat sebagai salah satu pengurus PORI dalam kongres Januari 1946.

Kiprah Maladi terus bergulir di bidang olahraga. Pada Kongres ke-12 PSSI yang dilaksanakan 2-4 September 1950 di Semarang, dia terpilih menjadi Ketua Umum PSSI ketiga setelah Soeratin Sosrosoegondo (1930-1940) dan Artono Martosoewignyo (1941-1949).

Di kongres Semarang itu pula terjadi perubahan nama PSSI dari Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dan berkedudukan di Jakarta.

Syahrul Anwar, dalam bukunya Militer, PSSI dan Sepak Bola Indonesia 1975-2003 (2021), menyebut bahwa Maladi membawa PSSI ke era baru. Pada masa kepemimpinannya, PSSI bergabung dengan FIFA (1952) dan Konfederasi Sepak Bola Asia/AFC (1954).

Maladi juga berperan penting dalam penunjukan pelatih legendaris asal Yugoslavia Antun "Toni" Pogacnik sebagai pelatih tim nasional Indonesia. Di bawah polesan Pogacnik, Indonesia mampu menahan imbang tanpa gol jagoan sepak bola dunia waktu itu Uni Soviet di Olimpiade 1956, Melbourne.

Periode Maladi sebagai ketua umum PSSI juga diwarnai prestasi membanggakan lain timnas Indonesia yaitu merebut perunggu Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang, dan menembus semifinal Asian Games 1954. Saat merengkuh pencapaian itu, timnas ditangani Pogacnik.

RN Bayu Aji, dalam pustaka Politik Nasionalisme Sepak Bola Indonesia era Soekarno 1950-1965 (2022), mendeskripsikan sosok Maladi sebagai orang yang pendiriannya teguh seperti "tembok batu" dan pekerja keras.

Saking getolnya bekerja, sebut Bayu, Maladi bahkan sempat pingsan saat memberikan sambutan pada Kongres PSSI tahun 1955 di Bandung atau empat tahun sebelum posisinya di PSSI digantikan Abdulwahab Djojohadikusumo.

Kiprah Maladi yang mentereng di dunia olahraga terutama sepak bola, ditambah lagi pengalamannya menata Radio Republik Indonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan membuatnya dipercaya Presiden Soekarno menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Kerja II, tahun 1960-1962.

Sebagai Menteri Penerangan, Maladi bertanggung jawab atas beroperasinya Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada tahun 1962 untuk menyiarkan secara langsung Asian Games IV, di mana Jakarta menjadi tuan rumah.

Dua tahun berselang, kiprah Maladi dalam menyukseskan Asian Games 1962, ditambah perjalanan panjangnya di dunia olahraga, membuatnya ditunjuk Soekarno menjadi Menteri Olahraga pada Kabinet Dwikora I sampai III (1964-1966).

Saat menjabat Menteri Olahraga, Maladi sempat menjalankan tugas sebagai Ketua Komite Nasional Games of the New Emerging Forces (Ganefo) atau Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 178 Tahun 1964.

Demi mengingat jasa-jasa Maladi untuk olahraga nasional mulai dari PON I hingga PSSI membuat Pemerintah Kota Solo mengubah nama Stadion Sriwedari menjadi Stadion R Maladi pada Agustus 2003. Namun, delapan tahun kemudian, stadion tersebut kembali ke nama Sriwedari.

Setiap orang mengukir sejarahnya sendiri semasa hidup dan Maladi berhasil melakukannya dengan gemilang. Konsistensi, kemampuan, kepemimpinan dan kerja kerasnya layak menjadi contoh bagi generasi muda, juga para praktisi olahraga.

Spesial untuk PSSI, Maladi dalam artikel di surat kabar Berita Yudha berjudul "Kompetisi Yg Teratur Tingkatkan Kemampuan Pemain", terbit pada Senin, 17 Januari 1983, pernah menyampaikan pesan. Dia menekankan, pengembangan sepak bola nasional harus difokuskan kepada pemain melalui klub dalam kompetisi, bukan dengan cara-cara instan.

"Klub sepak bola adalah wadah pembinaan induk pemain. Maka sistem kompetisi terbaik ialah kompetisi antarklub seperti yang dipakai di seluruh dunia", kata Maladi.