Dalam dongeng-dongeng pengantar tidur, kancil digambarkan sebagai hewan yang cerdik cenderung licik -- yang suka mengelabui hewan-hewan yang lebih besar dan hebat darinya. Tapi benarkah demikian?
Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari edisi September 1994 dengan judul "Cerita Kancil yang Sebenarnya"/Slamet Suseno
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Caranya berjalan tidak tegak seperti gadis jujur, tapi merunduk seperti pencoleng. Kedua kaki depannya memang lebih pendek daripada kaki belakangnya. Karena sikap inilah ia dimitoskan sebagai makhluk culas penuh akal dalam dongeng Kancil Nyolong Timun.
Tidak hanya gajah bengkak dan macan loreng yang dikibuli, tapi juga buaya koplo-koplo dan bulus yang berakal bulus. Gajah berukuran jumbo ditipunya sampai bisa terjeblos dalam lubang tempatnya terperangkap, dengan alasan "langit kita sebentar lagi akan ambrol".
Jadi sebaiknya bersembunyi dalam lubang ini. Padahal, kancil itu sendiri kemudian memakai punggung gajah yang sudah masuk lubang itu sebagai batu loncatan menuju ke kemerdekaan hakiki.
Pada waktu lain, kancil yang cerdik itu nekat membujuk macan (yang tadinya mau menerkamnya di bawah rumpun bambu), agar menempelkan lidahnya di antara dua batang bambu. Jadi bisa mendengarkan seruling yang merdu bak buluh perindu. Sebab, orang memang harus menempelkan bibir kalau mau meniup seruling bambu. Ketika macan itu sibuk mencoba menempelkan lidahnya di antara dua batang bambu sampai terjepit, si kancil bisa cabut dan lari sifat kuping.
Ketika kebingungan di pinggir kali dan tak dapat menyeberang karena dicegat oleh mulut buaya yang menganga, ia malah menantang: "Ayo! Kerahkan gerombolanmu yang lain, kalau berani mengalangi saya!" Setelah sejumlah buaya dikerahkan dan berderet-deret menghadangnya di sungai, deretan punggung koplo-koplo itu malah dipakai oleh si kancil sebagai batu loncatan untuk menyeberang sungai.
Ketemu batunya
Juga anjing kampung tidak luput dari tipuannya, dan dibujuk agar mau menggantikan duduk dalam kurungan pak tani. Sebelumnya, kancil itu tertangkap basah mencuri mentimun, lalu dikurung di kebun. Tapi kepada anjing kampung ia mengibul, bahwa ia duduk dalam kurungan itu karena diamankan oleh pak tani. Sebentar lagi pak tani itu juga akan menghidangkan nasi dos dari merek luar negeri yang terkenal.
Sesudah anjing itu masuk ke dalam kurungan, si kancil meninggalkannya dengan ucapan terima kasih, dan selamat menikmati nasi dos pak tani yang marah-marah menyumpah serapah.
Baru ketika ia mengejek bulus dengan congkak bahwa binatang lamban itu tidak mungkin menang balapan melawannya, ia ketemu batunya. Bulus itu mengusulkan agar balapan dilakukan di dua jalur. Satu berupa daratan tepi sungai untuk kancil, dan yang lain berupa sungai itu sendiri untuk bulus.
Si kancil setuju, dan setelah terengah-engah kehabisan napas di dekat garis finis, ia melihat kepala bulus itu sudah muncul di permukaan air garis finis. Bagaimana mungkin ia mendahuluinya?
Kancil itu tidak tahu bahwa kepala yang muncul itu kepala bulus joki yang diupah. Gundul bulus memang sama di mana-mana.
"Ya, itulah akal bulus!" kata nenek yang sudah tua kepada cucunya. Pada umumnya, nenek-nenek memang sudah tua.
Justru penakut
Sosok tubuh kancil Tragulus javanicus mirip sekali dengan muncak Muntiacus muncak, tapi tidak bertanduk. Ukurannya juga kecil sekali, sampai pantas diremehkan. Tingginya hanya 30 cm, panjangnya 50 cm, dengan ekor 8 cm. Kira-kira hanya sekecil kucing hutan yang besar. Itu tidak ada artinya bagi masyarakat hutan dengan hukum rimbanya yang masing-masing bisa menjadi hakim yang main hakim sendiri.
Penduduk pinggir hutan senang sekali memburunya tanpa risiko kecelakaan yang besar. Karena itu, kancil lebih suka tinggal di dalam hutan lebat yang sukar ditembus, daripada keluyuran di tepi huma atau kebun orang. Karena hidupnya penuh bahaya diserang musuh, ia keluar dan tempat persembunyiannya hanya waktu senja remang-remang dan malam yang gelap.
Ia memang tidak mempunyai alat bela diri berupa tanduk, tapi dikaruniai gigi taring rahang atas yang nyerongos sampai keluar dari bibir. Seharusnya taring inilah yang bisa dipakai untuk melawan musuh dari bangsa binatang lain. Tapi justru tidak! Menghadapi, musuh, kancil lebih suka lari! Larinya memang kencang dengan kakinya yang kecil langsing itu, tapi sayang ia tidak tahan lama, lalu menyerah tanpa syarat.
Biar bunting dulu
Di sebuah pulau dekat Ujung Kulon, Banten, para kancil hidup tenang tentram tak diganggu orang, karena pulau itu dilindungi sebagai suaka alam. Mereka berkembang biak banyak sekali sampai pulau itu penuh peucang (bahasa Sundanya kancil). Orang Sunda pun menyebutnya Pulau Peucang.
Di Belitung dan bagian lain dari Sumatera, kancil yang lebih banyak menghuni hutan lebat, disebut pelanduk. Sedangkan keponakan dekatnya yang lebih besar dan lebih banyak menghuni daerah rawa dataran rendah disebut napu, Tragulus napu.
Sebagai pemamah biak, para kancil bin pelanduk hanya bisa makan daun-daunan dan buah hutan yang lunak. Di hutan Belitung misalnya, pelanduk suka makan daun dan buah simpur Dillenia excelsa, keponakan dekat dari sempur Jawa Barat Dillenia aurea. Ini dilaporkan oleh penduduk yang biasa menangkapnya.
Kalau mencari tempat tinggal pelanduk, mereka melihat sisa daun dan buah simpur ini yang sudah dimakan binatang itu. Tempat seperti itu sering dipakai untuk menjerat pelanduk dengan jaring-nilon. Tapi sebelum jaring dipasang, tempat itu diberi mantra dan jampi-jampi dulu sebagai penangkal. Jadi tidak mungkin ada orang lain yang menyerobot kavling dan diam-diam memasang jaring.
Penjaringan dilakukan pada waktu malam terang bulan, tapi selalu sebelum bulan purnama. Alasan mereka, kalau menangkap pelanduk pada bulan pumama, 'lah pasti diganggu hantu berasuk (hantu yang berminat berburu pelanduk juga). Kurang bijak kalau bersaing dengan makhluk yang tindakannya tidak transparan itu.
Konon, kepercayaan ini sengaja dihidupkan oleh para houtvesterij (kepala daerah pemangkuan hutan) Belanda, agar penduduk tidak berburu pelanduk pada waktu binatang itu sedang kawin. (Kawinnya di bawah sinar bulan purnama). Biarlah mereka berkembang biak dulu. Baru setelah itu boleh diburu. Kalau bisa, hanya pelanduk jantan yang sudah menunaikan tugasnya saja yang ditangkap. Betinanya yang sudah bunting dilepaskan lagi (kalau tertangkap), biar beranak meninggalkan keturunan dulu.
Teori pelestarian yang bagus ini kalau dijelaskan apa adanya, tidak akan dianut, tapi malah ditertawakan. Jadi dianyamlah mitos, bahwa mendekati bulan purnama, sebaiknya jangan berburu pelanduk, karena pasti diganggu hantu berasuk.
Hati-hati piara kancil
Pada bulan-bulan tertentu kalau pelanduk sedang bunting, mereka tidak boleh ditangkap juga. Larangan ini tertuang dalam peraturan pelaksanaan tentang perlindungan binatang liar no. 266 tahun 1931, berdasarkan ordonansi perlindungan binatang liar (semacam peraturan pemerintah zaman Belanda) no. 134 yang dituangkan sebelumnya dalam tahun yang sama.
Di dalam wilayah suaka margasatwa, suaka alam, dan taman nasional, kancil dilindungi betul dan sama sekali tidak boleh diburu. Tapi yang berada di luar wilayah itu boleh saja diburu, asal di luar musim bunting. Kapan datangnya musim bunting ini, ditetapkan oleh kepala daerah pemangkuan hutan setempat, berdasarkan hasil pengamatan para petugas konservasi alam di daerah itu.
Kancil kemudian terkenal sebagai binatang yang dilindungi, tapi dengan pengertian dan tafsir khusus tadi. Itulah sebabnya, ada yang tidak mengerti mengapa ada saja yang masih bisa menangkap binatang itu hidup-hidup, dan memeliharanya di pekarangan rumah, padahal kancil itu dilindungi.
Pada zaman Belanda lumayan banyak yang berhasil memelihara kancil sampai beranak pinak dalam kandang. Kancil piaraan bisa hidup sejahtera dengan pemberian buah-buahan yang lunak, seperti pepaya, mangga, pisang, jambu.
"Tapi ketika anaknya yang lahir dibiarkan hidup bersama dalam satu kandang dengan bapak-ibunya, timbullah masalah," tulis Dakkus dalam De Tropische Natuur, tahun 1932.
Setelah si buyung beranjak dewasa, terjadilah drama keluarga dalam pengasingan. Pada suatu malam bulan purnama, ia meneriakkan yel-yel berahinya, diikuti gedebak-gedebuk perkelahian dengan bapaknya. Ia menyayat perut bapaknya sampai mati, setelah tiba-tiba berjongkok di sampingnya dan secepat kilat menggoreskan gigi taringnya ke sisi lambung..
Setengah jam kemudian terdengar lagi teriakan berahi si kancil yunior yang menang berkelahi itu. Padahal dalam kandang hanya ada satu betina: ibunya sendiri.
Dakkus menyesal! Andaikata anak kancil itu tidak terlambat dipisahkan dari binatang tuanya, mungkin tragedi bapak kancil itu tidak terjadi.
Di alam bebas, itu tidak mungkin terjadi, karena induk kancil yang menghadapi anak berahinya yang mulai mau tidak senonoh selalu bisa lari sifat kuping.