Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan sampai dengan hari ini tercatat ada 17 permohonan perlindungan dari pihak aktivis yang terlibat dalam aksi demonstrasi berujung kerusuhan pada akhir Agustus 2025.
“Ada 17 laporan (permohonan). Kalau kita klaster itu ada klaster korban, ada klaster keluarga, dan ada klaster pendamping,” kata Wakil Ketua LPSK Wawan Fahrudin saat wawancara khusus dengan ANTARA di Jakarta, Selasa.
Menurut Wawan, permohonan tersebut berasal dari enam kota di Indonesia, termasuk Jakarta dan Makassar. Saat ini, seluruhnya sedang dalam tahap penelaahan untuk menentukan diterima atau tidaknya permohonan dimaksud.
“Kita punya mekanisme itu ketika syarat formil dan materil terpenuhi, kemudian kita punya waktu 30 hari untuk melakukan investigasi dan pengumpulan data dan fakta,” jelas Wawan.
“Nah, setelah itu, kemudian, teman-teman (LPSK, red.) akan menyusun risalah. Risalah ini kemudian disampaikan di depan pimpinan untuk diputuskan, apakah diterima atau tidak,” sambung dia.
Di samping itu, Wawan mengatakan LPSK bersama dengan lembaga nasional hak asasi manusia (LN HAM) lainnya terus melakukan langkah proaktif mengenai peristiwa tersebut. Hal itu, kata dia, mengingat kewenangan LPSK yang terbatas.
Dia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK hanya berwenang melindungi saksi, korban, pelapor, ahli, dan saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.
“Bagaimana dengan teman-teman aktivis itu yang menyatakan pendapat di depan publik kemudian ditangkap? Nah, karena kita menyadari akan kewenangan kita yang terbatas, kita melakukan kerja-kerja kolaborasi, kita bergabung di dalam LN HAM,” tuturnya.
Diketahui, enam LN HAM membentuk tim independen pencari fakta untuk mengusut peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan pada akhir Agustus hingga awal September 2025 di Jakarta dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia.
Tim tersebut terdiri atas Komisi Nasional (Komnas) HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).