Ekonomi Biru dan Rasa Syukur: Membangun Akuakultur Manusiawi dan Berkelanjutan
Sigit E Praptono October 15, 2025 07:00 PM
Aerator di tambak berputar pelan, seolah mencoba menenangkan kegelisahan yang menyelimuti orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada air. Bukan karena udang mati mendadak atau mesin rusak, melainkan karena kabar dari luar negeri yang menimbulkan gelombang ketidakpastian: produk udang Indonesia tengah diterpa isu radioaktif.
Sejak laporan Reuters dan pengumuman resmi U.S. Food and Drug Administration (FDA) pada Oktober 2025 tentang temuan Cesium-137 (Cs-137) pada salah satu sampel udang Indonesia, pasar ekspor langsung terpukul. Harga anjlok, kepercayaan pembeli merosot, dan yang paling berat terasa di lapangan: semangat para pekerja tambak ikut goyah.
Di tengah semua tekanan itu, kita sering berdebat soal teknologi, sistem biosekuriti, dan kebijakan dagang. Tapi ada satu hal mendasar yang luput: nilai-nilai moral dan sosial yang menopang keberlanjutan industri ini, salah satunya adalah rasa syukur.

Blue Economy: Ambisi Besar, Tantangan Nyata

Dalam satu dekade terakhir, banyak negara—termasuk Indonesia—gencar mendorong pengembangan blue economy atau ekonomi biru: sebuah pendekatan yang menggabungkan pertumbuhan ekonomi laut dengan keberlanjutan lingkungan. Dalam dokumen Blue Economy Roadmap yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, sektor akuakultur menjadi tulang punggung penggerak.
Secara makro, arah ini sangat menjanjikan: ekspor udang Indonesia pernah menyentuh miliaran dolar per tahun dan membuka lapangan kerja bagi ratusan ribu orang. Namun di lapangan, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
Tekanan harga global, penyakit seperti White Spot Syndrome Virus (WSSV), EHP-WFD, AHPND, keterbatasan biosekuriti di tambak kecil, kerusakan mangrove, dan isu kontaminasi—seperti Cs-137—menjadi badai yang memukul rantai pasok dari hulu hingga hilir. Dalam kondisi ini, tak hanya bisnis yang goyah, tapi juga ketahanan sosial dan psikologis para pelaku tambak ikut tergerus.

Mengapa 'Syukur' Masuk ke Diskursus Ekonomi Biru?

Dalam konteks bisnis modern, kata 'syukur' sering dianggap terlalu personal atau bahkan religius. Padahal, secara psikologis dan sosial, rasa syukur adalah salah satu bentuk emosi positif yang sangat kuat. Ia bukan sekadar ucapan terima kasih, tapi juga cara pandang terhadap sumber daya, hubungan, dan makna kerja.
Sebuah meta-analisis oleh Diniz dkk. (2023) menunjukkan bahwa praktik syukur yang konsisten berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis, pengurangan stres, dan peningkatan rasa tanggung jawab sosial. Dalam konteks kerja, riset Nicuță (2025) menemukan bahwa trait gratitude berhubungan positif dengan performa kerja, keterlibatan (engagement), dan kelekatan emosional karyawan terhadap organisasi.
Jika prinsip ini diterapkan ke sektor perikanan dan akuakultur, rasa syukur dapat menjadi pondasi moral dan sosial yang menopang keberlanjutan ekonomi biru, bukan sekadar retorika hijau.

Dampak Nyata Syukur di Tempat Kerja Tambak

Para pekerja tambak udang bekerja dalam tekanan tinggi: sistem 24 jam, fluktuasi cuaca ekstrem, serta risiko mortalitas yang tinggi. Dalam situasi seperti itu, rasa lelah dan cemas sangat mudah tumbuh. Namun, studi-studi organisasi modern menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang menumbuhkan rasa syukur cenderung lebih resilien.
Pekerja memanen udang di tambak budidaya udang berbasis kawasan (BUBK) milik Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kebumen, Jawa Tengah. Foto: Dok. KKP
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja memanen udang di tambak budidaya udang berbasis kawasan (BUBK) milik Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kebumen, Jawa Tengah. Foto: Dok. KKP
Pertama, syukur memperkuat relasi sosial dalam tim. Ucapan terima kasih dari pimpinan atau rekan kerja tidak sekadar basa-basi, tetapi menumbuhkan perasaan dihargai dan meningkatkan semangat kolektif. Dalam konteks tambak, ini bisa berarti kepatuhan lebih tinggi terhadap SOP biosekuriti, koordinasi saat krisis, dan kelekatan tim yang lebih kuat.
Kedua, syukur menumbuhkan kesadaran terhadap sumber daya alam. Budi daya yang berkelanjutan pada dasarnya berawal dari kesadaran bahwa laut, air, dan tanah adalah 'rezeki bersama' yang harus dirawat. Ini mendorong praktik konservasi mangrove, pengelolaan limbah kolam yang lebih bertanggung jawab, dan rotasi lahan yang lebih bijak.
Ketiga, syukur menjadi modal sosial saat krisis. Ketika harga udang jatuh atau ekspor tertahan, komunitas tambak yang dibangun atas dasar solidaritas dan saling menghargai cenderung lebih cepat bangkit dibanding komunitas yang hanya bergantung pada mekanisme pasar.

Syukur sebagai Penggerak Praktik Berkelanjutan

Bagaimana rasa syukur diterjemahkan dalam praktik nyata? Beberapa contohnya cukup sederhana, tetapi berdampak:
• Syukur pada alam: memicu kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, rehabilitasi mangrove, dan upaya menjaga ekosistem. Ini selaras dengan prinsip sustainable blue economy sebagaimana ditegaskan dalam laporan Elston et al. (2024).
Presiden Jokowi (kedua kanan) panen udang di tambak rakyat di kawasan Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi (kedua kanan) panen udang di tambak rakyat di kawasan Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
• Syukur pada sesama pekerja: membangun budaya kerja apresiatif, memperkuat kepercayaan tim, dan menurunkan risiko konflik internal.
• Syukur pada proses kerja: mendorong inovasi lokal—dari teknik pencegahan penyakit sederhana hingga pengelolaan air lebih efisien—karena pekerja merasa memiliki makna dalam pekerjaannya.
Dengan cara ini, syukur bukan sekadar nilai moral, tetapi strategi adaptif menghadapi ketidakpastian.

Isu Cs-137: Krisis Kepercayaan, bukan Sekadar Teknis

Kasus temuan Cs-137 di produk udang Indonesia menjadi contoh telak bahwa risiko teknis dapat berubah menjadi krisis moral dan reputasi. Meskipun kontaminasi hanya terjadi pada satu sampel, dampaknya sistemik: seluruh pasar ekspor terdampak, dan pembeli global menahan diri.
Dalam kondisi ini, respons industri tak cukup hanya teknis (uji lab, desinfeksi, dan audit). Diperlukan pemulihan kepercayaan, baik dari pasar, pemerintah, maupun pekerja sendiri. Di sinilah peran nilai-nilai seperti syukur, transparansi, dan solidaritas komunitas menjadi sangat krusial.
Limbah tambak udang yang merusak Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Foto: Greenpeace Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Limbah tambak udang yang merusak Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Foto: Greenpeace Indonesia
Rasa syukur yang tumbuh di komunitas tambak dapat memperkuat semangat kolaboratif dalam memperbaiki citra bersama: terbuka terhadap inspeksi, memperbaiki rantai pasok, dan menjaga mutu dari hulu ke hilir.

Rekomendasi untuk Industri dan Kebijakan Publik

Agar nilai syukur tidak berhenti sebagai jargon, ia perlu diintegrasikan dalam kebijakan dan praktik. Beberapa langkah nyata yang bisa dilakukan:
• Pelatihan SDM tambak dengan modul apresiatif: bukan sekadar teknik budi daya, melainkan juga etika merawat laut, menghargai kerja tim, dan pentingnya transparansi.
• Program penghargaan komunitas: pemerintah dan asosiasi bisa memberikan sertifikasi atau insentif bagi kelompok petambak yang menerapkan praktik ramah lingkungan dan biosekuriti tinggi.
• Transparansi rantai pasok: audit independen dan komunikasi publik jujur pascakrisis untuk membangun ulang kepercayaan pasar.
• Dukungan finansial untuk petambak kecil: likuiditas saat harga jatuh, asuransi biomassa, dan akses pasar kolektif untuk menghindari ketergantungan pada tengkulak.
Dengan cara ini, nilai syukur diintegrasikan ke dalam struktur ekonomi biru, bukan sekadar 'hiasan etika'.
Tambak budidaya udang berbasis kawasan (BUBK) milik Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kebumen, Jawa Tengah, memasuki masa panen setelah resmi beroperasi pada awal Maret 2023 Foto: Dok. KKP
zoom-in-whitePerbesar
Tambak budidaya udang berbasis kawasan (BUBK) milik Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kebumen, Jawa Tengah, memasuki masa panen setelah resmi beroperasi pada awal Maret 2023 Foto: Dok. KKP

Kasus Inspiratif: Syukur sebagai Budaya Komunitas

Di beberapa kawasan pesisir, komunitas petambak mulai membentuk 'Jum'at Syukur & Monitoring', sebuah pertemuan rutin untuk saling berterima kasih, mengevaluasi kondisi kolam, dan menyepakati langkah bersama menghadapi tantangan.
Dari hasil awal, komunitas semacam ini mencatat penurunan mortalitas udang, kepatuhan SOP meningkat, dan hubungan sosial antarpekerja menguat. Tidak ada teknologi canggih di sana, hanya kesadaran bahwa budi daya adalah kerja bersama dengan alam, sesama, dan rezeki.

Dari Rasa Syukur menuju Ekonomi Biru yang Sejati

Ekonomi biru bukan hanya tentang angka-angka GDP laut atau volume ekspor. Ia tentang keseimbangan antara keberlanjutan ekologi, kesejahteraan sosial, serta keberlanjutan ekonomi. Dan semua itu membutuhkan pondasi moral yang kuat.
Rasa syukur memberikan perspektif jangka panjang. Ia mengingatkan bahwa laut bukan objek eksploitasi semata, melainkan sumber kehidupan yang harus dijaga. Ia menumbuhkan solidaritas dalam komunitas tambak dan memperkuat daya tahan menghadapi krisis.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti menganggap syukur sebagai hal privat. Dalam dunia akuakultur modern, syukur adalah strategi keberlanjutan. Dan dari dasar kolam tambak yang sunyi, paradigma ekonomi biru yang lebih manusiawi bisa lahir.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.