Disiplin atau Kekerasan? Menafsir Ulang Tamparan di Lingkungan Sekolah
Asep Abdurrohman October 15, 2025 07:00 PM
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi diri peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual, akhlak mulia, kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup bermasyarakat.
Berdasarkan definisi pendidikan di atas, bahwa pendidikan dilakukan dengan penuh kesadaran dan direncanakan dengan sebaik-baiknya. Untuk merancang pembelajaran, memang dibutuhkan proses persiapan dan perencanaan yang matang.
Pendidikan yang direncanakan secara asal-asalan, hasilnya sudah bisa ditebak tidak akan baik. sikap spontan langsung tanpa pikiran jernih dalam merespon perilaku buruk anak didik di sekolah adalah bukan usaha sadar, namun usaha yang dilakukan oleh pendidik dalam kondisi tidak normal.
Tindakan yang dilakukan di luar pikiran jernih, jelas itu adalah tidak normal. Artinya, pendidik yang mengambil sikap dengan cara menampar adalah amarah manusia yang belum terkendali.
Tidak terkendalinya amarah seorang pendidik, apakah memang pendidik itu pemarah atau ada kondisi di belakang pendidik yang membuat cepat marah? Tentu ini harus digali sebijak mungkin.
Pemerintah pun, sebaiknya tidak cepat ambil tindakan dengan cara memecat pendidik. Namun, harus berpikir jernih. Tidak asal mengambil tindakan dalam situasi diselimuti oleh emosi. Cobalah menghela nafas dulu, memecat bukan solusi jitu, tapi pintu awal membuka lebar-lebar masalah baru.
Sejatinya, tidak ada masalah yang berdiri sendiri. Cobalah mengawal kasus tamparan dengan hati yang ikhlas, bukan dengan hati yang penuh amarah. Orang tua siswa pun tidak cepat tanggap bahwa ini adalah kekerasan.
Orang tua harus menahan tidak cepat-cepat lapor kepada yang berwajib. Diskusilah dengan menggunakan hati. Rabalah pendidik dengan rabaan hati. Orang tua perlu menghormati para pendidik, yang sudah susah payah mendidik anak-anak di jaman era digital.
Situasi akan menjadi lain, ketika orang tua siswa melaporkan ke pihak berwajib. Pendidik akan semakin hancur, meskipun anak didiknya hancur hatinya. Jangan biarkan pendidik dan profesi pendidik ada diujung akhir kepercayaan masyarakat.
Sebaiknya, jangan biarkan anak didik terjerumus ke dalam godaan yang membuat masa depan suram. Jangan jadikan juga antara pendidik dan anak didik sudah hancur, namun katakan saja perlu kolaborasi antara keluarga, sekolah, pemerintah dan masyarakat.
Kesalahan terbesar dewasa ini adalah menyerahkan pendidikan hanya semata-mata tanggung jawab sekolah. Padahal pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama. Kenapa muncul tamparan di sekolah? Banyak hal yang harus dilihat.
Apakah tamparan itu berasal dari seorang pendidik yang di belakangnya banyak masalah? Orang tua yang tidak ambil peran pendidik secara serius? Pemerintah yang belum bisa memberi angin segar kepada sekolah? Atau justru masyarakat yang tidak banyak peduli terhadap keberadaan anak didik kita? atau apa?
Untuk menjawab itu, tentu tidak mudah, memerlukan data-data simultan dan usaha serius. Paling tidak, orang tua harus bersabar dulu sambil mencari titik temu dengan sekolah.
Sekolah juga harus mengevaluasi sistem pendidikannya yang diterapkan olehnya. Sementara pemerintah harus melihat secara lebih luas, tidak asal mencopot pendidik, namun mengkajinya dengan melibatkan para ahli pendidikan.
Jika dikatakan kekerasan, memang itu sudah masuk ke dalam kekerasan. Menurut Johan Galtung, kekerasan itu ada tiga; kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan budaya. Tamparan keras kepada anak didik termasuk kekerasan langsung dan kekerasan struktural.
Artinya, kekerasan langsung yang bisa dilihat langsung pelakunya siapa. Dan kekerasan struktural dilakukan oleh pejabat lokal yang ada di sekolah. Meskipun demikian, namun cobalah berpikir jernih dulu.
Dengan mencopot memang selesai sementara waktu, namun timbul dalam benak para kepala sekolah keengganan untuk berbuat mendisiplinkan anak didik lantaran kuatir dilaporkan kepada yang berwajib jika ada unsur kekerasan.
Sikap ini secara otomatis akan terbawa ke dalam kebijakan sekolah yang membiarkan anak-anak berbuat pelanggaran. Suara ini akan keluar dan masuk ke dalam benak masyarakat, yang pada ujungnya akan timbul persepsi dari masyarakat bahwa sekolah itu tidak baik.
Sementara orang tua yang punya kuasa melaporkan langsung kepada aparat kepolisian, akan menjadi contoh bagi orang tua lain di saat ada kekerasan terhadap anaknya. Orang tua siswa lain itu akan melakukan hal yang sama, melaporkan kepada polisi.
Pada akhirnya, orang tua sedikit-dikit akan bermain-main dengan yang namanya lapor ke polisi. Jika sudah seperti itu, sekolah-sekolah akan terbentuk rasa enggan dan tidak tegas dalam mendidik calon masa depan bangsa.
Akhirnya, sikap demikian akan membawa kepada suasana saling tidak percaya antara sekolah dengan orang tua siswa. Di sisi lain, pemerintah akan gampang melakukan tindakan praktis dengan cara gampang mencopot guru yang bersalah.
Ujung-ujungnya ketiga pilar pendidikan itu sudah saling tidak percaya, antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika sudah seperti itu, siapa yang bertanggung jawab? Semua menjadi rugi bukan? Semoga bermanfaat.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.