Menciptakan Permintaan Berkelanjutan bagi Makanan Indonesia di Luar Negeri
Vinsensius Shianto November 03, 2025 12:20 PM
Sewaktu bertugas di Rusia pada 2020-2024, saya mengalami kesulitan menemukan restoran yang menjual makanan Indonesia. Pada periode tersebut, tidak ada satu pun restoran Indonesia di Moskow, padahal restoran Asia lainnya seperti restoran Jepang, Korea, dan Vietnam sangat mudah ditemukan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Rusia, tetapi juga di banyak negara lain.
Pertanyaannya, mengapa makanan Indonesia belum menjadi bagian dari peta kuliner global seperti makanan Asia lainnya? Salah satu jawabannya yaitu ketergantungan terhadap pasar domestik. Karena pasar Indonesia yang besar, pelaku usaha merasa lebih nyaman berbisnis di dalam negeri, dibanding mencoba peruntungan di pasar luar negeri yang belum mereka kenal.
Data Kementerian Luar Negeri mencatat, pada 2024, hanya terdapat 1.221 restoran Indonesia di luar negeri. Bandingkan dengan Thailand yang memiliki lebih dari 20.000 restoran di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 43% restoran Indonesia masih tergolong usaha mikro dengan omzet di bawah Rp300 juta per tahun (Kemenparekraf, 2023). Sebagian bahkan beroperasi sebagai pop-up restaurant, food truck, dan cloud kitchen yang hanya melayani pesan antar.
Selain itu, restoran Indonesia di luar negeri masih terkonsentrasi di negara-negara dengan jumlah diaspora Indonesia yang besar, seperti Belanda, Australia, dan Arab Saudi. Masalahnya, pasar utama restoran-restoran ini tetap orang Indonesia yang tinggal di negara tersebut. Pelaku usaha kita belum lepas dari zona nyaman: menjual makanan Indonesia untuk konsumen Indonesia. Padahal, potensi yang bisa diraih dari pasar asing sangat besar.
Jika berhasil menyasar pasar asing, peran restoran dan produk makanan Indonesia sebagai agen gastrodiplomasi dapat dimaksimalkan. Dalam hal ini, makanan Indonesia dapat mendukung promosi budaya dan peningkatan citra Indonesia di luar negeri, serta menghasilkan efek berganda bagi perekonomian nasional, mulai dari peningkatan ekspor, investasi, pariwisata, hingga penciptaan lapangan kerja.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya meningkatkan jumlah restoran dan produk makanan Indonesia di luar negeri. Pada 2021, diluncurkan program ‘Indonesia Spice Up the World’ (ISUTW) dengan target 4.000 restoran dan ekspor rempah senilai 2 miliar dolar AS pada 2024. Namun hingga ISUTW berakhir, kedua target belum tercapai. Banyak faktor yang memengaruhi, seperti perizinan, logistik, dan pendanaan. Namun yang terutama, belum ada permintaan pasar yang berkelanjutan karena masih bergantung pada pasar diaspora.
Agar pelaku usaha mau berbisnis di luar negeri, diperlukan strategi untuk menciptakan permintaan pasar yang berkelanjutan dengan menyasar penduduk lokal di negara setempat. Ini bukan hal yang mudah, karena setiap negara memiliki selera dan pola makan yang berbeda. Kabar baiknya, hal ini bukan mustahil, karena permintaan pasar bukan sesuatu yang konstan, melainkan dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Salah satu contohnya adalah permintaan akan mobil listrik yang mungkin tidak terpikirkan sepuluh tahun lalu.
Permintaan pasar akan produk baru dapat diciptakan melalui komunikasi, edukasi, dan inovasi yang konsisten sehingga memengaruhi kebiasaan dan preferensi konsumen. Proses ini memang membutuhkan waktu, namun dapat dipercepat melalui teknologi digital, media sosial, dan influencer untuk memulai tren makanan Indonesia. Contohnya, Korea Selatan mempromosikan makanan melalui film dan acara televisi, sementara tren matcha asal Jepang berkembang luas melalui media sosial. Dalam hal ini diperlukan kolaborasi erat dengan berbagai platform digital seperti Netflix dan YouTube, serta pemanfaatan influencer luar negeri.
Tren matcha asal Jepang di Jakarta. Sumber: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Tren matcha asal Jepang di Jakarta. Sumber: dokumentasi pribadi
Namun, tren tidak akan bertahan tanpa aksesibilitas. Untuk menciptakan permintaan yang berkelanjutan, produk makanan Indonesia di luar negeri harus mudah ditemukan, memiliki harga terjangkau, dan rasa yang dapat diterima oleh masyarakat lokal. Karena itu diperlukan perbaikan dari sisi penawaran, antara lain: adaptasi menu, standardisasi, hingga kerja sama dengan restoran lokal dan platform pesan antar di luar negeri.
Pada Agustus 2025, pemerintah meluncurkan program ‘Rasa Rempah Indonesia’ (S’RASA) untuk menggantikan ISUTW. Hanya saja, seperti ISUTW, S’RASA masih berfokus pada negara-negara pasar tradisional Indonesia dengan jumlah diaspora yang besar. Meski peran diaspora penting sebagai aktor gastrodiplomasi, Indonesia perlu belajar dari pengalaman agar tidak mengulangi kesalahan sebelumnya, dan mampu menciptakan pasar baru dengan permintaan yang berkelanjutan bagi makanan Indonesia di luar negeri.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.