Amplop Ajaib dan Mobil Idaman: Modus Suap Hutan Bos PT PML Terungkap di Sidang
Acos Abdul Qodir November 11, 2025 08:33 PM
Ringkasan Berita:
  • Jeep Rubicon dan amplop SGD jadi alat tukar demi akses hutan register Lampung.
  • Sengketa korporasi berubah jadi barter uang dan mobil untuk lanjutkan izin pemanfaatan.
  • Sidang Tipikor ungkap kronologi suap, dari restoran Jakarta hingga showroom mobil Bandung.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Jeep Rubicon dan amplop berisi uang tunai dalam dolar Singapura senilai Rp2,5 miliar menjadi sorotan utama dalam sidang perdana kasus dugaan suap izin pemanfaatan kawasan hutan di Lampung.

Sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (11/11/2025), mengungkap skema suap yang menyeret Direktur PT Paramitra Mulia Langgeng (PT PML), Djunaidi Nur, dan orang dekatnya, Aditya Simaputra, selaku terdakwa.

Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menyebut keduanya memberikan suap senilai total Rp2,5 miliar kepada Direktur Utama PT Eksploitasi dan Industri Hutan V (PT Inhutani V), Dicky Yuana Rady.

Tujuannya adalah agar PT PML tetap bisa melanjutkan kerja sama pemanfaatan kawasan hutan register 42, 44, dan 46 di Provinsi Lampung.

PT Inhutani V diketahui memiliki izin usaha pemanfaatan hutan seluas ±55.157 hektare di wilayah tersebut.

Pada 2009, perusahaan ini menandatangani perjanjian kerja sama dengan PT PML untuk pengelolaan hutan tanaman. 

Namun, sengketa muncul pada 2014 dan berujung pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan perjanjian 2009 batal demi hukum, sementara perjanjian baru tahun 2018 tetap berlaku.

MA juga menghukum PT PML membayar ganti rugi sebesar Rp3,42 miliar plus denda 6 persen per tahun sejak 2021. Meski telah membayar, PT PML belum sepenuhnya bisa mengakses lahan karena sebagian dikelola pihak lain.

Di sinilah, menurut jaksa, pendekatan informal mulai dilakukan.

“Pada 21 Agustus 2024, terdakwa dan Dicky bertemu di sebuah restoran di Jakarta. Terdakwa menyampaikan bahwa ganti rugi telah dibayar dan menyerahkan amplop berisi SGD 10.000,” ujar jaksa.

Pertemuan berlanjut pada Juli 2025. Dicky menawarkan lahan seluas 5.000 hektare kepada PT PML, dengan syarat mobil Mitsubishi Pajero Sport miliknya diganti dengan SUV mewah.

Djunaidi menyanggupi dan meminta Aditya mengurusnya. Pada 1 Agustus 2025, Jeep Rubicon dibeli dan diserahkan kepada Dicky.

Setelah nilai suap dan kronologi pemberian mobil mewah itu terungkap di persidangan, perhatian publik tak hanya tertuju pada barang bukti, tetapi juga pada akar konflik antara dua korporasi kehutanan ini.

Di balik amplop dan kendaraan mewah, tersimpan sejarah panjang sengketa izin pemanfaatan hutan yang akhirnya berujung di meja hijau.

Sebagai informasi, PT Inhutani V merupakan anak perusahaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perum Perhutani, yang bergerak di bidang eksploitasi dan industri hasil hutan.

Perum Perhutani sendiri mengelola hutan produksi dan konservasi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Lampung, Kalimantan, dan Jawa.

Tak lama setelah transaksi Jeep Rubicon itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengendus dugaan tindak pidana korupsi.

Pada 13 Agustus 2025, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang mengamankan sejumlah pihak, termasuk Aditya Simaputra dan beberapa saksi dari PT Inhutani V.

OTT ini menjadi titik awal penanganan perkara yang kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan dan kini bergulir di Pengadilan Tipikor.

MOBIL RUBICON HASIL SUAP — Mobil Rubicon sebagai salah satu bukti suap kepada Direktur Utama PT Inhutani V, Dicky Yuana Rady, disita KPK, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
MOBIL RUBICON HASIL SUAP — Mobil Rubicon sebagai salah satu bukti suap kepada Direktur Utama PT Inhutani V, Dicky Yuana Rady, disita KPK, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/8/2025). (Ilham Rian Pratama)

Jaksa menyebut tindakan terdakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 65 KUHP.

Atas dakwaan tersebut, kuasa hukum Djunaidi menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi dan memilih langsung masuk ke tahap pembuktian.

“Kami ingin fokus pada fakta-fakta di persidangan dan tidak memperpanjang proses formil,” ujar kuasa hukum dalam pernyataan kepada media.

Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 17 November 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi dan alat bukti.

Register 42, 44, 46: Dampak Lingkungan dan Sorotan Publik

Di luar ruang sidang, kasus ini memantik sorotan publik karena menyangkut kawasan hutan register 42, 44, dan 46 yang selama ini menjadi bagian dari konsesi PT Inhutani V.

Wilayah tersebut berada di Kabupaten Way Kanan dan Tulang Bawang Barat, Lampung, dan telah lama menjadi titik konflik antara pengelola konsesi dan masyarakat adat Negara Batin.

Sejumlah kelompok sipil menyebut pengelolaan selama tiga dekade mengabaikan hak ulayat dan berdampak pada degradasi lingkungan, termasuk konversi hutan menjadi lahan tanaman industri.

Sorotan terhadap praktik pemanfaatan hutan ini semakin tajam setelah dugaan suap terungkap di pengadilan.

Di tengah sengketa korporasi dan konflik izin pemanfaatan hutan, sidang ini menjadi pengingat akan rapuhnya integritas hukum.

Ketika sumber daya alam dipertukarkan dengan amplop dan mobil mewah, yang hilang bukan hanya keadilan—tapi juga kepercayaan publik terhadap pengelolaan hutan yang seharusnya berpihak pada rakyat dan lingkungan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.