Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegaskan kasus dugaan korupsi dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) pada tahun 2019–2022 diadili secara materiel (materiil).
Hakim anggota Nur Sari Baktiana mengatakan penegasan tersebut menjawab dalil ketiga terdakwa mengenai perkara akuisisi PT JN yang dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aksi korporasi dan terdapat upaya pembingkaian negatif di media sosial yang seolah-olah aparat penegak hukum memaksakan kasus itu.
"Perkara diadili berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam 184 KUHAP," ujar Nur pada sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis.
Ketiga terdakwa dimaksud, yakni Direktur Utama PT ASDP periode 2017–2024 Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi, serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono.
Terhadap dalil kriminalisasi para terdakwa, majelis hakim menekankan persidangan bukan mengadili opini publik atau narasi di media sosial, melainkan mengadili fakta materiel berdasarkan alat bukti yang sah.
Dikatakan bahwa majelis hakim telah mempertimbangkan secara menyeluruh dan komprehensif, yang menghasilkan putusan bahwa para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dakwaan alternatif kedua penuntut umum.
"Dengan demikian, pertimbangan keseluruhan unsur tindak pidana tersebut meniadakan dalil kriminalisasi dan membuktikan adanya tindak pidana," tutur dia.
Maka dari itu, lanjut Nur, majelis hakim berpendapat narasi kriminalisasi hanya merupakan upaya para terdakwa untuk mengaburkan fakta hukum dan proses hukum yang berjalan saat ini.
Proses hukum saat ini merupakan konsekuensi logis dan yuridis dari perbuatan para terdakwa yang telah memenuhi unsur tindak pidana, yaitu adanya perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan jabatan serta merugikan keuangan negara yang nyata.
"Oleh karenanya, pembelaan para terdakwa yang menyatakan dirinya korban kriminalisasi atau korban framing media sosial adalah pembelaan yang tidak menyentuh substansi perkara sehingga tidak beralasan hukum dan harus ditolak seluruhnya," ucap Nur.
Dalam kasus tersebut, ketiga terdakwa divonis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama, sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp1,25 triliun
Perbuatan korupsi dilakukan dengan mempermudah pelaksanaan kerja sama operasi (KSO) antara PT ASDP dan PT JN, sehingga memperkaya Adjie selaku pemilik dan penerima manfaat PT JN.
Dengan demikian, Ira Puspadewi dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan serta denda Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Sementara Yusuf dan Harry dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 4 tahun serta pidana denda masing-masing sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Atas perbuatannya, ketiga terdakwa dinyatakan telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.







