Jakarta (ANTARA) - Gelombang banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 hingga 3 Desember 2025 telah menimbulkan sedikitnya 753 orang meninggal dunia, 650 orang masih dinyatakan hilang, sekitar 2.600 warga mengalami luka-luka, jutaan lainnya terpaksa mengungsi, serta menyebabkan kelumpuhan infrastruktur strategis lintas provinsi.
Namun hingga hari-hari krusial pascabencana, negara melalui BNPB masih menyatakan bahwa peristiwa itu berstatus “bencana daerah”. Sikap ini memicu pertanyaan publik yang wajar: apakah status bencana daerah masih relevan ketika dampak telah melintasi batas administratif, melumpuhkan jalur logistik nasional, serta melampaui kemampuan fiskal dan teknis pemerintah daerah?
Dari perspektif hukum, penetapan status bencana nasional merupakan instrumen hukum untuk mengaktifkan tanggungjawab penuh negara. Karena itu, perdebatan ini tidak boleh direduksi sebagai soal teknis semata, melainkan harus dibaca sebagai persoalan pelindungan hak warga negara dan keberpihakan negara dalam situasi darurat kemanusiaan.
Perspektif hukum
Dasar hukum penetapan bencana nasional secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 7 ayat (2) UU tersebut menyebutkan lima indikator utama: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah terdampak, serta dampak sosial-ekonomi. Regulasi ini tidak menyaratkan angka korban tertentu secara rigid, melainkan menekankan apakah kapasitas daerah telah terlampaui.
Jika mengacu pada fakta lapangan, seluruh indikator tersebut sesungguhnya telah terpenuhi. Korban jiwa mencapai ratusan orang, puluhan kabupaten/kota terdampak, jalur lintas Sumatra terganggu, ribuan rumah dan fasilitas publik rusak, serta aktivitas ekonomi masyarakat dan logistik nasional terhambat. Bahkan, beberapa wilayah masih terisolasi dan sulit dijangkau bantuan. Secara yuridis, ini menandakan bahwa beban penanggulangan tidak lagi berada dalam batas kemampuan daerah.
Statemen resmi pemerintah yang menyebut bahwa “bencana nasional hanya pernah ditetapkan pada kejadian tertentu” disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Suharyanto, dalam konferensi pers pada 28 November 2025, dengan merujuk pada preseden tsunami Aceh 2004 dan pandemi COVID-19 sebagai dua peristiwa yang pernah berstatus bencana nasional.
Namun, preseden bukanlah norma hukum yang mengikat. Hukum tidak bekerja berdasarkan kebiasaan politik, melainkan berdasarkan pemenuhan syarat objektif yang telah ditetapkan melalui undang-undang. Jika syarat itu terpenuhi, maka negara justru berkewajiban menaikkan status, bukan menahannya.
Dalam perspektif hukum tata negara, penetapan bencana nasional juga berkaitan langsung dengan kewajiban konstitusional negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Negara tidak boleh bersembunyi di balik narasi “daerah masih mampu”, ketika secara faktual daerah mengalami pelemahan fiskal akibat pemotongan transfer ke daerah, keterbatasan alat berat, logistik, serta personel tanggap darurat. Ketika daerah tidak lagi berdaya, maka tanggungjawab secara otomatis beralih kepada pusat.
Lebih jauh, status bencana nasional bukan hanya soal pembiayaan darurat melalui APBN. Status ini juga membuka ruang kebijakan strategis yang tidak dimiliki dalam status bencana daerah, seperti pengerahan penuh lintas kementerian/lembaga, pembukaan akses bantuan internasional, serta legitimasi politik untuk melakukan audit lingkungan, moratorium izin, dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang diduga berkontribusi pada kerusakan ekologis.
Dalam konteks Sumatra, di mana banjir bandang membawa gelondongan kayu dalam jumlah masif dan menelan kawasan hulu hingga hilir, maka terdapat indikasi kuat bahwa bencana ini tidak berdiri sebagai semata “peristiwa alam”, melainkan juga terkait dengan praktik deforestasi dan eksploitasi sumber daya yang selama ini dibiarkan.
Tanpa status bencana nasional, negara kehilangan instrumen hukum paling kuat untuk melakukan koreksi struktural.
Perlindungan hak
Dari perspektif hukum hak asasi manusia, bencana bukan hanya persoalan alam, melainkan komitmen dan kewajiban negara hadir dalam memenuhi hak dasar warga, terutama hak atas hidup, tempat tinggal yang layak, rasa aman, serta akses terhadap bantuan dan pemulihan.
Dalam situasi seperti di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, ribuan warga kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan anggota keluarga. Negara tidak cukup hadir sebagai “koordinator bantuan”, melainkan harus tampil sebagai penanggungjawab utama keselamatan rakyatnya.
Penetapan bencana nasional memperkuat posisi negara dalam menjalankan fungsi tersebut. Di satu sisi, negara dapat mengerahkan seluruh instrumen kekuasaan untuk mempercepat evakuasi, distribusi logistik, dan pemulihan. Di sisi lain, negara juga memperoleh legitimasi untuk menegakkan hukum terhadap aktor-aktor yang diduga menyebabkan atau memperparah bencana melalui perusakan lingkungan.
Desakan dari masyarakat sipil dan sebagian anggota DPR RI agar status nasional ditetapkan sesungguhnya dapat dibaca sebagai upaya memulihkan fungsi negara dalam dua ranah sekaligus: kemanusiaan dan keadilan ekologis. Tanpa status nasional, audit lingkungan, penghentian izin tambang bermasalah, serta penindakan terhadap kejahatan lingkungan akan selalu terhambat oleh alasan prosedural dan sektoral.
Dalam hukum kebencanaan, prinsip salus populi suprema lex esto—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi—harus ditempatkan sebagai asas utama. Ketika keselamatan rakyat terancam secara masif dan lintas wilayah, maka seluruh pertimbangan fiskal, politik, dan citra pasar harus ditempatkan di bawah prinsip tersebut. Kehati-hatian fiskal memang penting, tetapi tidak boleh mengalahkan kewajiban konstitusional negara untuk melindungi warga dalam situasi darurat.
Lebih jauh lagi, penetapan bencana nasional akan menentukan arah fase pascabencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Tanpa status bencana nasional, pemulihan berisiko berlangsung parsial, lambat, dan timpang antarwilayah. Padahal, rekonstruksi bukan hanya membangun kembali rumah dan jembatan, tetapi juga memulihkan struktur sosial, ekonomi, dan ekologis masyarakat. Jika pemulihan dilakukan dengan skema darurat daerah semata, maka ketimpangan dan kerentanan baru justru akan tercipta.
Dalam konteks ini, tanggung jawab politik dan hukum berada pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, karena penetapan status bencana nasional secara langsung dilakukan melalui Keputusan Presiden, sebagaimana preseden dalam Keppres Nomor 66 Tahun 1992 tentang Bencana Alam Flores, Keppres Nomor 112 Tahun 2004 tentang Tsunami Aceh–Sumatra Utara, Keppres Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pandemi COVID-19.
Karena itu, keputusan Presiden bukan sekadar simbol administratif, melainkan penanda nyata sejauh mana negara benar-benar hadir melindungi warganya di tengah terjadi bencana.
Dari perspektif hukum, syarat objektif penetapan bencana nasional pada dasarnya telah terpenuhi. Menunda penetapan status tersebut justru berisiko melanggengkan penderitaan korban dan melemahkan instrumen negara untuk melakukan pemulihan menyeluruh. Karena itu, penetapan banjir Sumatra sebagai bencana nasional bukan hanya layak, tetapi merupakan kewajiban konstitusional negara.
Negara tidak boleh hadir setengah hati ketika rakyatnya menghadapi krisis yang mengancam hidup dan masa depan mereka. Jika keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, maka tidak ada alasan yuridis yang cukup kuat untuk menahan keputusan tersebut.
*) Prof. Dr. Hufron adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya







