SURYA.co.id - Masih ingat dengan Mbah Tupon korban mafia tanah di Kabupaten Bantul?
Meski para terdakwa kini sudah divonis, perjuangan Mbah Tupon belum berakhir.
Vonis bagi tujuh terdakwa kasus mafia tanah yang menjerat Mbah Tupon akhirnya dibacakan.
Mereka dijatuhi hukuman mulai dari 10 bulan hingga 2,5 tahun penjara.
Meski begitu, perjuangan keluarga Mbah Tupon belum usai.
Tantangan terbesar kini justru berada pada proses pemulihan hak milik atas tanah, terutama karena sertifikat tersebut masih tercatat dengan status hak tanggungan.
Kuasa hukum keluarga, Sukiratnasari, menegaskan bahwa fokus utama mereka setelah putusan adalah memastikan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Mbah Tupon bernomor 24451 segera kembali ke tangan pemilik.
"Yang kami lebih pentingkan lagi yang sertifikatnya Mbah Tupon 24451 terutama tadi memang secara eksplisit dikatain masih dibebani hak tanggungan dikembalikan ke bank sertifikat hak tanggungannya," ujar Suki di Pengadilan Negeri Bantul, Kamis (20/11/2025), melansir dari Kompas.com.
Suki menyebut bahwa dokumen yang diserahkan selama proses persidangan hanya berupa salinan.
Kondisi tersebut membuat langkah pengembalian hak atas tanah menjadi lebih rumit.
"Artinya ketika SHM-nya masih dibebani hak tanggungan, kami harus berupaya bagaimana proses pengembalian balik nama ke Mbah Tupon lagi," ucapnya.
Ia juga menyoroti pertanyaan besar yang belum terjawab: siapa pihak yang bertanggung jawab melunasi beban hak tanggungan tersebut.
Menurut Suki, putusan majelis hakim memang belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi keluarga.
Namun, pembuktian kesalahan para terdakwa tetap menjadi capaian penting dalam perjuangan panjang ini.
"Kami mau membicarakan dengan tim nanti langkah apa yang harus kami lakukan. Jujur tidak sederhana ya yang harus kami lakukan," katanya.
Ia memastikan bahwa mereka akan tetap melanjutkan langkah hukum berikutnya.
"Yang pasti ada upaya hukum lanjutan," tegasnya.
Sementara itu, Mbah Tupon hanya memiliki satu harapan: sertifikat tanah yang menjadi sumber masalah ini segera kembali ke genggamannya.
"Yang penting sertifikat saya kembali, mudah-mudahan sertifikat saya segera kembali, untuk yang lain tidak tahu," tuturnya.
Bermula pada 2020, saat itu Mbah Tupon hendak menjual sebagian tanah miliknya, yaitu 298 meter persegi dari total 2.100 meter persegi.
Pembeli berinisial BR ingin membeli tanah milik Mbah Tupon seluas 298 meter persegi.
Pada momen itu, Mbah Tupon juga menghibahkan sebagian tanahnya untuk jalan seluas 90 meter persegi.
Setelah itu, dia menghibahkan tanah seluas 54 meter persegi untuk gudang RT.
"Terus dipecah sertifikatnya, untuk jalan itu sudah jadi sertifikatnya," kata anak pertama Mbah Tupon, Heri Setiawan (31), Sabtu (26/4/2025), dikutip SURYA.CO.ID dari Kompas.com.
BR kemudian menanyakan sertifikat dan berinisiatif untuk memecah sertifikat pada sisa tanah seluas 1.655 meter persegi menjadi 4 sertifikat.
Empat sertifikat tanah itu rencananya akan atas nama Mbah Tupon dan anak-anaknya sebanyak tiga orang.
"Bapak masih ada uang (piutang) di BR sekitar Rp 35 juta, itu untuk memecah. 'Mbah kowe isih nduwe duit sak mene piye nek sertifikat dipecah dinggo anak-anakmu ben enteng' (Mbah, kamu masih punya uang sekian, bagaimana kalau untuk pecah sertifikat untuk anak-anakmu supaya enteng)," kata Heri menirukan ucapan BR.
Saat itu, Mbah Tupon menjual tanah dengan harga Rp 1 juta per meter, lokasinya berada di belakang rumah Mbah Tupon.
"Sertifikat jadi 4, buat bapak sama anak-anaknya," kata dia.
BR menawarkan memecah sertifikat menjadi 4 itu sekitar tahun 2021 setelah proses jual beli dengan ayahnya.
"Bapak sering nanyain ke BR, sudah jadi atau belum (sertifikat)," katanya.
Yang terjadi justru sertifikat milik Mbah Tupon dibalik nama dengan inisial IF dan diagunkan ke bank senilai Rp 1,5 miliar.
Heri mengaku tak kenal sama sekali dengan IF dan tidak pernah bertemu sebelumnya.
Ia baru mengetahui sertifikat diatasnamakan orang lain dan diagunkan ke bank pada Maret tahun 2024 lalu.
"Bank ngabari ke sini, atas nama IF dari awal pinjam belum sempat mengangsur sama sekali. Sekitar 4 bulan setelah pencairan bank ke sini," katanya.
"Di bank itu sertifikatnya masih utuh, tapi sudah dibalik nama. Bank bawa fotokopian sertifikat," ujarnya.
"Bank ke sini itu sudah lelangan pertama. Kemarin itu Jumat (25/4/2025) bank ke sini kasih tahu seminggu lagi ada seperti ukur ulang," katanya.
Mengetahui hal itu, pihak keluarga lalu mendatangi BR untuk menanyakan duduk perkara.
"Dia bilang 'ini yang nakal notarisnya, besok saya urus'. Lalu BR menyuruh tangan kanannya (inisial TR) mengajak lapor ke Polda (DIY)," kata dia.
Heri menjelaskan, pihak bank tak pernah melakukan survei ketika sertifikatnya diagunkan ke bank.
Selama proses jual beli, Mbah Tupon diminta tanda tangan dua kali oleh calo penghubung BR.
"Disuruh tanda tangan pertama di daerah Janti, terus yang kedua di Krapyak. Bapak kurang tahu tanda tangan dokumen apa, soalnya bapak enggak bisa baca dan tidak dibacakan," kata dia.
Saat itu, lanjut Heri, ayahnya hanya didampingi oleh ibunya dan tidak didampingi oleh anak-anaknya.
Tak hanya itu, tanda tangan ketiga dilakukan di rumah Mbah Tupon namun lagi-lagi tidak didampingi oleh anak-anaknya.
Saat itu, tanda tangan ketiga dibubuhkan dengan alasan untuk urusan memecah sertifikat.
Setelah tanda tangan, Mbah Tupon kembali dimintai uang sebesar Rp 5 juta oleh TR, perantara BR.
"Sudah menanyakan ke BR, waktu itu BR ngomong 'wah nek saiki rung duwe duit, nek kowe ono cukupono sikik' (kalau sekarang belum ada uang, kalau kamu ada cukupi dulu)," kata Heri menirukan BR.