Fenomena perceraian di usia senja atau gray divorce kembali menjadi sorotan, menyusul gugatan cerai Atalia Praratya terhadap Ridwan Kamil setelah puluhan tahun membina rumah tangga.
Gugatan tersebut terdaftar di Pengadilan Agama Bandung, dengan sidang perdana dijadwalkan pada Rabu (17/12/2025). Namun hingga kini, belum diketahui secara pasti terkait pokok perkara dalam gugatan tersebut.
"Betul, informasinya memang demikian," ujar Panitera Pengadilan Agama Bandung, Dede Supriadi, saat dikonfirmasi detikJabar, Senin (15/12/2025).
Adapun istilah 'gray divorce' merujuk pada perceraian atau perpisahan yang terjadi di usia lanjut, umumnya pada usia 50 tahun ke atas. Pasangan yang bercerai pada tahap kehidupan ini biasanya telah menjalin hubungan jangka panjang selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.
Berbeda dengan pasangan usia muda yang kerap bercerai karena perselingkuhan, kekerasan, persoalan keuangan, atau minimnya pengalaman dalam hubungan jangka panjang, pasangan usia lebih tua cenderung menghadapi akumulasi berbagai persoalan yang menumpuk seiring berjalannya waktu.
Dikutip dari Cleveland Clinic, psikolog Chivonna Childs, PhD menjelaskan fenomena gray divorce mengalami peningkatan moderat antara 1970 hingga 1990, lalu melonjak dua kali lipat pada 2010 dan terus meningkat hingga kini.
Menurut Dr Childs, perubahan angka perceraian ini banyak dipengaruhi oleh meningkatnya angka harapan hidup, perubahan budaya, serta bergesernya pandangan masyarakat terhadap makna dan manfaat pernikahan.
"Ini bukan lagi abad ke-18, 19, atau bahkan ke-20. Bertahan dalam pernikahan yang tidak lagi memberikan kepuasan bukanlah sebuah keharusan," ujar Dr Childs.
"Perempuan kini memiliki stabilitas dan fleksibilitas finansial yang lebih baik, dan perhatian terhadap kesehatan mental juga semakin meningkat. Kita tidak lagi harus bertahan dalam pernikahan semata-mata demi keamanan finansial."
Selain itu, sejumlah faktor lain yang kerap mendorong terjadinya gray divorce antara lain:
- Hubungan yang timpang, ketika pasangan memiliki minat, impian, dan tujuan hidup yang berbeda
- Perasaan bahwa pernikahan telah berjalan stagnan
- Kurangnya rasa pemenuhan diri
- Keinginan mencari koneksi emosional yang lebih bermakna
- Sindrom empty nest serta dorongan untuk hidup lebih mandiri
- Hasrat untuk pertumbuhan pribadi, menjaga kesehatan mental, dan meningkatkan kualitas hidup
- Peristiwa besar yang mengubah hidup, seperti pengalaman nyaris meninggal atau bertahan dari penyakit serius
"Gray divorce sering kali merupakan pilihan untuk memperbaiki kualitas hidup dan mengejar pertumbuhan pribadi," kata Dr Childs.
"Keputusan ini membutuhkan keberanian besar, dan umumnya diambil dengan pertimbangan yang matang."
Sementara itu, menurut Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, dr Imran Pambudi, MPHM, salah satu pemicu yang kerap luput disadari adalah kebiasaan berpura-pura bahagia demi menjaga citra rumah tangga.
"Ketidakbahagiaan yang disangkal justru paling berbahaya. Hadapi secara jujur, bicarakan, dan cari jalan keluarnya bersama. Pura-pura bahagia hanya akan merusak hubungan secara perlahan," tegasnya saat dihubungi detikcom Selasa (16/12/2025).
Ia menegaskan penuaan yang sehat (healthy aging) dalam pernikahan tidak hanya soal fisik, tetapi juga menyangkut kesehatan emosional, mental, dan spiritual pasangan.
"Banyak pasangan yang tampak baik-baik saja di luar, tapi sebenarnya memendam ketidakbahagiaan bertahun-tahun. Ini seperti bom waktu. Jika tidak dihadapi secara nyata dan dicari solusinya, konflik akan menggerogoti hubungan secara perlahan," kata Imran.
Menurutnya, grey divorce sering muncul pada fase transisi besar dalam hidup, seperti pensiun atau sindrom sarang kosong (empty nest), ketika pasangan kembali berhadapan satu sama lain tanpa distraksi peran sebagai orang tua.







