Fakta-fakta 15 WNA China Serang TNI di Tambang Emas Ketapang Lengkap dengan Kronologinya
December 17, 2025 09:27 AM

TRIBUN-MEDAN.com - Fakta-fakta insiden WNA China serang TNI di tambang emas Ketapang lengkap dengan kronologinya.

Sebanyak 15 WNA China terlibat konflik berujung kerusuhan di Ketapang, Kalimantan Barat.

Insiden kericuhan yang melibatkan 15 WNA China, prajurit TNI, serta warga sipil di kawasan tambang emas PT Sultan Rafli Mandiri (SRM), diduga kuat bermula dari konflik internal kepemilikan dan pengelolaan perusahaan.

Di balik peristiwa yang memicu perhatian nasional itu, tersimpan perseteruan dua kubu manajemen yang sama-sama mengklaim sebagai pengelola sah PT SRM.

Manajemen Lama vs Manajemen Baru PT SRM

Konflik bermula dari perbedaan klaim kepengurusan perusahaan tambang emas tersebut.

Pihak manajemen lama, yang dipimpin oleh Li Changjin, menyatakan bahwa 15 WNA China yang terlibat dalam insiden merupakan staf teknis resmi yang bekerja di lokasi tambang berdasarkan izin perusahaan.

Li Changjin membenarkan bahwa para staf tersebut memang berada di lokasi saat insiden terjadi.

Di sisi lain, manajemen versi baru yang dipimpin Firman sebagai direktur utama mengklaim telah mengesahkan susunan direksi baru melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Juli 2025.

Kubu ini menegaskan memiliki legitimasi hukum atas pengelolaan PT SRM dan telah melaporkan insiden tersebut ke Polda Kalimantan Barat.

Kronologi Kericuhan

Kericuhan terjadi pada Minggu (14/12/2025) sekitar pukul 15.40 WIB, di Desa Pemuatan Batu, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang.

Menurut Li Changjin, peristiwa bermula ketika staf teknis berkewarganegaraan China mengoperasikan drone di area tambang.

Ia menegaskan, penerbangan drone dilakukan di dalam wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT SRM dan bukan di kawasan terlarang.

Namun situasi berubah ketika drone dan telepon seluler milik staf teknis tersebut disita oleh pihak keamanan perusahaan versi baru bersama prajurit TNI.

Bahkan, rekaman yang tersimpan di perangkat disebut sempat dihapus, sebelum akhirnya dikembalikan.

“Atas peristiwa tersebut, drone dan telepon seluler milik staf teknis kami sempat disita, sementara rekaman di dalam perangkat dihapus, sebelum akhirnya dikembalikan,” kata Li Changjin.

Ia menambahkan, tindakan penyitaan mendadak itu membuat staf teknis merasa ketakutan, terlebih karena kehadiran aparat dan pihak tertentu di lokasi tambang dinilai tidak jelas kepentingannya.

Klaim Aktivitas Tanpa Izin

Berbeda dengan keterangan manajemen lama, direksi PT SRM versi baru menilai aktivitas penerbangan drone dilakukan tanpa izin resmi.

Kuasa hukum PT SRM versi baru, Muchamad Fadzri, menyampaikan keprihatinan atas kericuhan yang terjadi dan menyesalkan tindakan para WNA terhadap aparat negara.

“Yang dilakukan warga negara asing kepada aparat kita sangat kami sesalkan.

Kami turut prihatin dan menyampaikan permohonan maaf kepada pimpinan-pimpinan TNI karena gara-gara ulah WNA, aparat negara menjadi korban,” ujar Fadzri, Selasa (16/12/2025).

Menurutnya, kecurigaan bermula dari aktivitas drone yang dinilai mencurigakan di sekitar area operasional tambang. Upaya pendekatan persuasif disebut telah dilakukan, namun gagal akibat hambatan komunikasi.

“Karena komunikasi yang tidak berjalan baik, mereka menggunakan bahasa China, kami bahasa Indonesia, terjadi perselisihan. Keamanan internal kami diserang,” jelasnya.

Prajurit Disebut Diserang dengan Senjata

Kodam XII/Tanjungpura membenarkan adanya insiden yang melibatkan prajurit Yonzipur 6/Satya Digdaya dengan 15 WNA China di area PT SRM, saat prajurit tengah melaksanakan latihan dasar satuan.

Kepala Penerangan Kodam XII/Tanjungpura, Kolonel Inf Yusub Dody Sandra, menjelaskan laporan awal diterima dari pengamanan perusahaan terkait aktivitas drone tak dikenal di sekitar area latihan.

Empat prajurit yang mendatangi lokasi menemukan empat WNA sedang mengoperasikan drone. Tak lama kemudian, jumlah WNA bertambah hingga mencapai 15 orang.

Saat proses klarifikasi berlangsung, situasi berubah menjadi ricuh.

“Dalam situasi tersebut kemudian terjadi tindakan penyerangan terhadap prajurit kami,” ungkap Yusub.

Penyerangan tersebut diduga menggunakan senjata tajam, airsoft gun, dan alat setrum. Untuk menghindari eskalasi, prajurit TNI memilih mundur dan melaporkan kejadian ke komando.

Akibat insiden itu, satu unit mobil operasional Toyota Hilux dan sepeda motor karyawan PT SRM dilaporkan mengalami kerusakan.

Proses Hukum Berjalan

Melalui kuasa hukumnya, direksi PT SRM versi baru telah membuat pengaduan resmi ke Polda Kalbar terkait dugaan penyerangan dan perusakan.

Namun, Kabid Humas Polda Kalbar Kombes Pol Bayu Suseno menyatakan pihaknya belum menerima laporan detail dan meminta konfirmasi lebih lanjut ke Direktorat Reserse Kriminal Umum.

Sementara itu, Kantor Imigrasi Ketapang memastikan telah mengamankan seluruh 15 WNA China untuk menjalani pemeriksaan keimigrasian.

Kepala Seksi TIK Keimigrasian Kantor Imigrasi Ketapang, Ida Bagus Putu Widia Kusuma, menjelaskan para WNA diperiksa terkait legalitas keberadaan dan aktivitas mereka.

“Mereka telah dibawa ke Kantor Imigrasi Ketapang,” katanya.

Ia menambahkan, seluruh WNA tersebut tercatat memegang KITAS yang disponsori PT Sultan Rafli Mandiri versi direksi lama.

Sengketa Tambang, Ujian Kedaulatan

Kericuhan di tambang emas Ketapang ini bukan sekadar bentrokan fisik, melainkan potret rapuhnya konflik kepengurusan perusahaan yang bersinggungan dengan aparat negara dan tenaga asing.

Kini, penyelidikan terus berjalan untuk mengungkap motif, kronologi utuh, serta tujuan penerbangan drone, sementara publik menanti kejelasan hukum atas konflik yang menyeret nama perusahaan tambang, WNA, dan prajurit TNI dalam satu pusaran krisis.

(*/ Tribun-medan.com)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.