TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menegaskan bahwa kerusakan lingkungan tidak boleh lagi dipandang sebagai konsekuensi wajar pembangunan.
Dia pun menekankan pentingnya pendekatan ekoteologi sebagai fondasi etik kebijakan lingkungan.
“Alam bukan sekadar sumber daya, melainkan amanah ilahi yang wajib dijaga keberlanjutannya. Kerusakan hutan, pencemaran air, dan konflik lahan bukanlah ‘biaya pembangunan’, tetapi tanda terganggunya relasi manusia dengan amanah Tuhan,” kata Nasaruddin dalam seminar Dewan Pengurus Nasional (DPN) Gerbang Tani bertajuk “Taubat Ekologis: Refleksi Kebijakan Tata Kelola SDA” di Aula PKU Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Seruan tersebut sejalan dengan pernyataan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat sekaligus inisiator Gerbang Tani, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), yang sebelumnya juga menekankan urgensi taubat ekologis sebagai respons atas kerusakan lingkungan.
Nasaruddin lalu menambahkan, keterbatasan akal manusia dalam memahami seluruh realitas menuntut sikap rendah hati terhadap alam. Ia menyoroti keterhubungan energi semesta yang membuat seluruh ciptaan saling terkait.
“Merusak satu bagian bumi berarti mengguncang keseluruhan ekosistem, termasuk kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam,” ujar Nasaruddin.
Dalam elaborasi teologis, Nasaruddin mengutip pemikiran Ibnu Arabi tentang tajalli dan konsep acosmos, yang memandang alam sebagai manifestasi sifat-sifat Ilahi.
Karena itu, alam tidak pantas diperlakukan sebagai benda mati yang bebas dieksploitasi.
Dia pun menilai bahasa agama memiliki daya dorong kuat untuk menggerakkan perubahan, terutama saat pendekatan teknokratis mengalami kebuntuan.
Melalui inisiatif Kurikulum Cinta, Nasaruddin menegaskan pihaknya berupaya menanamkan kesadaran ekologis berbasis nilai spiritual.
Dia pun menyampaikan pesan reflektif, “Tundalah kiamat dengan merawat bumi.”
Namun, Nasaruddin juga memberi catatan kritis agar taubat ekologis tidak berhenti pada retorika moral.
"Taubat ekologis harus menjadi paket kerja yang bisa diawasi publik, mulai dari audit izin dan konsesi, pemulihan daerah aliran sungai, rehabilitasi hutan, pembenahan tata ruang berbasis risiko bencana, hingga penegakan hukum yang menyasar pelaku dan rantai keuntungan,” kata Nasaruddin.
Baca juga: Pengungsi Banjir Sumatra Mulai Terserang ISPA hingga Gatal dan Bapil
Sementara itu, Ketua Umum DPN Gerbang Tani Idham Arsyad mengatakan, tema taubat ekologis lahir dari refleksi panjang atas dampak bencana lingkungan yang tidak bersifat jangka pendek.
“Ada salah satu rekan saya yang terlibat langsung dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami Aceh menyebutkan bahwa dampak bencana di Sumatera membutuhkan waktu hingga 30 tahun untuk pulih. Hulu dan hilirnya sama-sama terhantam. Situasi inilah yang mendorong kami mengangkat tema taubat ekologis,” ujar Idham.
Dia menegaskan, taubat ekologis tidak boleh dipahami sebatas simbol keagamaan, melainkan sebagai kesadaran kolektif untuk membenahi relasi manusia dengan alam.
“Dalam perspektif Islam dan agama-agama lain, relasi manusia dan alam seharusnya bersifat rahmatan lil ‘alamin, bukan eksploitatif. Krisis ekologi hari ini menuntut kerja sama lintas sektor—tokoh agama, akademisi, NGO, hingga pembuat kebijakan. Tugas ini berat dan tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri,” pungkas dia.