Dr Fairus M Nur Ibrahim MA, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry
PRESIDEN Prabowo Subianto belum juga menetapkan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh sebagai bencana nasional. Padahal, dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang terlihat nyata sudah lebih dari cukup untuk penetapan status itu. Sudah bukan saatnya bencana kali ini direduksi menjadi statistik korban jiwa semata sebagaimana kecenderungan yang kerap terjadi. Apalagi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak sekali pun mensyaratkan tingginya angka kematian sebagai satu-satunya dasar penetapan bencana nasional.
Di sinilah kemudian kegelisahan publik muncul: mengapa negara masih menunda memberi status tertinggi atas bencana yang jelas-jelas melampaui kapasitas daerah dalam menanganinya? Mengapa negara berhitung terlalu lama saat rakyat membutuhkan kehadirannya?
Banyak pihak telah meminta penetapan status itu. LSM, aliansi masyarakat sipil, akademisi, bahkan politisi. Namun, tanggapan resmi Presiden justru menyatakan status bencana nasional belum diperlukan. Permintaan penetapan status bencana nasional akhirnya memasuki fase baru ketika para penyintas dan warga terdampak mengibarkan bendera putih yang ditancapkan di sejumlah wilayah di Aceh. Bukan bendera politik, bukan pula simbol organisasi. Ia hannyalah kain polos yang maknanya bisa lebih jauh dari sekadar polos. Bendera putih itu adalah bahasa sunyi: tanda menyerah, minta pertolongan, sekaligus bentuk komunikasi paling jujur dari warga yang berada di titik paling rapuh.
Fenomena ini tidak lahir di ruang hampa. Banjir bandang, genangan berkepanjangan, longsor, dan rusaknya infrastruktur dasar membuat sebagian warga Aceh kehilangan akses kebutuhan paling elementer berupa pangan, air bersih, listrik, dan layanan kesehatan. Dalam situasi ketika jalur komunikasi formal tersumbat dan negara masih lamban bertindak, warga memilih simbol paling sederhana dan universal: bendera putih.
Dalam sejarah kemanusiaan, bendera putih dikenal sebagai simbol menyerah atau permohonan gencatan senjata. Dalam konteks bencana Aceh, maknanya bergeser: menyerah bukan kepada pihak lain, melainkan kepada negaranya sendiri dan kepada keadaan yang melampaui daya. Ini bukan sikap pasrah yang fatalistik, melainkan komunikasi darurat. Ketika kata-kata tak lagi terdengar, maka simbol yang berbicara. Ia menjadi media komunikasi nonverbal yang melampaui sekat literasi, bahasa, dan teknologi. Siapa pun dapat memahami pesan utamanya: “Kami butuh bantuan.” Status bencana nasional menjadi bagian yang paling mungkin untuk memberikan bantuan dan respons pada skala tercepat.
Selain bendera putih, fase baru permintaan peningkatan status kebencanaan bagi Aceh disuarakan pula secara verbal oleh para ulama se-Aceh pada Minggu (14/12/2025). Permintaan itu tidak lahir dari ruang hampa pula, melainkan dari ruang muzakarah yang secara kultural memiliki legitimasi kuat di tengah-tengah masyarakat Aceh. Permintaan peningkatan status pun lahir setelah para ulama memahami persis bahwa hingga pekan ketiga bencana, situasi penanganan oleh negara masih sangat lamban, karut marut, dan berpotensi abai dalam melindungi jiwa (ḥifz al-nafs) serta kemaslahatan (maslahah) warga yang terdampak.
Suara ulama
Ini adalah pertanyaan krusial: apakah penetapan status bencana nasional yang dihasilkan dari muzakarah ulama Aceh, dampak dari pengibaran bendera putih, maupun suara-suara yang telah diteriakkan sebelumnya oleh berbagai pihak akan otomatis mempercepat pemulihan? Berbagai pengalaman menunjukkan jawabannya tidak selalu ya. Secara teoritis, status nasional memang membuka akses lebih luas terhadap anggaran siap pakai dari pemerintah pusat, penyederhanaan prosedur birokrasi, percepatan mobilitas antarkementerian/lembaga, dan ketersediaan back up logistik/personel. Namun, sejauh mana efektivitas penanganan sangat bergantung pada kualitas komunikasi, kecepatan birokrasi, dan integritas pelaksana di lapangan. Status nasional bisa menjadi simbol politik tanpa daya guna jika tidak diikuti kepemimpinan lapangan yang responsif.
Pun demikian, dalam konteks Aceh saat ini, status nasional harus dipahami bukan sebagai tujuan akhir, melainkan alat percepatan yang strategis. Ia dapat menjadi “bargaining” moral dan politik agar pemerintah pusat tidak memandang bencana ini sebagai urusan daerah semata.
Prabowo memulai kepemimpinannya dengan narasi negara kuat, hadir, dan protektif. Ia pun dikenal responsif terhadap isu stabilitas nasional. Dalam kerangka ini, Aceh memiliki posisi strategis, bukan hanya geografis, tetapi historis dan simbolik. Di sisi lain Prabowo dikenal pula sebagai pemimpin rasional dan kalkulatif. Ia akan mempertimbangkan preseden: jika Aceh diberi status bencana nasional, akankah daerah lain menuntut hal yang sama? Apalagi, sejak Republik berdiri, status bencana skala nasional hanya pernah ditetapkan tiga kali: gempa dan tsunami Flores (1992), gempa dan tsunami Aceh (2004), lalu pandemi Covid-19 (2020–2022/23).
Di luar itu, ada sejumlah hal lain yang tampaknya rasional pula kita lihat sebagai alasan mengapa pemerintah pusat cenderung berhati-hati, bahkan terkesan berhitung, menetapkan status bencana nasional. Pertama, pertimbangan fiskal. Penetapan bencana nasional membuka kran anggaran besar, termasuk penggunaan dana siap pakai, realokasi APBN, hingga keterlibatan lintas kementerian. Di tengah tekanan fiskal dan banyaknya agenda nasional, negara sering memilih jalur “aman anggaran” dengan membiarkan daerah menanganinya lebih dahulu.
Kedua, kalkulasi politis dan citra. Status bencana nasional secara implisit mengakui bahwa dampak bencana sangat serius dan negara harus mengambil alih kendali. Dalam logika komunikasi politik, hal ini kerap dibaca sebagai kegagalan pemerintah dalam melakukan mitigasi, tata ruang, atau peringatan dini.
Peluang dikabulkannya peristiwa hidrometeorologi Aceh berstatus bencana nasional tetap ada dan bisa semakin besar jika permintaan ulama kemudian didukung data komprehensif, kajian akademik, rekomendasi teknokratis lembaga terkait, serta sikap pemerintah daerah yang solid dan komunikatif. Prabowo tampaknya cenderung akan merespons lebih positif pada pendekatan yang tidak konfrontatif, tetapi pada permintaan kolaboratif kerja sama pusat-daerah.
Dalam konteks ini, muzakarah ulama dan fenomena bendera putih adalah langkah yang masuk akal. Ia tepat secara moral dan relevan dalam konteks komunikasi politik sehingga menciptakan legitimasi sekaligus resonansi moral. Namun, tentu saja hal ini belum cukup. Tahap berikutnya adalah membangun koalisi narasi antara ulama, akademisi, pemerintah daerah, media, dan berbagai elemen sipil.
Ulama dan para korban pengibar bendera putih memahami bahwa negara bekerja dengan instrumen regulasi, anggaran, dan keputusan politik. Karena itu kini, tinggal satu hal yang menentukan hadir tidaknya status itu: keberanian negara membaca suara Aceh bukan sebagai beban, tetapi sebagai panggilan tanggung jawab konstitusional.
Jika Presiden Prabowo benar-benar ingin membuktikan bahwa “negara hadir” bukan sekadar narasi, maka Aceh adalah ujian konkret untuk itu. Bukan hanya tentang menetapkan status, tetapi tentang keberanian memilih berdiri di sisi rakyat yang sedang berjuang bertahan di tengah banjir, lumpur, dan ketidakpastian.