TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — PUPR Bali sebut banjir yang terjadi di Bali, sebab saluran irigasi dan saluran drainase digabungkan.
Selain juga kurangnya pengelolaan manajemen penanganan sampah yang masuk ke dalam saluran drainase.
Mengamati banjir yang terjadi belakangan ini, Gede Maha Putra selaku Pengamat Isu Perkotaan sekaligus Akademisi Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa mengatakan, memang sebelumnya BMKG telah mengingatkan bahwa cuaca akhir tahun di Bali akan ekstrem.
“Persiapan-persiapan harus dilakukan untuk menghadapi kondisi terburuk yang mungkin timbul akibat cuaca ini. Kondisi cuaca umumnya berupa siklus. Misalnya, musim hujan umumnya terjadi menjelang akhir hingga awal tahun, sekitar Bulan Oktober sampai Maret,” jelasnya, Kamis 18 Desember 2025.
Baca juga: PUPR Bali Sebut Penyebab Banjir di Bali, Drainase Jalan Dan Perkotaan Harus Dipisahkan
Banjir terjadi berulang setiap tahun di Bali, hanya saja kondisinya ada yang membawa hujan ekstrem dan ada yang tidak. Tetapi, setidaknya siklus ini bisa dibaca.
Para petani zaman dahulu memiliki sistem yang baik untuk membaca siklus ini, sehingga mereka bisa menentukan musim tanam dan panen yang memadai dengan kondisi iklim.
Pengetahuan membaca iklim ini semestinya membaik dengan semakin berkembangnya teknologi.
“Tetapi, akibat dorongan untuk mengakomodir pembangunan yang didorong oleh investasi, hal-hal terkait pembacaan iklim jarang dipakai sebagai pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Misalnya saja, perbaikan serta pemeliharaan drainase justru dilakukan menjelang dan bahkan saat musim hujan. Ini menjadi masalah karena saat hujan sudah datang, sistem drainase belum siap,” bebernya.
Lebih lanjut ia mengatakan, dapat dipahami bahwa sistem penganggaran mengikuti pola sistem pertanggungjawaban tahunan, tetapi hal ini sebaiknya disesuaikan lagi agar masalah banjir tidak terulang. Proyek drainase sebetulnya terkait dengan timing atau dimensi waktu.
“Sekarang kita bahas dimensi ruang. Dari sisi kekurangan, pembangunan kita juga terlihat belum terkoordinasi dengan baik. Dalam hal banjir, pertimbangan-pertimbangan hujan dan luapan air jarang dimasukkan dalam proses perizinan. Kalaupun masuk, lebih banyak sebagai formalitas,” paparnya.
Saat terjadi alih fungsi misalnya, pemikiran tentang ke mana air yang sebelumnya ada di lahan tersebut akan dibawa setelah ia menjadi bangunan tidak menjadi pertimbangan. Akibatnya, semua air dibuang ke saluran.
Saluran sendiri, karena harga lahan semakin mahal, berukuran semakin kecil.
Dengan tanggungan air yang harus ditampung semakin banyak, maka terjadilah luapan.
Hal ini tentu saja diperparah oleh kondisi ekstrem cuaca seperti sudah diprediksi oleh lembaga yang berwenang tadi.
Mengenai saluran irigasi yang bergabung dengan saluran drainase, hal ini sepertinya tidak terhindarkan karena sawah-sawah banyak yang beralih.
Irigasi yang tadinya mengairi sawah sekarang dialihkan ke saluran drainase karena sawahnya sudah hilang.
Pengalihan ini bisa saja tidak direncanakan dengan baik, tetapi airnya dialirkan saja ke saluran irigasi yang sudah ada.
“Kita, dengan semakin kecilnya ruang untuk resapan, perlu memikirkan ulang perencanaan tata ruang menjadi lebih sensitif terhadap air hujan. Jika selama ini tata ruang lebih berfokus pada pengaturan investasi, maka sekarang unsur serta pertimbangan pencegahan bencana terutama banjir harus mulai dimasukkan,” kata dia.
Proyek-proyek yang berfokus pada mitigasi bencana banjir sudah lama tidak dijalankan.
Menurutnya, sekarang harus ada proyek besar yang dapat tangani banjir.
Proyek-proyek seperti penyediaan danau buatan, kanal air saat terjadi banjir, dan usaha untuk membuat taman-taman kota menjadi lebih porous, sehingga mampu menahan lebih banyak air sudah perlu untuk dipikirkan.
“Proyek-proyek perbaikan drainase banyak di akhir tahun karena beberapa kemungkinan pertama sistem anggaran di mana dana baru keluar menjelang akhir tahun. Kedua, proses perencanaan dilakukan di awal tahun, kemudian pelaksanaannya menjelang akhir tahun. Ketiga, bisa juga karena pekerjaan lapangan yang molor. Jadi, pertimbangannya bukan pada siklus musim tetapi pada politik anggaran. Ini beberapa kemungkinannya,” pungkasnya.